Ani Purwati – 11 Jan 2010
Akhir tahun 2009, Bangsa Indonesia telah kehilangan Bapak Bangsa, Abdurrahman Wahid, Presiden keempat Republik Indonesia. Atas jasa-jasa besarnya pada pergerakan yang mendukung lingkungan hidup Indonesia, tokoh besar ini mendapat gelar penghormatan sebagai Pejuang Lingkungan Hidup dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Jakarta (8/1).
Menurut Chalid Muhammad sebagai Direktur Serikat Hijau Indonesia (SHI) yang juga mantan Direktur Walhi, pada 2009, di saat-saat akhir hidupnya, tokoh yang sering dipanggil Gus Dur ini, telah menyuarakan perlunya moratorium hutan selama 10 tahun. Hal ini mengingat pentingnya hutan bagi keberlanjutan lingkungan hidup namun telah mengalami banyak kerusakan.
Semasa pemerintahannya, Gus Dur juga telah mengeluarkan kebijakan yang mendukung masyarakat kecil seperti petani dan nelayan melalui kabijakan land reform. Sebuah kebijakan yang memberikan petani kuasa atas lahannya. Atas kebijakan ini, saat pemerintahannya kekuasaan petani atas tanahnya meningkat. Lalu mendorong upaya pengakuan atas hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Gus Dur juga telah menyerukan penutupan terhadap perusahaan kertas besar di Sumatera yang diindikasikan telah melanggar hukum. Sejak 1982, Gus Dur juga telah menolak pembangunan pembangkit tenaga nuklir di Jepara. Gus Dur juga telah menunjukkan orientasi pembangunan Indonesia untuk kembali pada kodratnya sebagai negara maritime dengan membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan.
“Gus Dur sebagai pejuang masyarakat telah meletakkan fondasi perlawanan masyarakat terhadap negara yang mendominasi kekuasaan sehingga masyarakat tidak mendapatkan hak-haknya,” kata Henry Saragih sebagai Presiden La Via Campasina.
Melalui kebijakan selama pemerintahannya, Gus Dur juga telah memberikan perlindungan kepada kaum minoritas di tengah-tengah pluralisme bangsa ini. Seperti kebijakan land reform yang telah mengembalikan hak-hak petani atas tanahnya.
Keberpihakan Gus Dur pada lingkungan hidup dan masyarakat minoritas juga diakui oleh Inayah Wulandari, putri bungsu Gus Dur yang mewakili sebagai penerima anugerah penghargaan bagi Gus Dur ini. Dalam kesehariannya, Gus Dur telah menanamkan prinsip-prinsip lingkungan hidup sebagai satu kesatuan. Tidak ada yang lebih tinggi dari lainnya, semuanya mempunyai peran yang sama dan saling mendukung.
Rezim Pasca Gus Dur, Gagal Selamatkan Warga dan Lingkungan
Namun sayang, menurut Berry Nahdian Furqon, Direktur Eksekutif Walhi, rezim pemerintahan setelah Gus Dur tidak menunjukkan kepemimpinan yang sama. Mereka tidak melihat pentingnya Tap MPR IX Tahun 2000 berkaitan dengan pembaruan agrarian dan pemanfaatan sumber daya agrarian yang terbit saat pemerintahan Gus Dur dan telah mendorong adanya land reform ini.
Tahun 2009 tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2009, Berry menilai pemerintah telah gagal dalam menjamain keselamatan hidup warga. Program-program kebijakannya tidak ada yang berhubungan dengan keselamatan hidup warga. “Celakanya, rakyat justru disuguhi politik pencitraan kamuflase terhadap kehidupan warga,” kata Berry.
Dalam mengurus bencana misalnya, kebijakannya masih jauh dari bagaimana warga bisa keluar dari masalah bencana. Masih banyak warga yang tidak mendapatkan bantuan selayaknya dan hak-hak pemulihan lainnya. Pada 2009 juga mengalami duka cita dengan keluarnya SP3 kasus pidana Lapindo Brantas yang merupakan kejahatan korporasi besar dan termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terberat menurut Komnas HAM.
Kebijakan energi juga menunjukkan hal yang sama. Banyak warga di daerah yang telah berlarut-larut mengalami krisis energi. Bahkan Jakarta sebagai ibukota negara juga telah terkena imbas dari salah kelola ini, kekurangan tenaga listrik telah terjadi di mana-mana.
Menurut Berry, semua ini terjadi, karena berlangsungnya sistem tata kelola ekonomi liberal. Dengan sistem ini, negara diurus dengan bantuan lembaga keuangan dunia untuk mendukung berkembangnya korporasi yang melakukan eksploitasi sumber daya alam dan menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Kegagalan ini juga diperparah dengan kegagalan Pemerintah Indonesia dalam melakukan diplomasi perubahan iklim di Kopenhagen Desember lalu. Dimana Delegasi Republik Indonesia gagal mencapai target pengurangan emisi sebagaimana mandat Bali Action Plan dan kurang terakomodasinya kepentingan Indonesia sebagai negara yang rentan dampak perubahan iklim.
Hal yang sama juga disampaikan Chalid Muhammad. Tahun 2009 telah terjadi pengukuhan konsolidasi kekuatan modal, lembaga keuangan dunia dan negara utara. Nasional Summit hanya menjadi akumulasi kepentingan korporasi dimana roadmap berasal dari kelompok swasta. Dengan kondisi ini, Chalid mengkhawatirkan 2010 menjadi tahun kegelapan bagi lingkungan hidup dengan semakin kuatnya pengurusan sumber daya alam oleh para korporasi.