Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

StoS Film Festival, Kompetisi Film Peduli Lingkungan Hidup dan Masyarakat Korban

Ani Purwati – 16 Jan 2010

Kehidupan masyarakat di kawasan yang kaya sumberdaya alam seringkali jauh dari kekayaan itu sendiri. Sebaliknya mereka berada dalam kemiskinan dan penderitaan. Tidak hanya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka yang terampas, mereka juga mengalami dampak berkepanjangan dari eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan orang-orang dari kawasan lain dan korporasi-korporasi yang mendapatkan ijin dari negara.

Dengan tidak mengenal lelah, mereka yang sebagian besar berada di negara selatan-selatan terus berjuang mendapatkan hak-haknya kembali. Segala cara telah mereka tempuh baik sendiri maupun bersama lembaga pendapingnya, mulai dari aksi lapangan hingga advokasi dan dengar pendapat dengan pemerintah dan wakil rakyat di lembaga legislative. Namun semua tak kunjung memberi pencerahan bagi penyelesaian masalah dan masa depan depan mereka.

Ironisnya, menurut Siti Maemunah sebagai Direktur Eksekutif Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) saat siaran pers peluncuran StoS Film Festival 2010 di GoetheHaus, Jakarta (15/1), masyarakat di kota-kota besar yang menikmati sumberdaya alam dalam bentuk bermacam produk itu seringkali tidak mengetahui dan menyadari, berapa biaya produksi produk itu dan apa yang terjadi pada masyarakat di daerah seputar sumberdaya alam penyuplai kebutuhan mereka itu. Tak heran bila pola hidup konsumtif mereka seringkali tidak terkendali dan cenderung tidak peduli akan dampak, baik terhadap lingkungan hidup sekitarnya maupun pada masyarakat seputar kawasan eksploitasi sumberdaya alam.

Padahal kepedulian ini penting dalam mengontrol seberapa besar eksploitasi sumberdaya alam terjadi. Besar kecilnya permintaan konsumen akan produk tertentu sangat berpengaruh pada seberapa besar sumberdaya alam yang harus dieksploitasi untuk menghasilkan produk tersebut.

Maka tak heran bila sekumpulan masyarakat dan beberapa lembaga yang peduli akan apa yang telah terjadi pada masyarakat miskin dan menderita di seputar kawasan kaya sumberdaya alam itu, berupaya menggalang kepedulian yang sama dari masyarakat konsumen di kota-kota besar seperti Jakarta. Mereka yang peduli di antaranya relawan dari berbagai elemen masyarakat, bersama 10 organisasi non pemerintah seperti Jatam, Walhi, Kiara, CSF dan sebagainya menyelenggarakan South to South Film Festival (StoS Film Festival).

Melalui media film, South to South Film Festival (StoS Film Festival) mencoba menarik masyarakat dari bermacam elemen baik anak-anak maupun dewasa untuk peduli dan berperan aktif dalam mengurangi dampak eksploitasi sumberdaya alam baik di lingkungan sekitarnya maupun di kawasan sumberdaya alam yang jauh dari kehidupan mereka tersebut. Menurut Ferdinand Rachim sebagai Koordinator Acara StoS Film Festival 2010, festival film yang ketiga ini mengambil tema “We Care” (Kita Peduli) untuk lebih menggugah kepedulian masyarakat melalui bermacam kegiatan sesuai minat dan kemampuannya. Di antaranya melalui film, foto, blog, dan musik.

“Berbagai media audiovisual itu telah berkembang begitu pesat dengan bantuan teknologi yang maju. Masyarakatpun mudah memahami dan menerima pesan yang disampaikan media audiovisual itu. Bahkan bermacam modifikasi peralatan digital termasuk handphone juga semakin membantu masyarakat untuk bisa membuat film, foto, blog dan musik,” kata Ferdinand.

Untuk lebih menggugah masyarakat berperan aktif dalam menunjukkan kepeduliannya, StoS Film Festival 2010 juga melakukan kompetisi film, fotonovela (foto bercerita), dan blog. Sejak pertengahan hingga menjelang pelaksanaan StoS Film Festival 2010 pada 22-24 Januari di GoetheHaus Menteng dan CCF Salemba, Jakarta, telah ada 32 peserta kompetisi blog, 30 peserta fotonovela dan 67 film dokumenter. Tahun ini, pertama kalinya StoS Film Festival menganugerahkan StoS Award untuk film dokumenter terbaik.

Festival Film Lingkungan Satu-Satunya

Meski film-film ini belum mencapai artistik dan teknis yang baik, namun Dimas Jayasrana sebagai Programer Film menilai bahwa festival film lingkungan hidup satu-satunya di Indonesia ini penting sebagai ruang festival film. Dimana materi-materinya tidak muncul di media informasi lain seperti televisi ataupun teater twentyone bisa menjadi alternatif bagi masyarakat. Secara keseluruhan, film-film yang terseleksi dan diputar di StoS Film Festival unggul secara substansi dan isu. Yaitu bagaimana persoalan-persoalan terjadi di tingkat lokal namun berdampak luas.

Film-film StoS Film Festival 2010 mengangkat cerita dari Indonesia, Brazil, Inggris, Peru, Perancis, Kanada dan Amerika Serikat. Seperti film Anak-Anak Lumpur yang bercerita bagaimana fakta yang terjadi di seputar lumpur lapindo yang tidak sekedar menjadi penderitaan bagi korban, namun juga menjadi kawasan yang menarik masyarakat lain untuk berkunjung. Film Tambogrande: Mangos, Murder, Mining yang bercerita tentang perjuangan masyarakat petani Peru yang terancam tambang. Lalu Satu Harapan sebagai salah satu kompetisi film tentang masyarakat Nusa Tenggara yang hidup dari hasil hutan.

Menurut Dimas, pemilihan film dokumenter terbaik ini melalui proses pemilahan oleh internal StoS dan perdebatan juri-juri yang kompeten seperti Candra Tansil dari Screen Doc, Nur Hidayati sebagai aktivis lingkungan hidup dari Greenpeace, dan Wicaksono sebagai jurnalis dari Tempo. Inti penilaian adalah seberapa aktual isu yang disampaikan film itu, seberapa besar memberi inspirasi pada penonton baik dalam tindakan maupun ketokohan, dan dikemas dalam penyampaian yang baik.

Setelah melalui proses seleksi tersebut, akhirnya ada enam film dokumenter yang menjadi nominasi StoS Award 2010. Pemenang kompetisi film, fotonovela, blog dan peraih StoS Award akan disampaikan pada akhir acara pada 24 Januari. Festival dua tahunan ini dimulai sejak 2006, dengan tema “Di Balik Kemilau Emas”, selanjutnya 2008, bertema” Vote For Life”.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *