Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Ornop: DPR Perlu Optimalkan Pengawasan Capaian Diplomasi Iklim Pemerintah Indonesia

Ani Purwati – 06 Jan 2010

Dewan Perwakilan Rakyat RI perlu mengoptimalkan fungsi pengawasannya terhadap praktik dan target capaian diplomasi Pemerintah Indonesia pada tiap-tiap putaran perundingan iklim, khususnya KTT Perubahan Iklim ke-15 yang baru usai.

“Kami mendesak DPR RI segera memanggil pemerintah dan DELRI untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan kinerjanya. Karena, setiap keputusan yang diambil Delegasi Republik Indonesia di Kopenhagen, akan mempertaruhkan keselamatan dan keberlanjutan kehidupan lebih dari 220 juta rakyat Indonesia,” demikian isi Laporan Kinerja Buruk dan Pembohongan Publik Delegasi RI dalam KTT Perubahan Iklim ke-15 di Kopenhagen yang disampaikan beberapa organisasi non pemerintah (ornop) pada DPR di Gedung MPR/DPR, Jakarta (5/1).

Menurut Giorgio Budi Indarto sebagai Koordinator Forum Masyarakat Sipil (Civil Society Forum-CSF), anggota DPR RI yang menerima para petinggi ornop adalah Pramono Anung dan Muarar Sirait dari Fraksi PDI Perjuangan.  Mereka menanggapi laporan Koalisi Ornop tersebut dengan positif dan akan membawa kekhawatiran yang tersirat di laporan tersebut ke rapat pimpinan.

“Dengan penyampaian laporan tersebut kami berharap agar Delri melakukan pertanggungjawaban kepada DPR sebagai wakil rakyat,” jelas Georgio.

Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa putaran perundingan KTT Perubahan Iklim ke-15 (COP 15) di Kopenhagen, 7-18 Desember 2009, gagal menghasilkan keputusan kolektif yang mengikat secara hukum (legally binding). Bahkan, Copenhagen Accord sebagai salah satu dokumen resmi hasil perundingan, tidak menyentuh substansi persoalan perubahan iklim, yakni mendesak pemotongan emisi dari negara-negara industri, sekaligus mempertanggung-jawabkan buangan emisi masa lalunya. Hasil Kopenhagen merupakan prestasi terburuk dalam sejarah perundingan iklim dari 14 putaran sebelumnya, karena hanya ditanda-tangani oleh 26 negara, termasuk Indonesia. 

Koalisi Ornop yang terdiri dari CSF, Institute Hijau Indonesia, Jatam, Kiara, Koalisi Anti Utang, Serikat Petani Indonesia, WALHI menyatakan keprihatinan mendalam terhadap kinerja buruk pemerintah dan Delegasi Republik Indonesia (DELRI). Menurut mereka, Indonesia tidak sepantasnya turut menandatangani Copenhagen Accord, bersama 25 negara lainnya. Keputusan melibatkan diri dalam kesepakatan minimalis tersebut, demi meraih simpatik pendanaan dari segelintir negara industry, sungguh tidak mencerminkan diplomasi sebuah negara yang berdaulat dan bermartabat. Dengan itu pula, Indonesia menjadi bagian kelompok negara-negara yang menghambat lahirnya kesepakatan kolektif, mengikat, dan berkeadilan dalam penangan perubahan iklim dunia.

Menurut mereka dari 16 paragraph pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dibacakan di hadapan delegasi negara-negara anggota, tidak satupun menyebut apalagi menyentuh hal-hal substansial terkait dimensi kelautan dan kepulauan Indonesia. Akibatnya, perhatian terhadapan ancaman perubahan iklim bagi negara kepulauan seperti Indonesia (archipelagic state), justru tidak menjadi perhatian di dalam Copenhagen Accord.

Diplomasi Indonesia juga dianggap inkonsisten. Pemerintah berani memberikan komitmen kepada dunia untuk menurunkan emisinya sebesar 26 persen, tapi tidak mau menyakatan komitmennya melindungi tutupan hutan alam tersisa (Protection of Primary Intact Forest) dalam perundingan LULUCF (Land Use Land Use Change and Forestry), salah satu komponen utama negosiasi melalui Ad-hoc Working Group on Further Commitment of Annex-1 Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP).

Pemerintah dan delegasi Republik Indonesia juga tidak sepatutnya menggunakan COP menjadi ajang mendapatkan hutang-hutang baru untuk pembiayaan dampak perubahan iklim. Dalam pertemuan COP 15, Uni Eropa dan Amerika Serikat telah berkomitmen menyalurkan US 10 miliar selama 2010 – 2012, di mana 50 persennya adalah skema utang luar negeri, yang justru akan meningkatkan praktik ketidakadilan di Indonesia. Diplomasi Indonesia seharusnya diarahkan mendesak negara-negara industri penyumbang polusi terbesar membayar utang iklim (climate debt) dan melakukan pemulihan kerusakan ekologi akibat kegiatan ekonomi yang tidak adil selama ini.

Laporan tersebut mengatakan bahwa kinerja buruk di atas merefleksikan masih terdapat sejumlah permasalahan teknis maupun substansial yang belum berhasil diselesaikan pemerintah dan DELRI, sebelum mengikuti COP 15. Permasalahan yang kami identifikasi tersebut di antaranya: pilihan strategi diplomasi, muatan dan pemahaman substansi perundingan, hingga kapasitas dan akuntabilitas delegasi Indonesia dalam perundingan iklim.

Berita Terkait:

http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0224&ikey=1

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *