Pemerintah Daerah (Pemda) Manggarai Barat saat ini telah menghentikan sementara berbagai kegiatan pertambangan, baik KP/IUP eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi. Pemda menempuh kebijakan itu tepatnya pada Oktober 2010, setelah mendengar berbagai masukan dan desakan dari berbagai pihak, terutama dari tokoh agama, tokoh masyarakat dan masyarakat luas.
Demikian menurut Agustinus Ch. Dula sebagai Bupati Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur saat diskusi publik tentang pentingnya persetujuan rakyat atas wilayah pertambangan sebagai hak konstitusi yang diselenggarakan Walhi, Huma, PBHI, KPA, Kiara dan Solidaritas Perempuan di Jakarta (27/1).
Menurut Agustinus, sejak dilantik sebagai Bupati Manggarai Barat periode 2010-2015 pada akhir Agustus 2010, langkah pertama yang ditempuh adalah berdiskusi dengan semua stakeholders pembangunan daerah, sosialisasi terhadap berbagai kebijakan pertambangan di Manggarai Barat, berdiskusi dengan semua pemegang ijin pertambangan yang telah diberikan, mengkaji kembali berbagai ijin yang telah diterbitkan sebelumnya, serta mempelajari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengingat salah satu kewenangan Pemda, sesuai amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku, adalah melakukan pembinaan, pemeliharaan dan pengawasan terhadap aktivitas pertambangan yang dilaksanakan di daerah. “Setelah melakukan pengkajian dan penilaian, ternyata aktivitas pertambangan terkait belum memiliki ijin lingkungan. Dengan demikian IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi yang telah diterbitkan batal dengan sendirinya,” jelas Agustinus.
Selain itu, kebijakan pertambangan Pemda Manggarai Barat periode 2010-2015 melihat tambang secara holistik dan sistemik. Perlu memperhatikan keterkaitan tambang dengan aspek-aspek lainnya seperti Rencana Tata Ruang, lingkungan hidup, kehutanan, kepariwisataan, kawasan lindung, persepsi masyarakat dan agraria. Pemda menyadari bahwa potensi utama yang dimiliki Manggarai Barat adalah pariwisata dengan objek utama Varanus komodoensis, terumbu karang menduduki nomor urut dua dunia, istana ular, Gua Batu Cermin dan objek wisata lain.
Menurut Pemda, pengembangan kepariwisataan penting sebagai payung utama dalam kebijakan pembangunan daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, sektor-sektor lainnya berada di bawah payung kepariwisataan sehingga saling bersinergi.
“Jika menurut perkiraan akan mengeksploitasi kegiatan kepariwisataan, maka sektor tersebut termasuk tambang perlu dikaji ulang untuk menempuh kebijakan moratorium,” kata Agustinus.
Salah satu contoh adalah tambang emas di Batu Gosok, Manggarai Barat. Di sini telah terjadi keresahan para pelaku industri pariwisata termasuk masyarakat sosial internasional sebagai wisatawan, akan kemungkinan timbulnya dampak negatif dari aktivitas tambang di kawasan Batu Gosok. Keresahan itu meningkat di tengah upaya masyarakat Indonesia dan dunia yang melakukan Vote Komodo untuk dijadikan sebagai salah satu The New Wonder of Nature.
Selain itu, aktivitas tambang di Manggarai Barat, khususnya di Batu Gosok berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Jika limbah cair dari aktivitas tambang (tailing) dibuang ke laut misalnya, dikhawatirkan akan mengganggu dan bahkan merusak ekosistem perairan dan menembus batas-batas administratif pemerintahan yang sudah ditetapkan, sehingga aktivitas tersebut mengganggu ekosistem perairan sampai kabupaten dan provinsi lain.
Wewenang Daerah
Kebijakan mengutamakan sektor pariwisata daripada tambang sebagai pendapatan asli daerah, menurut Sawaludin sebagai wakil dari Dirjen Minerba sebagaimana merupakan hak daerah menurut ketentuan otonomi daerah. Jika tambang menjadi pilihan terakhir, tergantung unggulan sektor masing-masing daerah di Indonesia. Terlebih lagi saat ini ijin pertambangan sepenuhnya ada di Pemerintah Daerah. Sementara Pemerintah Pusat hanya memberikan ijin investasi bagi perusahaan terkait.
Rudy Satriyo Mukantardjo sebagai Ahli Hukum dari Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (UI) setuju bahwa masalah tambang diletakkan pada daerah, Bupati bisa memberi atau mencabut ijin dengan masukan dari masyarakatnya.
Ancaman Pasal 162
Namun ada ancaman dari pasal 162 UU No. 4 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) pada masyarakat yang mempertahankan hak-haknya di kawasan tambang. Pasal ini memungkinkan masyarakat yang tidak menyetujui berlangsungnya aktivitas tambang yang telah mengganggu kehidupannya dianggap telah melakukan penghalangan atas aktivitas tambang. Akibatnya warga dianggap telah melakukan perbuatan kriminal dan terancam hukuman.
Saat ini koalisi organisasi masyarakat sipil (OMS) yang mengadakan acara diskusi publik ini sedang melakukan proses judicial review pasal 162 dan 136 UU No. 4 2009 tentang Minerba ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Nurkholis sebagai Wakil Ketua Komnas HAM, pasal 162 menegasikan hak persetujuan (veto) masyarakat atas satu kegiatan yang bisa mengganggu dalam mendapatkan ha-hak lingkungan dan kehidupan yang layak. Untuk itu pasal 162 harus dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Terlebih lagi kondisi di Indonesia yang penuh dengan ketidakjelasan dalam pencapaian persetujuan dan perijinan di tingkat elit politik dan stakeholder terkait.
Sepanjang tahun 2010 saja, menurut OMS, tercatat 28 orang mendekam di tahanan dan 37 oeang harus berurusan dengan pihak kepolissian dalam perjuangan mereka terhadap kelestarian ruang hidup dari penetrasi perusahaan tambang. Dikhawatirkan konflik rakyat dan pertambangan akan terus meluas seiring target pemerintah menetapkan 40 wilayah pertambangan per tahun, yang luasnya tidak terbatas pada periode 2009-2014.
Ani Purwati – 27 Jan 2011