Ani Purwati – 24 Feb 2010
Sikap pemerintah tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada lingkungan hidup di lapangan. Presiden mengatakan bahwa kita tidak boleh mewariskan planet yang rusak kepada anak cucu kita. Bahkan Presiden menerima UNEP Award Leadership in Marine and Ocean saat Pertemuan Para Menteri Lingkungan Hidup yang sedang berlangsung saat ini di Nusa Dua, Bali. Namun kenyataan di lapangan perusakan lingkungan terus terjadi setiap hari.
Demikian ungkap Carmelita Mamonto, Pengkampanye Laut dan Pesisir Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kepada beritabumi.or.id di Jakarta (24/2).
“Newmont membuang limbah 120 ribu ton di laut NTT setiap hari. Freeport mencemari sungai Aijkwa dan sampai ke Laut Aru. Pencemaran laut Timor oleh perusahaan minyak di Australia juga telah terjadi dan pemerintah tidak berani menuntut. Lalu, planet seperti apa yang akan diwariskan?” jelas Mamonto.
Menurutnya, gerakan menanam pohon tidak akan mampu bersaing dengan laju kerusakan hutan di Indonesia. Seharusnya pemerintah menghentikan perusakan hutan, moratorium illegal logging. Lalu menghentikan pencemaran di laut dan memperhitungkan daya dukung lingkungan. Yang tak kalah penting adalah jangan mengorbankan lingkungan hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar.
“Kalau tidak ada tindakan nyata dari pemerintah, kita hanya akan terus menghadiri pertemuan-pertemuan atau menjadi tuan rumah event-event internasional tanpa ada kesepakatan yang mengikat dengan negara-negara utara yang telah berutang ekologis terhadap negara-negara selatan,” kata Mamonto.
Kedepankan Penanganan Persoalan Lingkungan
Sementara itu M. Riza Damanik, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dalam siaran pers tertanggal 22 Februari mengatakan bahwa forum pertemuan tingkat menteri lingkungan hidup sedunia di Bali saat ini merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia sebagai negara kepulauan untuk mengedepankan jati diri dan strategi penanganan pelbagai persoalan lingkungan hidupnya di hadapan warga dunia. Karena persoalan lingkungan hidup bukanlah persoalan Indonesia semata, melainkan telah menjadi persoalan seluruh warga dunia.
Namun manurutnya harus dibarengi oleh kekokohan argumentasi dan strategi diplomasi yang bakal diajukan di meja-meja perundingan. Tahapan awal yang mesti dilakukan oleh pemerintah adalah pertama mengedepankan pemenuhan dan perlindungan hak dasar masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat dan kedua, mengedepankan semangat penyelesaian berbasis masyarakat atas pelbagai persoalan lingkungan hidup yang telah, sedang, dan akan terjadi, bukan malah menggusur masyarakat dari ruang hidupnya dan memperdagangkan keanekaragaman hayati bangsa atas nama konservasi. Kedua prinsip ini harus mengarusutama di tiap-tiap perundingan.
Agenda penting dalam pertemuan ini seperti green economic, biodiversity, penanganan limbah, dan sampah saling berkaitan. “Pemerintah Indonesia harus memanfaatkan momentum baik tersebut untuk menyelamatkan warga dari bencana ekologis, bukan malah memakainya sebagai simbol atau sekedar kamuflase, seperti yang telah terjadi pada penyelenggaraan Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference/WOC) di Manado, Mei 2009 lalu, dan KTT Perubahan Iklim ke-15 di Kopenhagen,” jelas Damanik.
Dijelaskan pula bahwa pengakuan sebagai negara kepulauan tanpa diikuti oleh strategi pembangunan berbasis kelautan dan kepulauan telah menempatkan Indonesia sebagai negara tujuan pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun. KIARA mencatat bahwa pertama, di akhir September 2004 lalu, di Pulau Galang Baru, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, ditemukan sebanyak 1.762 kantong besar dari Singapura yang disebutkan material organik ternyata mengandung limbah B3 seberat 1.149 ton dan kedua, pertengahan Januari 2010 lalu, juga ditemukan sekitar 2.000 karung sludge oil yang masuk dalam kategori limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) hasil pembuangan kapal-kapal tangker yang berlabuh di sekitar Pulau Batam mencemari puluhan hektare Pantai Nongsa, Kecamatan Nongsa, Batam, Kepri. Akibat pencemaran limbah tersebut hampir seluruh warga yang sebagian besar berdomisili di kawasan terkena limbah dan terkena penyakit gatal-gatal akut.
Fakta di atas menurut Damanik menunjukkan bahwa pemerintah masih lemah dalam penegakkan hukum lingkungan hidup, sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Meningkatnya pembangunan di segala bidang, khususnya pembangunan di bidang industri, berdampak pada kian bertambahnya jumlah limbah yang dihasilkan, termasuk yang berbahaya dan beracun, yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Pada pertemuan Bali inilah, Indonesia harus mendesak komitmen seluruh negara. Apalagi pada kenyataanya Indonesia hanya mampu mengolah sebesar 20 persen limbah B3-nya per tahun.
Hal penting lainnya yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia adalah tidak mengulangi kekeliruan diplomasi kelautan dan lingkungan hidup di level internasional, seperti yang telah dipertontonkan di Manado, Sulawesi Utara; dan KTT Perubahan Iklim ke-15 di Kopenhagen, Denmark. Kesalahan ini menurut Damanik berpangkal pada tidak dibahasnya persoalan primer kelautan perikanan dan pesisir nasional dalam kedua pertemuan penting tersebut. Demikian pula persoalan lingkungan hidup yang kian akut. Sebaliknya, pemerintah melalui delegasi resmi RI justru menjadi kanal pelestarian kejahatan kelautan dan lingkungan hidup oleh negara-negara utara.
Berita Terkait: http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0247&ikey=1
terima kasih atas artikel anda yang menarik dan bermanfaat ini.saya memiliki artikel sejenis yang bisa anda kunjungi di sini IT Publication