Ani Purwati – 03 Dec 2007
Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) telah dibuka dan akan berlansung dari 3-14 Desember 2007 di Nusa Dua, Denpasar, Bali. Sebagai masyarakat yang menjadi tuan rumah dari konferensi tersebut, masyarakat Bali tidak tinggal diam. Saat pembukaan Konferensi Perubahan Iklim (3/12) tersebut, berbagai kalangan masyarakat Bali yang tergabung dalam Kolaburasi Bali turut menyampaikan pemikiran bagaimana dapat mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca, salah satu tujuan dari Konferensi Perubahan Iklim.
Mereka menyatakan bahwa Nyepi, sebagai bagian dari memperingati Tahun Baru Saka bagi masyarakat di Bali mampu mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah perubahan iklim. Maka masyarakat Bali dalam pernyataannya (Bhisama Bali atau Deklarasi Bali), berharap Konferensi Perubahan Iklim di Bali ini dapat menghasilkan Bali Road Map paska 2012 melalui berbagai mekanisme hukum dan teknis serta memperhatikan kearifan lokal masyarakat. Mereka juga berharap melalui UNFCCC, PBB menetapkan Hari Nyepi Sedunia (Nyepi Day) setiap 21 Maret mulai tahun 2010 yang juga sebagai simbol dari Hari Air Sedunia untuk mengurangi emisi.
“Nyepi merupakan praktik pelaksanaan dari Trihitakarana. sebagai salah satu kearifan lokal yang disebut Trihitakarana dari Bali yang mengatur tentang hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya dan manusia dengan alam, dapat menjadi dasar bagi pembangunan berkelanjutan,” ungkap Nyoman Sadra sebagai anggota Kolaborasi Bali saat membacakan pernyataan.
Saat pelaksanaan Nyepi, masyarakat Bali melakukan serangkaian upacara sebagai simbol pembersihan alam untuk mencapai keseimbangan makro kosmos (Bhuana Agung) dan mikro kosmos (Bhuana Alit). Hal tersebut diikuti dengan Catur Brata Penyepian (empat pengendalian diri), yaitu amati agni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak menikmati hiburan).
Dengan pelaksanaan Nyepi tersebut, menurut Hira Jhamtani dari Third World Network (TWN) yang juga masyarakat Bali, diperkirakan emisi berkurang sekitar 20 ribu ton. Menurut data tahun 2005 di Bali terdapat sekitar 1.008.000 sepeda motor. Jika diasumsikan satu sepeda motor mengkonsumsi empat liter bensin sehari, berarti bensin yang digunakan adalah 4.032.000 liter. Jika pembakaran satu liter bensin menghasilkan 2,4 kg CO2, maka emisi yang dihasilkan 9.676.800 kg CO2.
Jika diperkirakan ada 200.000 mobil rata-rata mengkonsumsi 10 liter bensin, sehingga seluruhnya dua juta liter bensin. Artinya emisi yang dikeluarkan adalah 4,8 juta kilogram CO2.
Lalu ada sekitar 80 pesawat terbang beroperasi setip hari di Bandara Ngurah Rai, Bali yang mengkonsumsi bahan baker avtur 1600 kiloliter. Dengan asumsi satu liter avtur melepaskan 2,4 kg CO2, maka emisi yang dihasilkan adalah 3,840 ton CO2.
Jadi pelepasan karbon dari mobil, sepeda motor dan avtur pesawat di Bali per hari sekitar 17.316 ton CO2. Perhitungan tersebut merupakan perkiraan terendah, sehingga diperkirakan minimum penghematan emisi adalah 20 ribu ton.
“Bagaimana seandainya tradisi Nyepi juga terjadi di kota-kota besar di dunia (seperti New York) yang menghasilkan emisi terbesar,” ungkap Hira Jhamtani.
Menanggapi hal tersebut, Nurhidayati sebagai Kampanye Energi Greenpeace menyatakan pernyataan tentang Nyepi bagus dalam hal efisiensi energi. Sebagai momentum yang berkelanjutan, sumbangan masyarakat tentang Nyepi memerlukan kebijakan yang mendukung, di antarnya dalam mengurangi emisi dalam jangka panjang.
Namun kebijakan pemerintah masih menimbulkan kecemasan dan perlu diwaspadai dalam jangka panjang karena menimbulkan kerugian. Di antaranya kebijakan pemerintah tentang pembangunan PLTU batubara 10 mega watt. Seharusnya pemerintah dapat memanfaatkan sumber energi yang ramah lingkungan dan besar di Indonesia seperti panas bumi, angina dan sinar matahari.