Serangan tikus telah merusak dan menghabiskan tanaman padi sawah yang siap panen di beberapa daerah Pulau Bali. Terpantau dalam dua tahun terakhir dua kabupaten yakni, Kabupaten Badung dan Kabupaten Tabanan dilaporkan mengalami serangan tikus dan menyebabkan kerusakan tanaman padi sawah mencapai ratusan hektare.
Dari berbagai sumber berita media digital setempat menyebutkan sejak dari bulan Maret sampai Agustus tahun ini masalah kasus serangan tikus terhadap tanaman padi terjadi di Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Abiansemal, dan Kecamatan Petang. Diperkirakan luas keseluruhan kerusakan atau kegagalan panen sawah sekitar 107 hektare dari total luas lahan sekitar 9.593 hektare (lihat https://bali.tribunnews.com/2020/11/19/breaking-news-upacara-ngaben-bikul-di-badung-di-puput-ida-pedanda-dari-gria-agung-mandara-munggu?page=2). Sedang tetangganya yakni Kabupaten Tabanan juga mengalami hal yang sama, tercatat seluas 454 hektare yang dilaporkan mengalami kerusakan di beberapa kecamatan, yaitu: Kecamatan Kerambitan 254 hektare, Kecamatan Tabanan 107 hektare, dan Kecamatan Penebel 93 hektare. Dari luas keseluruhan yang diserang tikur diperkirakan 124 hektare statusnya puso atau gagal panen (https://bali.idntimes.com/news/bali/ni-ketut-wira-sanjiwani/langkah-jitu-petani-tabanan-atasi-hama-tikus-pakai-sekala-dan-niskala).
Program pengendalian populasi tikus di sawah sudah diterapkan dan disosialisaikan dari waktu ke waktu kepada kelompok tani subak, namun hasilnya kurang memuaskan sebab waktu tertentu bisa terjadi ledakan populasi tikus seperti kondisi sekarang. Sebagai contoh, dari hasil wawancara singkat (20/11) salah seorang anggota petani subak di Desa Babahan, Tabanan mengaku sudah mencoba dengan cara menebar umpan racun tikus disawahnya, umpan dimakan habis, ada yang mati tapi sedikit jumlahnya, seakan tikus-tikus sekarang sudah kebal racun.
Manakala ledakan populasi tikus sudah tak terkendalikan lagi dalam tata kelola pertanian modern maka pendekatan niskala (tak terlihat mata) dipercaya akan mampu menyelesaikannya.
Uniknya dalam sistem budaya tani Bali masih meyakini dan dipraktekan sampai sekarang tata cara dalam mengatasi serangan tikus-tikus di sawah. Bahkan pemerintah daerah setempat langsung turun-tangan dalam pembiayaan serangkaian upacara khusus yang disebut upacara Mreteka Merana atau dikenal disebut “ngaben bikul (tikus).” Upacara “ngaben bikul (tikus)” khusus wilayah Kabupaten Badung dilaksanakan pada tanggal 19 November 2020 di Pantai Seseh.
Beberapa hari sebelum hari penyelenggaraan upacara ngamben bikul para tani sudah beramai-ramai mengeroyok dan membunuh tikus-tikus di area persawahan. Diberitakan dalam Bali Tribun News (20/11), masyarakat berhasil mengumpulkan 250 ekor tikus jantan dan betina untuk upacara pengabenan secara simbolik. Selanjutnya, makna dari upacara ngaben tikus ini dipercaya tikus-tikus tersebut akan mendapat tempat yang lebih baik, dan kemudian tidak terlahir kembali sebagai tikus “hama” yang merusak tanaman padi.
Masyarakat Bali secara turun-temurun meyakini tikus-tikus setelah diupacara tidak datang lagi mengganggu sawah mereka. Karena itu tikus dalam pandangan budaya bali diberi tempat penghormatan dengan julukan “jero ketut”. Bagaimanapun, upacara ngaben bikul ini diyakini tetap bisa mengendalikan ledakan serangan tikus di sawah dalam siklus waktu tertentu. Sebagai contoh pengalaman Made Muliana, Pekaseh Subak Pengembungan atau pemuka adat subak di wilayah Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Menurut dia lebih percaya secara niskala melalui upacara ngaben bikul meskipun tetap menggunakan bahan racun tikus untuk mengatasi serangan tikus. Serangan tikus terakhir dialami subaknya sekitar tahun 1990-an, kemudian setelah melakukan upacara ngaben bikul sampai saat ini belum ada kejadian serangan tikus skala besar (lihat https://bali.idntimes.com/news/bali/ni-ketut-wira-sanjiwani).
Dari hasil penulusuan berbagai sumber satu dekade terakhir menunjukan upacara ngaben bikul di wilayah Kabupaten Badung terakhir kali diadakan pada tahun 2009, sedang di Kabupaten Tabanan tercatat sudah diadakan beberapa kali terhitung sejak tahun 1995, 2000, 2008 dan tahun lalu khususnya di Desa Pekraman Bedha, Bongan dilaksanakan di Pantai Yeh Gangga.
Biaya penyelenggaraan upacara ngaben bikul tidaklah murah, walaupun ngaben bikul biasanya dilaksanakan sepuluh tahun sekali. Biasanya warga masyarakat berpatungan menanggung biaya penyelenggaraan upacara. Namun tahun ini, sumber pendanaannya berbeda. Sumber Bali Tribun News (20/11) menyebutkan penyelenggaraan ngaben bikul di Pantai Seseh bersumber dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) tahun anggaran 2020 kurang lebih Rp.250 juta.
Bagaimanapun, setelah upacara ngaben tikus tidak ada jaminan tikus akan hilang, yang pasti hanya berkurang sesaat saja populasinya. Untuk itu para tani tetap harus memperhatikan dan wajib membersihkan rumput di pematang sawah dan merawat keseimbangan rantai makanan predator tikus seperti kucing, ular dan burung hantu. (Ruddy Gustave, penulis Berita Bumi tinggal di Bali)