Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Banjir dan Anomali Kebijakan Lingkungan Hidup

Bencana banjir kembali merendam wilayah Provinsi Kalimantan Selatan pada awal tahun ini, apabila dilihat dari jumlah korban dan luasan dampaknya kali ini termasuk yang paling parah daripada tahun-tahun sebelumnya. Tercatat sebanyak 7 Kabupaten dari 13 Kabupaten wilayahnya terdampak banjir. Menurut BNPB (16/1), lima kabupaten yang mengalami banjir paling parah yaitu, Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Tanah Laut, Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kabupaten Balangan. Dan kelima kabupaten itu merupakan lintasan DAS (Daerah Aliran Sungai) Barito.

Informasi  yang dikeluarkan Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (www.bnpb.go.id) melaporkan data terdampak banjir antara lain, jumlah keseluruhan rumah terendam lebih dari 27 ribu dan memaksa lebih dari 112 ribu warga mengungsi, serta 15 jiwa meninggal. Banjir kali ini termasuk paling parah dan sesuai ketentuan kebencanaan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan menetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Banjir pada tanggal 14 Januari 2021. 

Bencana banjir tahun ini tergolang parah dan hal itu dipicu munculnya gejala ketidakpastian atau anomali iklim global yang sedang berkembang di kawasan Samudra Pasifik yang disebut La Nina. Gejala La Nina sudah diperingatkan oleh BMKG sejak bulan September 2020, bahwa Indeks ENSO (El Nino-Southern Oscillation) menunjukkan suhu permukaan laut di wilayah Pasifik tengah dan timur dalam kondisi dingin, dan menjadi ambang batas terbentuknya La Nina. 

Para pengamat iklim telah mengingatkan bahwa gejala La Nina dapat menyebabkan terjadinya akumalasi jumlah curah hujan bulanan di wilayah Indonesia naik hingga 40 prosen di atas rata-rata kondisi normal. Itu artinya La Nina akan membawa konsekuensi persoalan peningkatan curah hujan dan berpotensi memicu dampak terhadap hidrometeorologis seperti banjir dan longsor. Beberapa daerah yang sudah terpetakan rawan banjir salah satunya adalah wilayah Provinsi Kalimantan Selatan, terutama DAS Barito.

Para pejabat publik sudah diingatkan waspada terhadap gejala La Nina namun kenyataannya tidak banyak tindakan nyata yang dilakukan untuk menghindari dan mengurangi dampak terburuk yang akan ditimbulkan terhadap warga masyarakat. Warga masyarakat seolah-olah dibiarkan dalam kondisi pasrah membaca dan menerima banjir besar itu sebagai bencana alam akibat luapan sungai atau curah hujan tinggi. Padahal area kabupaten yang dilintasi DAS Barito sudah terpetakan dan disebut langganan banjir, warga masyarakat hanya bisa pasrah menunggu datangnya hujan dengan hati was-was apakah banjir airnya rendah atau airnya tinggi. 

Hampir setiap tahun tercatat terjadi peristiwa banjir di sejumlah wilayah Provinsi Kalimantan Selatan bahkan dalam setahun bisa terjadi dua kali perisitiwa banjir di beberapa lokasi yang disebut langganan banjir, khususnya DAS Barito. Data peristiwa banjir Provinsi Kalimantan Selatan dari tahun 1997 sampai 2019 yang dicatat oleh BNPB seperti yang ditampilkan di bawah ini. 

Tabel Rekaman Peristiwa Banjir Provinsi Kalimantan Selatan BNPB dari Tahun 1997-2019

Sumber https://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/results.jsp dan diolah kembali oleh Ruddy Gustave

Gejala La Nina bukan hal baru kali ini terjadi, terpantau sudah sejak abad 19 namun baru dipopulerkan kepada publik mulai tahun 1998 sampai sekarang. Dengan membaca data rekaman peristiwa banjir di atas itu maka jumlah peristiwa banjir terus meningkat termasuk area terdampak makin meluas paska pemerintahan reformasi. Bahkan beberapa peristiwa banjir ditetapkan statusnya tanggap darurat oleh pemerintahan setempat akibat banyaknya korban manusia. Sebagai contoh peristiwa banjir sebelumnya yang terjadi pada tahun 2013 tercatat tiga kabupaten, yaitu Tabalong, Balangan, dan Hulu Sungai Tengah yang parah direndam banjir, dan ketinggian air rata-rata satu sampai dua meter. 

Menurut perhitungan luasan genangan banjir dipublikasi oleh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) di halaman facebooknya pada tanggal 17 Januari sebagai berikut; luas genangan tertinggi terjadi di Kabupaten Barito Kuala sekitar 60 ribu hektare, Kabupaten Banjar sekitar 40 hektare, Kabupaten Tanah Laut sekitar 29 hketare, Kabupaten Hulu Sungai Tengah sekitar 12 ribu hektare, Kabupaten Hulu Sungai Selatan sekitar 11 ribu hektar, Kabupaten Tapin sekitar 11 ribu hektare, Kabupaten Tabalong sekitar 10 ribu hektare, sedang 8-10 ribu hektar di wilayah Kabupaten Balangan, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Hulu Sungai Utara, Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Murung Raya. 

Selain analisa luasan genangan air seperti yang disebutkan di atas Lapan juga menampilkan analisa perubahan penutupan lahan di DAS (Daerah Aliran Sungai) Barito kurun waktu tahun 2010-2020. Menurut Lapan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir terjadi penurunan hutan primer seluas 13 ribu hektare, 116 ribu hektare hutan sekunder, 146 ribu hektare sawah dan 47 ribu hektare semak belukar. Sebaliknya terjadi perluasan untuk kebutuhan area perkebunan 219 ribu hectare.  

Memang tidak mudah menentukan faktor penyebab utama banjir selain curah hujan yang tinggi itu sendiri. Sisi lain pihak pengambil kebijakan  pengelolaan lingkungan hidup seolah-olah menyangkal terhadap kenyataan perubahan ekosistem lahan basah dan tutupan hutan yang berlangsung sejak tahun 1998 sampai sekarang. 

Tak heran pernyataan yang disampaikan Kementerian Lingkungan HIdup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL), MR Karliansah bahwa banjir yang terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan itu disebabkan oleh anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito. Dikutip dari keterangan pers KLHK yang dikeluarkan pada tanggal 19 Januari, menurut MR Karliansah status DAS Barito Kalimantan Selatan tidak sama dengan DAS Barito Kalimantan. DAS Barito Kalimantan Selatan hanya seluas 1,8 juta hektare dari luas keseluruhan DAS Barito se Kalimantan seluas 6,2 juta hektare. Kemudian wilayah DAS Kalimantan Selatan terdiri dari 39,3% adalah kawasan hutan dan 60,7% adalah Area Penggunaan Lain (APL) bukan hutan. 

MR Kaliansah menambahkan kejadian banjir yang terjadi di sepanjang DAS Barito disebabkan antara lain infrastruktur ekologis yaitu jasa lingkungan pengatur air sudah tidak memadai, sehingga tidak mampu lagi menampung aliran air yang masuk. Sedang masalah perubahan penutupan lahan dan kerusakan hutan seakan ditepis oleh Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Belinda Arunarwati Margono.  

Menurut Belinda Arunarwati penurunan luas hutan alam DAS Barito selama periode 1990-2019 adalah sebesar 62,8%, dan penurunan terbesar itu terjadi pada periode 1990-2000 sebesar 55,5%. Jadi, periode 2010 sampai 2020 hanya terjadi penurunan sekitar 7,3% saja. 

Selanjutnya, siaran pers KLHK pada tanggal 23 Januari menyebutkan status penggunaan kawasam hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutunan melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), sebagai berikut: IPPKH sampai tahun 2020 tercatat sebanyak 93 unit kegiatan non-tambang luas keseluruhannya kurang lebih 56.243 hektare (5,9% dari luas kawasan hutan lindung dan hutan produksi). Sedang IPPKH kegiatan pertambangan sebanyak 87 unit yang luas keseluruhannya kurang lebih 55.078 hektare.

Bagaimanapun, dalam kurun waktu dua dekade terakhir sudah terjadi perubahan ekosistem lahan basah DAS Barito secara signifikan untuk berbagai kebutuhan, sementara para pihak pemangku kepentingan masih kesulitan menentukan faktor penyebab banjir. Hal itu juga disinggung oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Kalimantan Selatan Roy Rizalli Anwar yang dikutip media online Kabar Kalimantan. Secara implisit ada kesan sejauh ini belum ada kajian penyebab banjir yang terjadi di beberapa daerah langganan banjir. Selanjutnya, menurut Roy Rizalli perlu dikaji DAS di WS Barito mengenai kontribusinya terhadap banjir ini. Untuk itu diusulkan pembentukan tim khusus bersama PUPR, Bappeda, Dishut, BPPD, dan BWS serta dinas terkait lainnya untuk bersama-sama ke lokasi yang terkena dampak bencana banjir untuk melakukan survei pendahuluan untuk mengetahui penyebab banjir (lihat https://redkal.com/kajipenyebabbanjir-pemprov-kalsel-terjun-ke-lokasi/).

Jadi, dugaan kuat masalah banjir terjadi yang selama ini terjadi erat hubungannya dengan masalah tata kelola hutan. “Tidak mungkin banjir kalau tutupan lahannya optimal,” demikian kata Syarifuddin guru besar Ilmu Manajemen Hutan, Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan seperti yang ditulis media-online Tempo pada tanggal 20 Januari 2021. *** Oleh: Ruddy Gustave, koord. progam penelitian KONPHALINDO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *