Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Kerjasama FAO yang Menuai Kritik

Lutfiyah Hanim – Penulis Berita Bumi

Langkah FAO menandatangani Letter of Intent dengan CropLife International pada awal Oktober 2020 lalu menuai kecaman dari berbagai kelompok.

Sebanyak 352 organisasi masyarakat sipil dan Masyarakat Adat dari 63 negara yang mewakili ratusan ribu petani, nelayan, pekerja pertanian dan komunitas lainnya, serta lembaga hak asasi manusia, berbasis keyakinan, lingkungan dan keadilan ekonomi telah mengirimkan surat keprihatinan kepada Qu Dongyu, Direktur Jenderal Lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pertanian (FAO/Food and Agriculture Organization). Dalam suratnya, mereka mengungkapkan keprihatinan mendalam atas rencana FAO untuk memperkuat kerjasama dengan CropLife. 

Surat tersebut juga menghimbau FAO untuk mempertimbangkan kembali aliansi dengan CropLife yang merupakan asosiasi perdagangan yang mewakili kepentingan perusahaan yang memproduksi dan mempromosikan pestisida berbahaya. 

Dalam suratnya, kelompok masyarakat sipil menyebutkan bahwa kerjasama tersebut secara langsung melemahkan prioritas FAO dalam meminimalkan bahaya penggunaan pestisida kimia di seluruh dunia, “termasuk larangan progresif terhadap pestisida yang sangat berbahaya pestisida (Highly Hazardous Pesticides/HHPs). Lebih lanjut disebutkan, hal ini juga merusak prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Kode Etik FAO tentang Pengelolaan Pestisida, dan mengikat badan PBB tersebut dengan produsen pestisida kimia yang berbahaya dan tidak berkelanjutan. Serta melepaskan peran FAO sebagai pemimpin global yang mendukung pendekatan inovatif untuk produksi pertanian yang mempromosikan realisasi progresif hak atas kecukupan pangan dalam rangka ketahanan, keberlanjutan dan ketahanan pangan nasional.

Laporan Pelapor Khusus tentang hak atas pangan PBB pada 2017, yang dikutip dalam surat tersebut, menyebutkan  ketergantungan pada pestisida berbahaya adalah perbaikan jangka pendek yang merusak hak atas kecukupan pangan dan kesehatan untuk generasi sekarang dan masa depan. 

Lebih jauh, surat juga mengutip analisis terbaru atas dokumen industri mencatat bahwa anggota CropLife, BASF, Bayer Crop Science, Corteva Agriscience, FMC, dan Syngenta, menghasilkan lebih dari sepertiga pendapatan penjualan mereka dari HHP —pestisida yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Selanjutnya, disebutkan, tujuan utama perusahaan pestisida adalah untuk memaksimalkan penjualan produk mereka, terlepas dari bahaya kesehatan dan lingkungan, dan apakah produk ini diperlukan atau benar-benar menguntungkan petani. FAO, sebaliknya, harus bertujuan untuk meningkatkan akses petani ke praktik dan alat yang membantu mereka menumbuhkan tanaman mereka secara berkelanjutan tanpa mengganggu kesehatan mereka, demikian tulis surat tersebut.

Kartini Samon, dari GRAIN yang juga mendukung surat keprihatinan tersebut menyatakan kekecewaannya. “FAO adalah Lembaga PBB yang seharusnya mempromosikan pola pertanian untuk memperbaiki ekosistem dan keragaman hayati, mendukung pencapaian pertanian berkelanjutan, kesejahteraan dan kesehatan petani dan pertanian. Ini kontradiksi dengan tujuan perusahaan pestisida untuk menjual racun-racun tersebut dengan berbagai cara. Sehingga sangat disayangkan keputusan FAO untuk bekerjasama dengan CropLife yang terus mempromosikan penggunaan agrokimia di berbagai negara.

Selanjutnya, Kartini menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan pestisida memang menargetkan negara-negara berkembang, seperti Indonesia untuk memasarkan produknya. “Mereka memanfaatkan kebijakan yang berlubang-lubang, pendaftaran dan kontrol yang lemah atas penggunaan pestisida berbahaya.

Kartini mencontohkan, herbisida paraquat dari Syngenta. Herbisida tersebut telah dikaitkan dengan Penyakit Parkinson dan banyak bahaya kesehatan lainnya. Telah dilarang di Eropa sejak 2007, dan di lebih dari 30 negara masih diekspor dan digunakan secara luas. Sementara di Indonesia, paraquat masih banyak digunakan seperti di perkebunan kelapa sawit, laporan dari perkebunan kelapa sawit dari sejumlah daerah seperti di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah misalnya menunjukkan buruh kebun yang bertugas menyemprot pestisida ini kerap dilakukan tanpa perlindungan yang layak dan mengakibatkan dampak kesehatan yang parah seperti gangguan reproduksi dan penyakit kulit.

Contoh pestisida lainnya yang disebutkan dalam surat, adalah insektisida klorpirifos Corteva menghambat perkembangan otak, yang mengakibatkan keterlambatan perkembangan dan IQ yang lebih rendah. Ini telah dilarang di beberapa negara bagian AS, Eropa dan empat negara lain, tetapi produksi dan penggunaan terus berlanjut. Lalu, ada jenis imidacloprid Bayer dan insektisida sistemik neonicotinoid lainnya telah menghancurkan populasi penyerbuk. Satu studi baru-baru ini menemukan bahwa secara keseluruhan, lahan pertanian AS 48 kali lebih banyak serangga beracun dibandingkan 20 tahun lalu. Selanjutnya ada Fipronil BASF telah terlibat dalam kematian lebah massal di banyak negara, termasuk Prancis, Brasil, dan Afrika Selatan. Ini hanya beberapa contoh dari dampak berbahaya dari ratusan produk yang diproduksi dan dipromosikan oleh perusahaan yang tergabung dalam CropLife International.

[Di Indonesia, pestisida berbahan aktif paraquat, klorpirifos dan imidacloprid merupakan jenis yang terdaftar untuk dipasarkan]

Sementara itu, Aditiajaya, dari FIELD Indonesia menyatakan keprihatinannya atas rencana kerjasama FAO dengan CropLife. “Bukankah FAO juga sudah melakukan banyak penelitian mengenai sistem pertanian berkelanjutan yang terbukti produktif, ramah lingkungan, dan aman bagi kesehatan. Bisa dikatakan tidak diperlukan pestisida kimia dalam proses pertanian dan pengelolaan agroekosistem oleh petani,” kata Aditia.

Selanjutnya Aditia menceritakan pengalamannya dalam sekolah lapangan pengelolaan agroekosistem untuk berbagai komoditi tanaman pangan di tingkat petani. Berbagai macam mahluk hidup yang sering disebut sebagai hama, adalah mahluk yang pintar. Jika petani menggunakan pestisida, herbisida (pembasmi gulma/rumput liar) kimia untuk membunuh mereka bukan saja hama sasaran tetapi serangga lain yang berfungsi sebagai predator (musuh alami pemangsa hama) terkena ikut terbunuh, dalam waktu cepat, mereka akan belajar untuk beradaptasi dengan jenis dan dosis herbisida dan pestisida kimia. Sehingga dalam musim-musim tanam berikutnya, ketika petani menggunakan pestisida dan herbisida yang sama, akan tidak efektif. Hama-hama tersebut telah mengembangkan resistensi, resurgensi dan petani harus mengeluarkan uang yang lebih banyak lagi untuk membeli jenis-jenis racun kimia yang baru dengan dosis yang lebih banyak, demikian jelas Aditia.

Selain itu, kata Aditia, dampak selanjutnya adalah menurunnya kesuburan tanah, karena keracunan oleh berbagai pestisida, herbisida kimia terus menerus diguyurkan ke tanah, terjadinya penumpukan residu, sehingga kondisi tanah pertanian pangan di Indonesia yang sebagian besar masih menerapkan budidaya pertanian konvensional, menjadi sakit.  

Karena itu, Aditia menyarankan, bahwa sistem-sistem pertanian berkelanjutan, yang tidak menggunakan racun-racun kimia seharusnya dihidupkan, dipelajari kembali dan disebarluaskan. “Sistim pertanian berkelanjutan, seperti agroekologi, yang meletakkan petani sebagai subyek, sebagai petani yang mandiri dan merdeka, berkembangnya pengetahuan petani dalam mengelola sumber-sumber daya hayati baik serangga di udara, di air, dan di dalam tanah untuk beragam jenis tanaman dalam satu lahan usahatani dapat menjamin keseimbangan ekosistem pertaniannya. Model agroekologi terbukti, lebih tahan terhadap krisis iklim, terjangkau dan tersedia, tidak merusak alam, dan menguatkan peri kehidupan petani serta kapasitasnya meningkat dalam menemukan mengembangkan inovasi pengelolaan agroekosistem,” demikian kata Aditia.

Surat keprihatinan tersebut antara lain di dukung oleh organisasi lokal dan internasional dari berbagai negara, antara lain, Alliance for Food Sovereignty in Africa (AFSA), Center for International Environmental Law (CIEL), FIAN International, Friends of the Earth International, Institute for Agriculture and Trade Policy (IATP), International Indian Treaty Council (IITC), International Pollutants Elimination Network (IPEN), International Union of Food, Agricultural, Hotel, Restaurant, Catering, Tobacco and Allied Workers’ Associations (IUF), Pesticide Action Network (PAN) International, Public Eye and Third World Network.

Sementara itu, 286 ilmuwan, peneliti dan akademisi juga menyuarakan hal serupa, atas rencana FAO untuk “memperbarui dan memperkuat” dengan CropLife International. Menurut pernyataan yang dikirim ke FAO, menyebutkan penyelarasan strategis FAO dengan industri ini menimbulkan konflik kepentingan yang mendasar dengan misi dan mandat PBB, seperti untuk melindungi keanekaragaman hayati, mendukung kebaikan publik, dan menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia seperti hak atas kesehatan, lingkungan kerja yang aman, bersih. udara dan air. Kelompok ilmuwan, peneliti dan akademisi bahkan menganalogikan pengaturan ini setara dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengumumkan kerja sama dengan Philip Morris untuk mencegah kanker paru-paru.

Di akhir surat tersebut, kelompok-kelompok tersebut, mendesak FAO mempertimbangkan ulang dan menghentikan kerjasama dengan CropLife International.

Beberapa sumber:
Agroecology Research Action Collective. 2020, 19 November.  Letter from academics, scientists & researchers expressing concern regarding FAO’s announcement of plans to forge a new strategic partnership with CropLife International.
https://agroecologyresearchaction.org/letter-from-academics-scientists-researchers-expressing-concern-regarding-faos-announcement-of-plans-to-forge-a-new-strategic-partnership-with-croplife-international/
 
FAO. 2020, 2 Oktober. FAO and CropLife International strengthen commitment to promote agri-food systems transformation. http://www.fao.org/news/story/en/item/1311286/icode/
 
PANAP. 2020, 19 November. Joint Letter to FAO.
http://www.panna.org/sites/default/files/Final_FAO_letter_signed1.pdf
 
Sistem Informasi Pestisida http://pestisida.id/simpes_app/index.php

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *