Ani Purwati dan Jing Han – 24 Nov 2010
Pencabutan subsidi bahan bakar minyak (energi fosil yang tidak terbarukan) bisa mengurangi penggunaannya dan mencegah kerusakan lingkungan. Pemerintah bisa mengalihkan subsidi BBM ini untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan seperti energi air, angin, surya yang ada di daerah-daerah terpencil.
Demikian menurut Hindun Mulaika sebagai Pengkampanye Energi dan Iklim Greenpeace SEA Indonesia saat diskusi tentang Fossil Fuel Subsidies And Their Impacts In Indonesia yang diselenggarakan Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Subsidy Initiative (GSI) dan International Institute for Sustainable Development (IISD) di Jakarta (23/11).
“Energi fosil nampak lebih murah karena tidak memperhitungkan biaya eksternalitas yang timbul dan dirasakan masyarakat sekitar dalam pengadaannya. Seringkali masyarakat sekitar mengeluh, mengalami penurunan pendapatan dan dampak sosial lainnya,” jelas Mulaika.
Biaya eksternalitas inilah yang sebenarnya sangat besar dan membuat energi fosil menjadi lebih mahal dari perhitungan selama ini. Sementara itu energi fosil yang tidak terbarukan ini suatu saat akan habis dan penggunaannya telah menimbulkan pencemaran udara serta meningkatkan gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.
Berbeda dengan energi terbarukan seperti air, angin dan surya yang sudah tersedia dia alam secara bebas. Beberapa kelompok masyarakat terbukti telah mengembangkan teknologi mikrohidro dari sumber air yang melimpah di kawasan terpencil.
Dengan mendukung pengembangan energi terbarukan ini, pemasaran produk energi terbarukan bisa meningkat dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Indah Suksmaningsih sebagai Direktur Eksekutif Institute for Global Justice (IGJ) juga berpendapat bahwa jika subsidi tidak dicabut maka ada potensi penggunaan energi secara berlebihan dan ini akan merusak lingkungan. Pemerintah harus memenuhi kewajiban untuk menyediakan transportasi publik dan berani mengganti BBM dengn gas yang menurut Kurtubi dapat menurunkan 1/3 subsidi bbm saat ini. Sehingga kerusakan lingkungan dapat diminimalkan.
Dampak Pencabutan Subsidi
Pemerintah seharusnya juga bisa mengalihkan subsidi energi fosil untuk kepentingan kesehatan dan pendidikan masyarakat miskin di Indonesia. “Namun hingga saat ini belum terbukti adanya pengalihan subsidi energi untuk kedua kepentingan masyarakat ini,” ungkap Suksmaningsih.
Menurut Suksmaningsih, persoalan subsidi bukan hanya persoalan APBN dan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dibutuhkan aksi kolektif dari Kementrian Perhubungan, PLN dan Pertamina serta masyarakat untuk bersama-sama bekerja. Sehingga tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk karena pencabutan subsidi energi fosil.
Energi fosil merupakan sumber energi terpenting yang dibutuhkan manusia untuk menggerakan ekonomi industri suatu negara. Dalam konteks industrialisasi di Indonesia, industri adalah sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan bagi rakyatnya dan bukan untuk kemakmuran industri besar seperti negara maju. Dengan tutupnya industri karena pencabutan subsidi BBM maka akan terjadi proses pemiskinan. Millennium Development Goals (MDG’s) tidak tercapai.
Pencabutan subsidi akan membuat industrialisasi negara berkembang bangkrut. Contoh matinya 17 pabrik paku dan kawat di Indonesia yang tidak dapat bersaing dengan China. Total Industri yang tutup selama 3 th 06-08 adalah 1,650 industri dan 140,584 tenaga kerja menganggur. Pencabutan subsidi juga akan menaikan harga pangan dan barang, bahkan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Menurut Suksmaningsih, pencabutan subsidi energi fosil bisa menjadi kekerasan pada suatu negara yang diikuti dengan kekerasan rumah tangga dan akhirnya menjadi kekerasan pada perempuan karena di Indonesia perempuan merupakan penentu belanja rumah tangga
Data IGJ menunjukkan, Maret 2005 BBM naik 30%, harga BBM Indonesia saat itu 40% dari harga dunia. Oktober 2005 naik lagi rata-rata 126%, harga domestik menjadi 80% harga dunia. Pada 24 Mei 2008 naik ketiga kalinya rata-rata 28,7%. Harga domestik mendekati harga pasar dunia yaitu bahan bakar premium Rp 8.600 per liter, solar Rp 8.300/liter dan minyak tanah Rp 9.000/per liter . Namun ternyata kesehatan dan pendidikan masyarakat tidak lebih baik.
Tepat Sasaran
Peter Wooders, Ahli Ekonomi Senior dan peneliti dari International Institute for Sustainable Development (IISD) mengatakan bahwa subsidi penting bagi kebijakan publik terkait dengan pendidikan, kesehatan, penelitian dan pengembangan serta lapangan pekerjaan. Pemerintah harus menjamin penggunaan subsidi tepat sasaran untuk publik bukan untuk kepentingan private saja.
Dari hasil penelitiannya menunjukkan, di tengah-tengah pro dan kontra adanya reforma dan pencabutan subsidi energi fosil, sebagian besar organisasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan melihat dampak subsidi bagi lingkungan hidup, pengembangan ekonomi dan jaminan sosial masyarakat.
Menurutnya, reforma subsidi harus berdasarkan keadaan masyarakat local dan adanya dukungan kuat dari masyarakat. Selanjutnya pemberian subsidi harus dilakukan secara transparan (terbuka) untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan sehingga manfaat bisa benar-benar terwujud.