Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Pengujian Kembali Pangan PRG Ke Mahkamah Konstitusi Indonesia: Pro Pasar atau Pro Lingkungan?

Ada yang keliru, tidak sesuai dengan rasa keadilan petani kecil dan prinsip kelestarian lingkungan yang diatur dalam Undang undang Pangan (No.18 Tahun 2012) alasan itulah kemudian diajukan pengujian kembali (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para penggugat terdiri dari sejumlah LSM mendaftarkan pada 18 November 2013 perkara ini, sampai sekarang masih dalam proses persidangan dan belum ada keputusan akhir dari MK. Salah satu pasal mengatur tentang PRG (produk rekayasa genetika) diminta juga untuk diuji kembali karena dianggap dapat menimbulkan masalah baru dalam ekosistem pertanian dan ancaman terhadap keselamatan kesehatan manusia. Sementara di sisi lain dia diciptakan sebagai tutuntan produk regim pro pasar bebas. Maka, sesungguhnya peraturan ini untuk melayani kepentingan pro pasar bebas atau pro lingkungan?

Kita sudah melangkah masuk ke era bioteknologi molekuler modern dan PRG pangan itu adalah salah satu jawabannya, dan kenyataan itu tak bisa dihindari lagi. PRG pangan diciptakan para perekayasa genetika dan pengusaha benih internasional dengan cerita indah, dan seakan berjasa mampu mengatasi krisis pangan global, menyiapkan pangan buat jutaan orang lapar, serta mengatasi masalah kegagalan panen akibat perubahan iklim global. Tidak hanya sampai situ negara-negera berkembang terus didorong, tanpa syarat atau secara sukarela menyesuaikan perangkat-perangkat hukum, tata perdagangan serta pola pertanian global. Persoalan itu semakin nyata ketika Oliver De Schutter, Pelapor Khusus PBB pada pada Oktober 2013 menyampaikan kepada Majelis Umum PBB bahwa, “langkah pertama adalah agar Pemerintah memberikan landasan hukum hak atas pangan”. Nampaknya tuntutan global itu dijalankan oleh pemerintahan Indonesia yang antara lain merevisi peraturan perundangan terkait pangan, yakni Undang undang Pangan Nomor 18 tahun 2012.

UU No.18 Tahun 2012 adalah penganti UU No.7 Tahun 1996, UU Pangan yang lama dikritik dan sudah dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan sosial-politik dan kondisi lingkungan atau iklim terkini dan akan datang. Salah satu pemicu perbedaan pandangan dan kontrovesrsial di kalangan masyarakat dalam UU Pangan yang baru tersebut adalah munculnya pasal yang mengatur tentang pangan hasil rekayasa genetika (PRG), atau lebih dikenal dengan istilah genetically modified engineering (GMO).

Selanjutnya, kata-kata PRG dapat ditemukan pada Pasal 1 ayat 33 dan 34 junto Pasal 69 sampai Pasal 77. Ayat 33 berbunyi, “Rekayasa Genetika Pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul”. Seterusnya, bunyi pada Ayat 34, “Pangan PRG adalah pangan yang diproduksi atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika”.

Kehadiran pangan PRG itu bisa dilihat sebagai sebuah terobasan teknologi baru dalam dunia pangan modern, sudah tentu dengan segala cerita indah dan kehebatannya. Tetapi sisi lain patut dipertanyakan jika pangan PRG itu harus diakui lalu bagaimana dengan nasib benih pangan yang dimiliki dan berada di tangan para petani, punahkah benih asli di alam dan sehatkah pangan PRG dikonsumsi untuk manusia? Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang masalah kehadiran masalah PRG pangan di Indonesia maka sejumlah pakar dan ahli telah diundang untuk memberikan kesaksian dan keterangan di gedung MK. Secara umum dapat digolongkan menjadi dua pandangan terhadap kehadiran PRG pangan tersebut di Indonesia, pertama mereka yang melihat bahwa PRG pangan itu adalah terobasan baru dan menilai aman-aman saja, sedang pihak satunya menilai PRG pangan itu dapat menjadi penyebab pembawa bencana baru dalam ekosistem pertanian nasional.

Selanjutnya, dalam persidangan yang berlangsung di MK pada 25 Februari lalu pemohon menghadirkan seorang saksi ahli di bidang pangan, Dwi Andreas Santosa, Pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB). Dia memaparkan dihadapan Majelis Hakim Konstitusi bahwa, kondisi pangan dunia paska pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO – World Trade Organization) dimana status negara berkembangan kini tergantung pada impor pangan. Mengutip dari laporan kajian UNDP tahun 2012 menyebutkan bahwa 70% negara berkembang tergantung impor pangan. Dan negara maju menguasai produksi dan perdagangan pangan dunia. Dan negara-negara berkembang ini dirugikan saat ini sekitar US$50 miliar per tahun akibat hilangnya potensi ekspor produk pertanian mereka, demikian keterangan dari Dwi Andreas.

Tak heran jika dilihat dari konteks perdagangan pangan global seperti yang dijelaskan saksi ahli Dwi Andreas, 90% pangan global dikuasai oleh lima perusahaan transnasional, yakni Cargill, Bunge, ADM, Marubeni, Nobe Group. 89% input pertanian atau agrokimia dikuasai oleh 10 perusahaan transnasional, termasuk juga 67% untuk pasar benih global. Dan, terkait dengan benih transgenik hampir 100%, yakni 99,9% dikuasai hanya enam perusahaan transnasional, dan dalam kondisi seperti itu Mosanto adalah penguasa tunggal sekitar 90%.

Alasan kuat benih transgenik itu dilepas ke pasar tak lain untuk mendorong agar produksi pangan global akan meningkat dan diikuti dengan kenaikan harga. Sebagai contoh, kedelai transgenik sejak tahun 1960-an produksi kedelai terus-menerus menurun tetapi setelah paska perjanjian WTO, dan ketika kedelai transgenik dilepas sekitar tahun 1996 harga kedelai naik sampai 200% dan terus naik sampai hari ini. Hal yang serupa juga pada jagung transgenik, meningkat harganya 200% sampai 300%.

Bisa dikatakan bahwa faktor pasar bebas begitu dominan mempengaruhi kebijakan hadirnya benih transgenik menggantikan benih-benih alami. Selanjutnya pertanyaannya apakah benih transgenik tersebut beresiko atau tidak beresiko terhadap lingkungan hidup dan kesehatan? UU Pangan ini tidak mengatur secara khusus masalah keamanan PRG pangan tetapi harus merujuk pada peraturan perundangan yang lain, yakni Undang Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Ratifikasi Protocol Cartagena dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati PRG.

Bagaimanapun, teknologi pangan modern atau produk pangan PRG bisa dikuasai oleh perusahaan, tapi belum tentu bahkan tidak akan pernah bisa dikuasai oleh para petani kecil. Ironisnya, tanah-tanah yang subur dan segala bentuk kehidupan mikroba di dalam maupun bentuk kehidupan di atasnya bisa berubah dan hal itu menyebabkan penguasan teknologi penerapannya akan semakin jauh dari tangan para petani sekitar. Inilah kondisi yang dikuatirkan karena bisa semakin memperburuk ekosistem pertanian nasional. Alasan itulah pemohon menghadirkan seorang petani, Joharipin berdomisili di Desa Jengkok, Kecematan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat dihadirkan sebagai saksi ahli pada persidangan yang digelar pada 11 Maret 2004 di gedung MK.

Joharipin memiliki keahlian pemulian benih padi yang sudah ditekuni selama sepuluh tahun, pengalamannya belakangan ini di desanya telah didatangi orang yang mencoba menawarkan benih padi yang sekaligus bisa mencegah tumbuhnya gulma. Meskipun dia tidak mengenal persis jenis padi yang ditawarkan itu, sama sekali belum pernah dengar dan tahu sebelumnya, apalagi melihat langsung seperti apa bentuk benih PRG pangan yang diproduksi pabrik, tetapi hanya mendengar dari hasil perbincangan dan diskusi saja. Berdasarkan pengetahuan itu kira-kira sudah bisa ditebak jika benih padi itu adalah PRG.

Yang dikuatirkan jika benih padi PRG itu diperkenalkan kepada para petani maka ada pekerjaan sampingan petani yang akan tergusur, terutama buruh tanam yang biasanya merambat rumput atau gulma. Karena tidak ada gulma akibatnya dia kehilangan penghasilan. Di alam gulma itu berfungsi untuk makanan serangga dan mikro organisme jika itu hilang artinya serangga itu akan menyerbu tanaman lain. Dengan demikian semakin sulit dan mahal untuk biaya pengendaliannya. Sudah tentu hal itu akan lebih menguntungkan pihak perusahaan yang menjual obatan-obatan kimia untuk membasmi serangga.

Masalah ikutan lain yang bakal timbul dan merugikan petani jika benih padi PRG itu dilepas adalah perlindungan terhadap benih asli atau benih setempat. Menurut Joharipin, “dalam teknik pemuliaan saya menciptakan benih yang sesuai dengan idaman dan spesifik lokalisasi, benih padi lokal daerah masing-masing dan sesuai dengan idaman yang saya inginkan. Kehadiran benih PRG itu, mungkin ancaman bagi saya, sebab proses pemuliaannya atau pembuatannya tidak mungkin dilakukan oleh petani seperti saya, membutuhkan teknologi yang canggih dan itu tidak bisa dimiliki petani, tidak bisa saya beli teknologi itu. Konsekuensinya, benih transgenik itu dilepas di alam dia akan mudah sekali tersebar, atau terkontaminasi terhadap gen alami, terutama pada tanaman jagung. Alasannya, tanaman jagung itu memiliki bunga yang dua rumah, antara pejantan dan betinanya itu terpisah. Lain dengan yang diimiliki bunga padi, jantan dan betinanya itu berada dalam satu rumah dan dianggap bunga yang sempurna, bisa dikatakan cenderung sulit terkontaminasi. Dengan kondisi seperti itu maka dikuatirkan benih-benih asli atau lokal tersebut bakal tercemar dengan benih transgenik. Repotnya lagi petani bisa dituduh dan ditangkap karena sengaja memperbanyak benih pabrik itu, padahal proses itu bisa terjadi secara alami.

Peraturan yang mengontrol terhadap penerapan bioteknologi modern atau rekayasa genetika modern di Indonesia dinilai masih sangat lemah, saling tumpang-tindih atau bertolak belakang antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya, demikian pendapat yang disampaikan Hira Jhamtani sebagai saksi ahli di gedung MK. Dia memberikan contoh begini, “Kementerian Lingkungan Hidup adalah salah satu Proponen Protokol Cartagena untuk keamanan hayati.

Tetapi baru-baru ini, kita melihat misalnya BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) itu meloloskan beberapa pangan rekayasa genetik, padahal beberapa dari pangan rekayasa genetik ini sudah terbukti berbahaya, kebanyakan adalah kedelai dan jagung untuk pakan ternak maupun untuk dikonsumsi manusia. Misalnya, jagung NK603 ini bersifat toleran terhadap herbisida, dan hasil penelitiannya menyebutkan bahayanya, tetapi sudah disepakati oleh BPOM aman dikonsumsi ternak dan dikonsumsi manusia.

Kemudian, masalah kesepakatan menyatakan bahwa itu aman, saya tidak melihat ada konsultasi publik untuk itu. Pertanyaannya siapakah yang menentukan ini aman atau tidak untuk konsumsi? Itu tidak ada. Yang berikutnya adalah kedelai, yang tahan herbisida juga glifosat, kedelai event GTS-40-3-2 dan di dalam laporan terakhir oleh In One Independent dari Swedia kebanyakan itu juga dinyatakan berbahaya. Dan, sebagai sebuah negara yang kaya dengan keanekaragaman hayati, seyogianya kita harus lebih berhati-hati terhadap tanaman transgenik ini dan sebagai negara yang berdaulat dan ingin mencapai kedaulatan pangan, tentu saja kita juga perlu melihat dampak dari pangan transgenik ini.

MK belum memberikan putusan akhir, persidangan gugatan terhadap UU Pangan ini masih berjalan sampai hari ini. Kita hanya bisa berharap kepada para Majelis Hakim bisa arif dan bijaksana mempertimbangkan rasa keadialian di kalangan petani dan melindungi keberlanjutan ekosistem pertanian nasional dalam memutuskan gugatan ini.***

(Disusun oleh Tim Redaksi BeritaBumi, April, 2014)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *