Ani Purwati – 21 Aug 2007
Pelepasan produk rekayasa genetik (transgenik) telah mengabaikan hak petani dan konsumen atas lahan dan makanan yang bebas transgenik. Kontaminasi pada benih, hasil panen, dan pangan tidak dapat dihindari.
Berikut tiga kasus di bagian barat Parana, salah satu wilayah utama pertanian Brazil yang disarikan dari laporan Assessoria e Serviços a Projetos em Agricultura Alternativa (AS-PTA), sebuah organisasi non-profit Brazil di bidang pembangunan berkelanjutan.
Kontaminasi produksi agroekologi di Medianeira
Ademir dan Vilma Ferronato tinggal di Medianeira, bagian barat Parana. Pertaniannya seluas 16 hektar adalah tanaman organik. Disamping kedelai dan jagung sebagai produk dagang, mereka juga mengembangkan sayuran hijau, ternak, dan buah-buahan yang dapat menyuplainya dengan beranekaragam makanan sehat, semua produk ramah lingkungan. Namun sebagain besar tetangganya menanam kedelai konvensional atau transgenik.
Saat menjual hasil panen pada tahun 2007, Ferronato kaget karena pasar menolak kedelainya. Padahal biasanya pasar tersebut memasarkan produk organik dan membeli produksi keluarganya. Hasil uji menunjukkan adanya kedelai transgenik tercampur ke dalam hasil panen organiknya.
Sebenarnya Gebana yang menyediakan benih dan telah mengujinya sebelum mengirimkannya pada petani. Benih kedelai yang hasil ujinya negatif transgenik dijual pada petani.
Ademir dan Vilma meyakini hasil panennya telah terkontaminasi. Pada 2006, mereka menanam kedelainya dalam dua tingkatan. Yang pertama mereka memanen sekitar tujuh hektar, dan mereka menjual hasil tanamnya sebagai organik. Di area kedua seluas empat hektar, hasil tesnya ternyata positif transgenik.
Kerugian tidak dapat dihindari. Hasil panen pertama menghasilkan 280 kantong. Masing-masing terjual R 40.00. Sementara 140 kantong hasil panen lainnya dari lahan seluas empat hektar hanya terjual masing-masing R 28.50. Sehingga keluarga tersebut kehilangan R 1,610.00 (sekitar US 800.00).
Kontaminasi kedelai organik di Sao Miguel do Iguacu
Ketika keluarga Guerini pindah ke Sao Miguel do Iguacu, mereka memilih bertani berdasar cara bertanam sendiri. Setelah 20 tahun mengembangkan kedelai di Paraguay, mereka memutuskan beralih ke organik. Melihat kondisi ekologi yang lebih baik di semua area, akhirnya mereka memanfaatkan 1.500 hektar lahan pertanian yang berbatasan dengan Iguacu National Park, salah satu kawasan konservasi utama.
Mereka menanam kedelai dan jagung pada area seluas 130 hektar sebagai produk utamanya. Sebagian besar tetangganya adalah bertani monokultur skala luas, dengan jenis kedelai di musim panas, dan diikuti oleh jagung di musim gugur dan dingin.
Silvio Guerini menjelaskan bahwa manfaat ekologi kawasan konservasi tersebut adalah dapat mencegah pengaruh pertanian tetangganya yang menggunakan pestisida. “Selama penanaman kedelai, bau pestisida sampai di rumah kami,” ungkapnya. Selain itu, hama juga menyerang lahannya, kadang-kadang dia menyemprotnya.
Di tahun 2006-2007, suatu kejadian mempersulit Guerinis, buncis transgenik mengkontaminasi kedelai organiknya. Padahal mereka memanen dengan peralatan sendiri yang hanya digunakan di sana, sehingga potensi sumber kontaminasi tidak ada. Benih pun disertifikasi dan hasil tesnya dengan menggunakan metode PCR menunjukkan negatif untuk kedelai transgenik.
Hanya muatan pertama yang mereka jual terkontaminasi. Perbedaan muatan itu dengan lainnya adalah truk yang digunakan untuk mengangkut kedelai pertama ke gudang Gebana bukan miliknya. Sejak memperhatikan masalah tersebut, Silvio memantau kebersihan truk penyimpanan sebelum pengangkutan pertama dilakukan. Meski demikian dia tak dapat menjual hasil panennya sebagai organik.
Walaupun tak ada data statistik atas masalah tersebut di Brazil, laporan petani organik mengalami peningkatan setiap tahun, di semua produk kedelai di negara tersebut. Hanya di perusahaan Gebana saja, di tahun 2006 mereka mengidentifikasi empat kasus kontaminasi, dan terhitung dua kali lipat sampai sembilan kasus di tahun 2007. Petani yang bekerja dengan Gebana berjumlah kecil, tetapi telah menunjukkan situasi petani kedelai di semua area Brazil.
Kontaminasi kedelai konvensional di Medianeira
João Bússulo tinggal di Linha Alegria Rural Community, Medianeira. Dia mengembangkan kedelai, jagung, gandum, sorghum dan bunga matahari. Dia juga mempunyai kebun buah-buahan dan menyediakan susu sapi untuk konsumsi keluarganya.
Di tahun 2006, dia memperoleh benih dari koperasi setempat. Dia bermaksud menjual semua hasil panennya ke perusahaan Sadia, yang menerima produk konvensional namun bukan kedelai transgenik.
Untuk menjaga hasil panennya bebas transgenik, keluarganya mempunyai perlengkapan bertanam dan panen. Benih yang dibelinya juga berlabel “produk bebas transgenik” (“transgenic-free product”). João bertanam di lahan seluas 17 hektar dengan kedelai konvensional dan mendapat panen 980 kantong. Truk pengangkut pun telah dibersihkan.
Namun pada pengiriman hasil panen, hasil tes 300 kantung kedelai positif transgenik, dengan lebih dari 4% berisi transgenik, sehingga dia tidak mendapat keuntungan untuk hasil panen tersebut. Hal tersebut sangat mengejutkan petani yang menanggung kerugian atas kontaminasi benih itu.
Pemerintah Parana telah melakukan inspeksi untuk mengecek kontaminasi benih kedelai konvensional di negara tersebut. Mereka menyita 283 metric tons benih konvensional yang telah terkontaminasi benih transgenik dari sebelas perusahaan benih berbeda. Hasilnya sekitar 9% benih adalah transgenik.