Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Tanpa Kesadaran, Aksi Nyata Untuk Bumi Urung Dilakukan

Ani Purwati – 21 Apr 2008

Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim telah terjadi secara nyata. Langkah-langkah untuk menahan ataupun beradaptasi juga harus dilakukan secara nyata. Namun sayang, hanya masyarakat tertentu yang menyadari hal itu. Akibatnya aksi nyata untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global ini pun urung dilakukan.

“Padahal masyarakat dapat melakukan aksi menahan laju pemanasan global ini dari rumahnya sendiri. Di antaranya dengan menghemat pemakaian listrik, air dan sebagainya,” kata Rachmat Witoelar sebagai Menteri Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) saat acara Green Festival “Aksi Untuk Bumi” di Jakarta (18/4).

Untuk itu menurutnya, diperlukan suatu edukasi yang mampu menyadarkan masyarakat seperti Green Festival yang berlangsung pada 18-20 April 2008 kemarin. Melalui berbagai kegiatan talkshow, pameran, permainan, hiburan, tanam pohon, dan aneka lomba selama festival, diharapkan masyarakat mampu menerima dan mencerna pengetahuan tentang pemanasan global dan bersama-sama melakukan aksi nyata mencegahnya.

“Berbagai kegiatan itu sangat edukatif dan mudah dimengerti oleh masyarakat sehingga sangat membantu KLH dalam menyadarkan masyarakat agar peduli lingkungan dan mencegah pemanasan global,” ungkap Witoelar.

Dijelaskannya, kegiatan pendidikan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan dan tidak hanya bersifat seremonial saja. Bersamaan dengan Hari Bumi yang jatuh pada 22 April, kegiatan pendidikan untuk menyadarkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dan bumi tersebut merupakan wujud dari rasa syukur atas eksisnya bumi hingga sekarang.

“Kita harus menjaga bumi agar tidak semakin rusak karena perubahan iklim atau ulah manusia sendiri,” tegasnya.

Sementara itu negara maju dengan industrinya harus mampu mencegah pemanasan global dan perubahan iklim dengan mengurangi emisinya, sebagaimana beberapa negara berkembang yang secara sukarela menurunkan emisinya. Sebagai Presiden UNFCCC, Witoelar akan selalu mengkritik negara maju seperti Amerika Serikat yang belum berkomitmen menurunkan emisinya agar mengubah pendiriannya.

“Tanpa kesadaran dari masyarakat dan negara-negara di seluruh belahan bumi ini, bumi akan semakin rusak dan mereka juga yang akan mengalami kerugian,” jelasnya.

Selama ini, menurut Nugroho F. Yudo dari Kompas sebagai salah satu penyelenggara Green Festival, manusia dalam meningkatkan kualitas hidupnya selalu dengan membakar bumi yang dapat mengancam kehidupannya sendiri. Dalam memenuhi transportasi dengan membakar minyak bumi, memenuhi kertas dengan membuka dan merusak hutan, yang semuanya melepaskan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan pemanasan global.

Untuk mencegah kerusakan bumi yang semakin parah, manusia harus mampu mengubah gaya hidup keseharian. Melalui kegiatan dalam Green Festival, masyarakat mendapatkan pengetahuan tentang pemanasan global dan perubahan iklim serta melakukan aksi nyata yang bisa dilakukan untuk mencegahnya, seperti cara hemat dalam memanfaatkan listrik, sabun, air, minyak goreng, kertas, mengolah sampah, bertanam dan sebagainya.

Mengolah Sampah

Salah satu hal yang dapat dilakukan dalam aksi nyata mencegah pemanasan global di Green Festival adalah mengolah limbah organik dan anorganik. Bersama Gerombolan Peduli Sampah (Gropes), masyarakat mendapatkan pelajaran bagaimana memperlakukan sampah. Para anak muda yang tergabung dalam gerombolan ini berbagi ilmu dengan anak-anak, ibu-ibu dan pengunjung lainnya tentang membuat aneka kerajinan tangan dari limbah sampah anorganik (plastik, benda-benda bekas yang tidak terpakai, dan sebagainya). Mereka juga mengolah sampah organik menjadi kompos.

Dalam keseharian, Gropes juga tidak segan-segan berbagi ilmu dengan masyarakat di sekitarnya. Sebagai wujud nyata menciptakan hidup bersih dan sehat, anak-anak muda ini bergabung menciptakan produk berupa tas, tempat tisu, aneka hiasan bunga dan lainnya dari bungkus-bungkus plastik yang tidak bisa diolah oleh tanah.

Lain lagi dengan Dana Mitra Lingkungan (DML). Bersama mitranya organisasi nirlaba ini memperkenalkan produk ecoplas, yaitu bahan plastik yang terbuat dari campuran tepung tapioka dari singkong yang tidak bisa dikonsumsi dan polietilen (PE). Bahan plastik yang bisa dibuat aneka produk seperti tas plastik, sendok, piring dan sebagainya ini bisa diuraikan mikroba tanah dalam waktu 10 minggu. Selain itu bila terbakar juga tidak menimbulkan gas berbahaya. Berbeda dengan plastik biasa yang bisa terurai setelah 500 hingga 1000 tahun dan menimbulkan gas berbahaya saat terbakar.

Dengan menggunakan produk ecoplas ini, masyarakat mendapatkan pelajaran untuk mengubah gaya hidupnya meninggalkan plastik yang tidak ramah lingkungan di bumi karena tidak bisa terurai. Plastik yang tidak bisa terurai akan mengurangi kemampuan tanah dalam meningkatkan kualitas dan kesuburannya.

Padahal tanah yang subur mampu menghasilkan produk yang subur dan sehat. Seperti produk tanaman organik yang disediakan Konphalindo dan Rumah Organik di arena Green Festival ini. Aneka produk organik seperti beras, kacang kedelai, kacang hijau, kecap dan sebagainya dihasilkan dari sistem pertanian yang ramah lingkungan, yaitu tanpa menggunakan pupuk dan pestisida organik, menggunakan pupuk kompos dari sisa-sisa sampah organik, pestisida alami.

Melalui kegiatan ini para penggerak organik tersebut menyampaikan pesan akan manfaat produk organik. Selain mendapatkan produk yang sehat (bebas bahan-bahan kimia) dengan mengkonsumsi produk organik, masyarakat juga turut menjaga bumi dari bahaya pemanasan global. Dengan bertani organik, emisi gas rumah kaca dari pupuk dan pestisida kimia berkurang. Selama ini pertanian konvensional yang menggunakan bahan-bahan kimia merupakan penyumbang emisi terbesar pada pemanasan global di bumi.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *