Setyo Rahardjo – 24 Oct 2008
Keterbukaan dan transparansi dengan memegang prinsip kehati-hatian serta partisipasi publik dengan masyarakat menjadi keharusan yang harus diemban para pemegang kebijakan. Ini penting mengingat hingga sekarang posisi dan status kejelasan komunikasi publik khususnya dengan masyarakat sekitar kawasan penambangan pasir belum selesai. Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta, Suparlan, dalam siaran pers pada Kamis (23/10) terkait kontroversi eksplorasi biji besi di Kulon Progo, Yogyakarta.
Menurutnya, kurangnya komunikasi tersebut terbukti dengan berbagai reaksi keras masyarakat yang nantinya akan terkena dampak. Artinya jika kontrak karya benar akan dilakukan, maka hal tersebut bisa dikatakan tidak partisipatif. Karena kontrak karya tidak hanya sekedar melalui sebuah eksplorasi atau studi ilmiah melainkan dukungan publik yang partisipatif.
Selain itu, hingga kini belum ada kejelasan soal transparansi kesesuaian tata ruang di level kabupaten, provinsi hingga nasional. Akibatnya, kontrak tersebut akan dapat bertentangan dengan tata ruang daerah, provinsi dan nasional.
”Apalagi penambangan tersebut mengharuskan alih fungsi lahan khususnya kawasan pertanian yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat pesisir selatan,” terang Suparlan.
Berdasarkan survey Walhi Yogyakarta, rencana eksploitasi pasir besi akan berimplikasi terhadap 123.601 jiwa yang menaruh harapannya pada 4.434 ha lahan pertanian produktif di empat kecamatan, yakni Temon, Wates, Panjatan dan Galur. Implikasi juga akan terjadi di sepanjang area rencana ekploitasi pasir besi dengan luas bentang alam dan alih fungsi lahan sekitar 22 km x 1,8 km (6,8%) dari total luas Kabupaten Kulon Progo, 586.27 km2 (data presentasi Project Brief Pasir Besi_Yogya tahun 2006).
Ia juga menjelaskan bahwa jika pertambangan tetap diberlakukan, perubahan ekosistem dan keseimbangan ekologi yang ada di kawasan pesisir selatan akan terjadi. Karena dominasi tambang akan lebih kental dibandingkan dengan pertanian, wisata maupun kawasan lindung sebagai penyangga kawasan ekologis di kawasan selatan jawa.
”Keberadaan flora fauna (misalnya migrasi burung-burung asia pasifik ) yang ada di kawasan tersebut juga terancam. Karena kawasan pesisir selatan sebagian adalah wilayah migrasi burung-burung asia pasisfik yang jarang di temukan di Indonesia,” katanya.
Untuk itu, pihaknya (Walhi Yogyakarta) sebagai organisasi lingkungan, mendesak kepada Eksekutif dan Legislatif Kabupaten Kulon Progo dan Menteri ESDM untuk mengkaji ulang rencana Kementerian ESDM di Jakarta yang akan melakukan kontrak karya dengan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dalam rangka melanjutkan eksplorasi tambang biji besi menjadi eksploitasi.
Sebelumnya, para petani lahan pasir Pantai Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, juga menyatakan sikapnya yang tetap bersikukuh menolak penambangan pasir besi di wilayah itu karena hanya akan merugikan petani.
Menurut Ketua Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo, Supriyadi, rencana Pemerintah Pusat untuk merealisasikan penambangan pasir besi pada 2011, seperti yang disampaikan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, dinilai merupakan pancingan untuk mempengaruhi sikap petani.
”Rencana Pemerintah Pusat untuk merealisasikan penambangan pasir besi merupakan indikasi bahwa pemerintah tidak peka terhadap permasalahan rakyat,” ujarnya.
Untuk itu PPLP Kulon Progo akan berkoordinasi dengan Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, selaku kuasa hukum PPLP mengenai sikap petani lebih lanjut. Ada kemungkinan petani akan menghadap Presiden untuk membicarakan masalah ini.
Beberapa petani lahan pasir mengaku kebingungan menentukan sikap karena ketidakjelasan rencana penambangan pasir besi dan jenuh dengan pro-kontra yang terus terjadi. Mereka menyadari bahwa lahan garapannya bukan berstatus hak milik, melainkan milik Paku Alam.
Dengan demikian, kewenangan penggunaan lahan sebenarnya berada di tangan Paku Alam IX. Di sisi lain, para petani tidak rela jika lahan garapannya diserobot paksa oleh pihak penambang tanpa ada kejelasan ganti rugi.