Ani Purwati – 19 Mar 2008
Ceria dan selaras dengan alam. Begitulah kebiasaan masyarakat adat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tradisi dan kearifan yang menghargai alam. Bukan hanya memanfaatkan tapi juga menjaga dan menghormati alam.
Seiring berjalannya waktu, kerakusan dan keserakahan manusia pun merusak keceriaan dan keselarasan itu. Tradisi dan kearifanpun diabaikan. Pohon-pohon ditebang tanpa menghiraukan aturan. Hutanpun gundul tak bersisa. Kayu-kayu telah tumbang dan hilang entah kemana. Kehidupan di dalamnya pun musnah. Satwa-satwa menghilang dan punah. Masyarakat akhirnya kehilangan sumber kehidupan dari hutan.
Dalam kondisi yang rapuh, bencana alam pun meluluhlantakkan ranah adat masyarakat. Tak ada hutan alam yang dihormati masyarakat adat dengan tradisi dan kearifannya. Masyarakat adat pun tak mampu bertahan. Tanpa hutan alam, masyarakat adat akhirnya tak berdaya.
Namun di tengah ketidakberdayaan, mereka tetap berusaha bangkit. Dengan sisa-sisa kemampuannya, mereka mencoba menegakkan kembali sendi-sendi kearifannya untuk menjalani hidup dan menghidupkan kembali hutan alam tempatnya bernaung.
Demikian gambaran kehidupan masyarakat adat melalui tarian “Ranah Adat Punah Dijarah” dalam Malam Seni Budaya Hari Ulang Tahun AMAN ke-9 bertema Selamatkan hutan Adat dari Kepunahan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (17/3).
Gambaran tersebut dikuatkan oleh salah satu Pemangku Adat Seko di Sulawesi, B. Usman dalam film dokumenter tentang kehidupan masyarakat adat dan hutan yang diputar di acara yang sama.
Hutan adat mereka rusak oleh kehadiran perkebunan kelapa sawit tanpa mereka ketahui. Padahal mereka sangat menghargai hutan. Dalam pemanfaatan hutan, mereka mempunyai aturan, mana yang bisa ditebang dan tidak. Itupun dalam jumlah kecil dan untuk kebutuhan hidup yang sederhana. Siapa yang melanggar aturan akan mendapatkan sanksi.
Dengan perjuangan akhirnya mereka mampu mengusir perusak hutan berkedok perkebunan itu. Namun ancaman berikutnya berasal dari tambang. Di dalam tanah berhutan lebat itu diperkirakan mengandung mineral-mineral yang menggiurkan penambang berskala besar. Masyarakat adat Seko pun masih dibayangi kekhawatiran.
Kebangkitan masyarakat adat dalam menegakkan tradisi dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam bukan hanya slogan semata. Kebangkitan dengan pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 17 Maret yang sekarang baru berumur 9 tahun masih jauh dari harapan. “Di Negara lain, keberhasilan masyarakat adapt memperoleh kembali hak-hak adatnya mencapai puluhan tahun,” ungkap Abdon Nababan sebagai Sekjen AMAN.
Menurutnya, keberhasilan pun membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Bukan untuk melanggar hak orang lain tapi untuk mengakui hak-hak masyarakat adat itu sendiri.