Ani Purwati – 11 Dec 2006
Pertanian dengan menggunakan produk rekayasa genetika atau transgenik dapat mengakibatkan ketergantungan petani pada pihak lain termasuk perusahaan penghasil produk transgenik. Petani hanya akan mendapatkan benih transgenik dari perusahaan. Begitu pun teknik penanaman dan perawatannya. Petani tidak akan mandiri mengembangkan kreativitasnya sendiri dalam pemanfaatan plasma nutfah di sekitarnya.
Hal itu akan mengakibatkan hilangnya plasma nutfah dan varietas lokal. Selain itu, perusahaan atau pihak swasta yang biasanya merupakan perusahaan multinasional akan lebih menguasai atau memonopoli sistem pertanian daerah setempat melalui produk transgeniknya.
Demikian terungkap dalam acara diskusi “Semiloka Potensi dan Risiko Tanaman Rekayasa Genetika terhadap Pertanian Berkelanjutan” di Universitas Bengkulu, Bengkulu, Kamis (7/12).
Produk transgenik juga menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan dampaknya pada kesehatan dan lingkungan. Jaminan tentang keamanan produk transgenik tidak ada. Menurut Dr Dwi Andreas Santosa sebagai Staf Pengajar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), selama ini uji produk yang dihasilkan dari proses laboratorium itu hanya dilakukan pada hewan. Sedangkan pada manusia belum pernah dilakukan. Perusahaan juga tidak transparan dalam menyampaikan hasil ujinya.
Menurut Suprapto, salah satu peserta semiloka yang pernah bekerja untuk salah satu perusahaan besar penghasil benih transgenik, pihak perusahaan tidak bersedia menunjukkan hasil uji tersebut. Padahal Suprapto merupakan salah satu tenaga yang ikut dalam pengumpulan bahan-bahan uji dari lapangan.
Untuk itu peserta semiloka yang tidak ingin mendapat dampak yang membahayakan pada kesehatan dan lingkungannya, menyatakan menolak menggunakan produk transgenik. Meski demikian pilihan menolak ataupun menerima produk transgenik, bagi peserta semiloka diserahkan pada masyarakat itu sendiri dengan risiko masing-masing.
Bagi yang menolak, produk transgenik dinilai merugikan ekologi karena menyebabkan hama serangga lebih resisten, bisa bermutasi dan ditakutkan dapat masuk ke peredaran darah manusia. Semua itu merupakan dampak yang tidak terungkap secara terbuka dibandingkan keuntungan produk transgenik yang selalu disampaikan pada masyarakat.
Sementara bagi yang menerima, produk transgenik dinilai dapat memberi keuntungan. Dari harga benih yang murah, jumlah panen yang lebih besar, mudahnya pemasaran, sampai dapat dijadikan sebagai obat penyakit deabetes. Namun sikap menerima ini menurut Tita, hendaknya dapat mempertimbangkan ada tidaknya residu berbahaya dalam 30 tahun ke depan.
Melihat adanya perbedaan masyarakat untuk menerima atau menolak produk transgenik, pemerintah harus melakukan sosialisasi secara terbuka tentang dampak produk transgenik dan kebijakan yang terkait hal itu. Demikian pula, produk transgenik harus berlabel. Sehingga masyarakat dapat mudah memilih menggunakan atau tidak, menerima atau menolak.
Organik menguntungkan
Dalam kesempatan yang sama, peserta semiloka juga menyatakan bahwa sistem pertanian organik memberi dampak yang menguntungkan. Tanpa menggunakan asupan kimia, pertanian organik memberi dampak lebih baik pada lingkungan dan kesehatan. Sementara nilai ekonominya juga sangat tinggi.
Namun disayangkan, pertanian organik belum tersosialisasikan oleh pemerintah ataupun para stakeholders, butuh modal yang besar, dan belum tersedianya pasar. Padahal di negara besar seperti Amerika Serikat, telah membuka pasar bagi produk organik.
Sehingga untuk mengembangkan pertanian organik ini diperlukan penjelasan yang lengkap mengenai keunggulan dan dampak produk pertanian organik. Baik pada petani, konsumen, maupun pemerintah itu sendiri. Disamping itu, pengembangan pertanian organik harus berawal dari pengetahuan dan sistem pertanian lokal setempat. Pengolahan pertanian organik juga harus bersandar pada kebutuhan petani, lahan, pasar, dan pengetahuan, serta teknologi lokal. Lalu mempersiapkan benih, pupuk, dan bahan alami untuk mengendalikan hama penyakit.
Pertanian organik juga harus didukung oleh banyak pihak melalui program kerja bersama di tingkat petani. Dimana semua itu dapat dilakukan dengan biaya yang murah namun bukan subsidi yang menimbulkan ketergantungan petani. Karena dalam melakukan organik diharapkan dapat mewujudkan petani yang mandiri tanpa ketergantungan pada pihak manapun, termasuk pemerintah, apalagi swasta. Meski demikian, peran serta pemerintah untuk turut mengembangkan dan melindungi pertanian organik sangat diperlukan.
Dukungan dalam pemasaran produk organik juga sangat diperlukan. Tersedianya pasar yang diikuti penjelasan tentang manfaat organik bagi kesehatan dan lingkungan diharapkan akan semakin memperluas pemasaran produk organik.
Mengupas masalah pelepasan produk transgenik
Kegiatan yang berlangsung sehari itu diselenggarakan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo) bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Alam (P3SDA) Universitas Bengkulu.
Sebelumnya di Makasar, Bali, dan Yogyakarta juga telah diselenggarakan kegiatan yang sama. Kegiatan semiloka itu bertujuan untuk menjawab berbagai pertanyaan dan memberi gambaran yang lebih jelas tentang perkembangnan bioteknologi modern. Semiloka ini juga berupaya mengupas permasalahan yang terkait dengan pelepasan produk rekayasa genetika di Indonesia.
Sebagai narasumber adalah Dr. Dwi Andreas Santosa (Staf Pengajar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor), Dr. Usman Krisjoko, M.Sc. (Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu) dan Rasida dari Kementrian Lingkungan Hidup. Turut hadir pula Purwandono (Direktur Eksekutif Konphalindo), Dr. Ir. Fahrurrozi, M. Sc. (Pembantu Rektor I Universita Bengkulu), dan Dr. Aceng Ruyani (Kepala P3SDA Universitas Bengkulu).