Ani Purwati – 04 Dec 2009
Dalam proses perundingan iklim yang sudah berlangsung sampai enam tahun, keterlibatan masyarakat sipil khususnya perempuan kurang mendapat perhatian. Baik sebagai korban maupun pihak yang mempunyai hak suara dalam menentukan kebijakan perubahan iklim di tingkat nasional dan internasional.
“Padahal dampak perubahan iklim pada masyarakat khususnya perempuan secara nyata telah terjadi. Perubahan cuaca di tingkat nelayan dan petani telah memberi implikasi besar pada masalah lingkungan dan perempuan,” ungkap Risma Umar sebagai Ketua Solidaritas Perempuan saat Diskusi Publik tentang Perempuan Indonesia Menentukan Kebijakan Perubahan Iklim menjelang Konferensi Perubahan Iklim Kopenhagen, di Jakarta, Kamis (3/12).
Proses perundingan iklim baik nasional ataupun internasional kurang menaruh masyarakat sebagai entitas yang diperlukan. Juga kurang memperhatikan dampaknya ke masyarakat khususnya perempuan. Perubahan iklim menyebabkan perempuan kesulitan memperoleh air bersih, harus bekerja dua kali lebih keras dari biasanya di lahan pertanian. Meningkatnya gagal panen juga menyebabkan perempuan kesulitan menyediakan bahan pangan yang berkualitas bagi dirinya dan keluarga.
Perempuan adat juga sering menghadapi persoalan pengakuan hak atas tanah, mulai kekeringan sumber-sumber air, semakin berkurang sumber makanan dan obat-obatan herbal dari hutan.
Menurut Risma, perempuan tidak hanya sebagai kelompok rentan atau korban tetapi juga mempunyai inisiatif untuk berkontribusi dalam proses adaptasi dan mitigasi Perubahan Iklim dan keberlanjutan sumber daya alam atau agraria. Pengetahuan lokal dan pengalaman perempuan dalam memelihara dan menjaga alam dapat berkontribusi dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Mengelola alam sebagai sumber kehidupan secara arif dan subsisten untuk menjamin keberlangsungan hidupnya, keluaRga dan komunitasnya. Misal mencari kayu bakar, obat-obatan, ketersediaan pangan dari pertanian dan perkebunan, memelihara sumber air, mengelola ikan dan hutan mangrove.
Kesempatan perempuan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta penentuan kebijakan lainnya telah mendapat pengakuan dari CEDAW 1979; 1995 Beijing Platform of Action dan UNDRIP (2007). Dalam aturan internasional tersebut, Pemerintah harus bertanggungjawab untuk memastikan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan; menciptakan mekanisme yang mendukung kesetaraan perempuan dan laki-laki di pemerintahan bagi seluruh aktivitas komunitas; menyediakan sumber-sumber memadai yang dapat memastikan partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam setiap pengambilan keputusan di semua level in terkait isu-isu lingkungan.
IPCC pada 2007 juga menyatakan bahwa perempuan berada dalam posisi ekonomi terlemah. Karenanya rentan terhadap perubahan iklim. Kapasitas lemah dan dalam melakukan adaptasi cenderung bergantung pada iklim dan sangat sensitif terhadap hilangnya sumber-sumber kehidupan. Misalnya air dan persedian makanan.
Meskipun masih kurang, Rapat Kelompok Kerja Adhoc Perubahan Iklim telah menyebutkan bahwa UNFCC memposisikan kelompok perempuan sebagai Konstituen UNFCC. Demikian pula dokumen Share Vision UNFCC menyebutkan bahwa perempuan mulai diposisikan sebagai konstituen yang berperan aktif dalam proses adaptasi dan mitigasi.
Peran masyarakat lokal termasuk perempuan sangat penting karena sebagaimana disebutkan Yaya Hidayati dari Greenpeace bahwa perubahan iklim berdampak di tingkat lokal meski terjadi secara global. Namun kemampuan masyarakat lokal sangat kurang bahkan di bawah kerentanan. Sebagian besar masyarakat rentan ini tidak mempunyai kemampaun dalam menghadapi bencana.
“Para pihak yang berwewenang di Indonesia juga tidak menyiapkan masyarakat yang rentan ini dalam menghadapi bencana alam pada posisi geografis yang rentan ini,” kata Yaya.
Sebagai kelompok masyarakat yang berpotensi akan dampak dan peluang dalam menghadapi perubahan iklim, perempuan seperti yang disampaikan Risma merekomendasikan pertama adanya riset aksi untuk mengidentifikasi dampak terhadap perempuan beserta inisiatif perempuan dalam adaptasi perubahan iklim yang terjadi di beragam ekologi. Berbagi pengalaman perempuan, serta pengalaman lokal antara komunitas dan beragam ekologi.
Kedua, memahami hak-hak masyarakat asli termasuk hak teritori mereka, terutama hak-hak Perempuan Masyarakt Asli. Mengedepankan peran, kepentingan, serta hak-hak perempuan. Ketiga, memahami hak-hak perempuan petani dan keberadaan mereka dalam pertanian. Melawan perdagangan karbon dan clean development mechanisms (CDMs) dalam pertanian.
Keempat, masyarakat nelayan harus dilibatkan dalam community resilience membangun terhadap perubahan iklim dan hal ini harus didasarkan pada pengetahuan dan kapasitas lokal. Kelima, mendanai adaptasi iklim bagi adaptasi perubahan iklim dan mitigasi dari Negara Utara ke Negara Selatan dalam memahami sejarah hutang ekologis, dan tidak didanai International Financial Institutions (IFIs). Keenam, peningkatan kapasitas masyarakat untuk berkontribusi dalam proses Adptasi dan itigasi melalui pengelolaan keberlanjutan sumber daya alam termasuk air Tanama Herbal.
Semestinya rekomendasi itu bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan hasil Konferensi Para pihak tentang Perubahan Iklim kelima belas (COP 15). Menurut Farah Sofa dari Kemitraan, Konferensi Perubahan Iklim Kopenhagen ini penting karena perjalanan panjang selama 12 tahun dalam pembahasannya akan terasa sia-sia. Negara maju harus menunjukkan keseriusan mereka dengan menetapkan target jangka-menengah dan pembiayaan bagi tindakan negara berkembang dalam menangani perubahan iklim. ”Jika ini tidak terjadi bisa dikatakan COP15 gagal,” kata Farah.
Dalam konferensi ini akan terjadi perang informasi dimana setelah 2012 Protokol Kyoto dengan target penurunan emisi dari tingkat 1990 tidak berlaku. Kelanjutan dari Kopenhagen adalah komitmen penurunan emisi selanjutnya. Perlu koreksi, apa ketentuan penurunan emisi protokol yang lama sudah terpenuhi, maka perlu ketentuan penurunan emisi yang baru.