Ani Purwati – 13 Dec 2010
Para pemimpin politik dari beberapa negara kurang berkembang dan negara pulau kecil yang pernah menerima Copenhagen Accord tahun lalu menyatakan kekecewaannya dengan janji pembiayaan yang masih sulit diwujudkan. Mereka juga prihatin dengan janji yang tidak cukup untuk menjaga kenaikan suhu di bawah batas aman untuk mereka.
Demikian menurut Hilary Chiew dari Third World Network (TWN) dalam laporannya langsung dari perundingan iklim di Cancun, Mexico (10/12).
Dalam laporannya (http://www.twnside.org.sg/title2/climate/cancun.news.01.htm), Chiew menyebutkan bahwa Presiden Guyana, Bharrat Jagdeo mengatakan Guyana menghadiri pertemuan Cancun dengan harapan lebih rendah dari biasanya. Ia mendengar banyak tentang kemitraan tapi mencatat kurangnya kepercayaan yang sangat gamblang terutama antara negara maju dan berkembang.
Pada pembiayaan, Jagdeo melihat beberapa perhitungan meragukan seperti bagaimana negara maju menyalurkan uangnya. “Kami melihat Copenhagen Accord sebagai kompromi. Meskipun tidak sempurna tapi ada uang, yang belum disalurkan ke negara-negara yang rentan juga,” katanya.
Guyana belum menentukan kriteria kerentanan dan menurutnya, propaganda tidak akan memecahkan masalah perubahan iklim. Cara ke depan adalah memiliki perjuangan yang agresif untuk memulihkan momentum sebelum Copenhagen. Momentum itu sekarang digantikan oleh kekecewaan dan kebencian, dan diisi oleh skeptis iklim. Jagdeo mengatakan bahwa kita tidak harus membiarkan skeptis berlaku. Satu-satunya cara untuk memiliki tindakan keras adalah mengerahkan orang sebanyak mungkin untuk memberikan tekanan pada para pemimpin negara-negara maju yang lamban untuk membuat keputusan yang tepat, Presiden menambahkan.
Menggambarkan alasan yang digunakan oleh negara maju dalam menyalurkan dana, Guyana mengatakan memiliki sistem MRV (measurable, reportable and verifiable – terukur, terlaporkan dan terverifikasi) kelas dunia dalam pengelolaan hutan. “Apa pun yang Anda bayar, Anda akan menerima laporan sampai ke ton terakhir (CO2),” kata Jagdeo. Namun, ia mendengar cerita buruk tentang pembiayaan.
Dia memperingatkan bahwa kita mengambil risiko insentif terbesar ke pasar karbon jika tidak ada kesepakatan yang mengikat dalam pengurangan emisi. Dia mengatakan sinyal harga karbon yang diperlukan untuk memobilisasi pendanaan swasta sebagai dana publik saja tidak dapat menyelesaikan pekerjaan.
Dia menekankan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman yang besar bagi negara-negara berkembang. Ini masalah hidup dan mati, orang makan atau tidak, kadang-kadang kita kehilangan perspektif itu di sini.
Mengingat pernyataan Sekjen PBB Ban Ki Moon, “Kesempurnaan tidak menjadi musuh yang kebaikan”, Presiden Nauru, Marcus Stephen mengatakan bahwa negara-negara pulau kecil yang menyatakan ‘kebaikan’ adalah kelangsungan hidup mereka, adalah penting bahwa itu adalah titik awal. Dia mengatakan bahwa kehadiran mereka di Cancun tidak untuk menggagalkan proses ini tetapi mereka mendukung membatasi kenaikan suhu hingga di bawah 1,5 ° C seperti yang dikatakan para ahli dan mendesak Para Pihak tidak mengabaikannya.
Perdana Menteri Republik Afrika Tengah Faustin, Archang Touadera mengatakan negaranya mengharapkan transfer teknologi di bidang energi terbarukan sebagai kompensasi atas pengorbanan hutan dalam upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Dia mengatakan kita perlu upaya nyata Para Pihak yang kaya karena telah banyak melakukan pencemaran yang membawa masalah perubahan iklim. Kami menyerukan kepada negara-negara Annex I untuk menghormati komitmen mereka sehingga kita dapat bertahan hidup.
Presiden Kiribati, Anote Tong mengatakan bahwa meskipun negara-negara pulau yang paling kecil meminta 1,5 ° C menjadi batas untuk kenaikan suhu, ia percaya bahwa jika itu dicapai dalam perjanjian yang tertunda, akan terlalu terlambat bagi negara seperti Kiribati.
Menurutnya, kita harus meninggalkan Cancun dengan kesepakatan posisi yang menyeluruh dan kelanjutan perundingan periode komitmen kedua dari Protokol Kyoto. Hal ini akan memungkinkan Durban untuk membangun apa yang dicapai di Cancun dan memastikan generasi mendatang mewarisi dunia yang berkelanjutan dan iklim yang tangguh. (Afrika Selatan akan menjadi tuan rumah COP 17 dan CMP 7 di Durban pada tahun 2011.)
Sementara itu Riza Damanik, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan bahwa, kesepakatan Cancun yang tak mengikat hanya mengulang apa yang terjadi di Kopenhagen. “Mestinya perundingan iklim ke-16 ini menghasilkan kesepakatan yang mengikat,” kata Damanik dalam siran pers (12/12).
Namun pemerintahan global justru memperlambat keseriusan untuk menyelamatkan seluruh warga dunia, utamanya masyarakat kepulauan, dari dampak perubahan iklim. Sementara banjir, kekeringan, naiknya permukaan air laut, minimnya persediaan air bersih hingga tenggelamnya pulau kian nyata,
“Bersamaan dengan berakhirnya COP 16, saatnya pemerintah bersikap konsisten dalam menjalankan roda pembangunan yang ramah lingkungan, rendah karbon, dan berbasis pada upaya penyelamatan masyarakat. Terlebih, Indonesia adalah negara kepulauan yang teramat rentan terhadap bencana iklim yang kian berlangsung masif akibat pembangunan bias daratan,” tambah Damanik.
Dalam merespons dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini, Damanik meminta pembangunan yang tengah berlangsung harus dikoreksi dan tak lagi bisa memakai pendekatan sektoral dan administratif semata. Melalui momentum 13 Desember sebagai Hari Nusantara, perombakan model pembangunan perlu disegerakan. Karena bagi masyarakat kepulauan Indonesia, laut adalah halaman depan rumah yang memberi penghidupan dan menjadi wahana penghubung masyarakat yang tinggal di lebih dari 17.000 pulau.
Berita Terkait: http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0352&ikey=1