Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Pelepasan Benih Transgenik Perlu Keterbukaan Informasi

“Sampai saat ini saya tidak tahu tentang persoalan transgenik, dan persoalan ini membuat mata saya terbuka, ternyata ada bahaya dibalik benih transgenik tersebut dan ada penjajahan petani secara terselubung dalam sistem perdagangan bebas”, kata Misturllah, Ketua Serikat Petani Independen (SEKTI) Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Selanjutnya Misturllah berharap kepada pemerintah supaya dapat melindungi kepentingan petani kecil.

Memang tidak gampang membedakan secara kasak mata yang mana benih jagung biasa dan benih jagung hasil rekayasa genetika atau produk rekayasa genetik (PRG). Kedua jenis benih jagung tersebut sama bentuk fisiknya. Benih PRG hanya bisa dibedakan jika kemasan benih PRG itu diberi informasi atau label. Pilihan lain adalah melakukan uji genetika PRG ke laboratorium. Inilah keluhan utama para petani Jember pada kegiatan Kelompok Diskusi Fokus: “Mencermati Kehadiran Benih PRG/GMO Di Wilayah Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur”, yang dilaksanakan pada tanggal 5 Juni 2014 di Kota Jember.

Diskusi yang diikuti oleh sekitar 30 orang peserta, diadakan oleh lembaga SD Inpers Jember, bekerjasama dengan Konphalindo. Dalam acara tersebut, peneliti SD Inpers, Dedi Lukito, mempresentasikan penelitiannya mengenai sebaran jagung hibrida dan dugaan benih jagung transgenic di Jember. Selain itu, pembicara lainnya adalah Wahyu Giri, staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jember; Yaya Rahman Hidyat, Dinas Pertanian Kabupaten Jember, dan Lutfiyah Hanim dari Konphalindo.

Jagung transgenik adalah istilah yang populer di kalangan petani dan sempat ramai diperbincangkan di kalangan petani Jember. Menurut Wahyu Giri, meskipun saat ini belum ada yang secara resmi benih jagung PRG yang dilepas di wilayah Kabupaten Jember namun sempat beberapa wak tu lalu pihak perusahaan benih jagung menyebut bahwa produknya adalah benih jagung transgenik/PRG. Namun seiring dengan maraknya kasus kapas transgenik di Sulawesi Selatan dan rupanya kasus itu berimbas juga sampai ke Jember, dan tiba-tiba menghilang tanpa bekas benih jagung PRG.

Karena minimnya informasi dan penguasaan pengetahuan bioteknologi di kalangan petani pada waktu itu pengujian apakah itu benih jagung transgenik atau benih jagung biasa dengan cara mengamati pada batang atau daun jagung yang dicurigai adalah benih jagung transgenik. Menurut Giri, jika ulat yang memakan daun atau batang tanaman jagung dan langsung mati maka kemungkinan besar tanaman jagung itu adalah jagung transgenik. Jenis benih jagung trasgenik yang dimakan ulat langsung mati itu kemungkinan besar disisipkan gen BT (Bacillus thuringiensis) yang berfungsi membunuh serangga. Atau, jenis jagung transgenik lainnya yang disisipkan gen bakteri tanah (Agrobacterium tumefaciens) yang tahan terhadap bahan kimia glifosat atau Roundup Ready (RR), berfungsi untuk membasmi gulma sedang tanaman jagung masih tetap hidup.

Lebih lanjut ditegaskan Wahyu Giri, bagaimanapun, kita membutuhkan kepastian informasi dan alat ukur dan monitoring yang dituangkan dalam bentuk dokumen AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) pelepasan benih PRG di alam.

Untuk kemampuan teknologi pengujian produk trasngenik, secara umum masih terbatas di Indonesia. Namun di Jember sudah ada lembaga pendidikan yang memiliki kapasitas uji genetika PRG yaitu Universitas Jember dan Politeknik Jember, demikian disampaikan langsung oleh peneliti rekayasa genetika Universitas Jember, Dr. Ir. Bambang Sugiarto dan Dr. Netty Ermawati dari Politeknik Jember. “Kalau untuk mengetahui apakah produk tersebut trasngenik atau bukan, lembaga kami bisa melakukannya. Namun belum sampai untuk mengetahui ‘event’ atau sisipan gen dalam produk tersebut”, demikian jelas Dr. Netty Ermawati.

Sebagaimana diketahui bersama Bambang Sugiarto adalah salah seorang perakit tebu transgenik yang tahan kering di Indonesia. “Saat ini yang sudah diakui dan ditanam itu hanya tebu yang lainnya belum”, demikian penjelasan Bambang. Tebu transgenik tahan kering sudah ditanam tapi masih terbatas di atas lahan PT. Perkebunan Nusantara XI, Kabupaten Banyuwangi, katanya.

Berdasarkan publikasi Balai Kliring (www.bchindonesia.or.id), jenis tebu transgenik yang direkomendasikan Komisi Keamanan Hayati Indonesia (KKHI) adalah tebu event NXI-1T, tebu NXI-4T, dan tebu NXI-6T. Dalam situsnya disebutkan, dua jenis tebu tersebut telah mendapatkan rekomendasi aman secara pangan, dan aman secara lingkungan. Jadi, tebu PRG sudah bisa dilepas ke alam sementara benih pangan lain sampai saat ini belum ada boleh dilepas ke alam.

Pelepasan event jagung PRG dan event kedelai PRG hanya menunggu waktu saja karena pihak pemerintah sudah menyatakan sebanyak 16 event PRG telah dinyatakan lolos uji Keamanan Hayati. Meskipun disebut-sebut dinyatakan lolos uji Keamanan Hayati namun di sisi lain masih ditemukan perbedaan pengetahuan soal benih jagung transgenik di kalangan petani Jember. Misalnya, kenyataannya sampai hari ini para petani masih kesulitan membedakan mana yang dimaksud dengan benih jagung transgenik/PRG dan benih hibrida. Tak heran benih jagung hibirida pun disebut juga jagung transgenik/PRG.

Hampir dipastikan benih jagung lokal sudah semakin sulit ditemukan di kalangan petani Kabupaten Jember. Alasan para petani lebih memilih jagung hibrida karena menguntungkan secara ekonomi. Ironis, berbicara soal Indonesia adalah negara agraris dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi tapi perlahan beberapa jenis jagung mulai sulit dijumpai. Menurut Samsul Arifin, sekitar tahun 1980-an, Bapak saya menanam jagung lokal namanya jagung bekta dan jagung panjin. Kurang dari sepuluh tahun kemudian benih jagung lokal tersebut sudah tidak ditemukan lagi. Sayangnya, masih banyak benih jagung lokal yang belum terpetakan sumber genetika kini semakin sulit ditemukan lagi.

Semakin sulit rasanya membendung dominasi benih jagung hibrida dan segera menyusul benih jagung PRG. Benih jagung komoditi itu dibuat dengan segudang janji menggiurkan. Sementara masalah yang menyertai dan tak kelihatan dibalik benih jagung PRG itu masih belum dipahami sepenuhnya di kalangan petani dan masyarakat luas. Akankah mereka dijadikan “kelinci percobaan” demi keuntungan semata tanpa disertai informasi yang memadai?

Oleh: Ruddy Gustave – Peneliti KONPHALINDO

1 Comment

  1. aziz Reply

    di Jember telah memproduksi tebu transgenik untuk umum..
    Bagus kah ini min ?

Leave a Reply to aziz Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *