Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Ornop Tuntut Moratorium Ijin Eksploitasi Sumber Daya Alam

Ani Purwati – 19 Feb 2010

Beberapa Organisasi non Pemerintah (Ornop) menuntut pemerintah melakukan moratorium ijin eksploitasi sumber daya alam di Jakarta (18/2). Mereka menilai eksploitasi sumber daya alam telah menimbulkan kerusakan dan berdampak pada terjadinya bencana.

“Tentu hal ini beriringan dengan meningkatnya jumlah korban, baik jiwa, harta benda dan kerugian materi yang sangat besar.  Tercatat dua bulan terakhir, Januari-Februari  55 orang meninggal,” kata Berry Nahdian Furqan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) saat konferensi pers di Jakarta (18/2).

Sementara total kerugian materi yang melanda tanah air akibat banjir disertai longsor di 34 kabupaten/kota di Indonesia sebesar Rp 2.7 triliyun. Angka ini sangat signifikan bila dibanding  tahun 2009 dengan jumlah banjir sebanyak 179 kali yang menimbulkan korban jiwa sebanyak 225 orang meninggal dan 158 orang hilang.

“Kondisi ini menunjukkan bagaimana dasyatnya dampak akibat pengelolaan sumber daya alam dengan banyaknya ijin eksploitasi yang tidak melihat daya dukung alam,” jelas Berry.

Seperti alih fungsi lahan dan hutan untuk kepentingan lain, di antaranya tambang, perkebunan sawit, perumahan dan sebagainya. Bahkan juga terjadi penyalahgunaan taman nasional seperti yang terjadi pada Taman Nasional Gunung Halimun. Dimana kawasan konservasi ini justru diperuntukkan untuk bangunan permanen (villa), tambang dan kebun sawit.

Ironisnya proses yang bisa menghancurkan alam ini dilegitimasi dengan adanya UU dan perijinan yang mengabaikan kepentingan lingkungan hidup dan membahayakan keselamatan masyarakat. Sementara itu penegakan hukum juga tidak menunjukkan proses yang signifikan tegas.

Hal yang sama juga terjadi pada pengelolaan dan eksplotasi sumber daya laut. Menurut Mida Saragih, Divisi Pengetahuan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Pemerintah mengeluarkan UU No. 27 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang berpotensi tumpang tindih Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) dengan pemberian hak atau perijinan oleh instansi atau sektor lain. Nampak bahwa UU ini hanya mengutamakan kepentingan ekonomi saja dengan meningkatkan komersialisasi perikanan dan pariwisata.

Sementara itu pencemaran dari darat dan bermuara di laut sudah sering terjadi. Namun tidak ada koordinasi dalam penanganannya, misalnya antara Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“KLH menyatakan telah ada pencemaran di Laut Timor tapi Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan tidak ada pencemaran. Padahal pencemaran itu sudah menjadi isu serius yang dibahas di Australia” kata Mida.

Dalam pengelolaan sumber daya tambang menurut Siti Maemunah sebagai Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga hanya berorientasi eksploitasi tanpa mengedepankan keselamatan dan produktivitas warga. Di Kalimantan saja seringkali terjadi tumpang tindih perijinan yang melebihi dari luas lahan yang tersedia. Ijin konsesi tambang batubara, kebun sawit dan HPH di Kalimantan Timur mencapai 21,7 juta hektar, sementara lahan yang tersedia hanya 19,8 juta hektar.

“Fakta itu menunjukkan bahwa sangat logis bila pemerintah menghentikan dulu ijin-ijin eksploitasi sumber daya alam dan bisa mengurusnya dengan baik lagi,” kata Mae.

 

Belum Ada Itikad Baik

Namun sepertinya Pemerintah belum menunjukkan itikad tersebut. Pemerintah, dalam hal ini KLH, tidak juga menindaklanjuti UU No. 32 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dengan mengeluarkan peraturan pemerintah. Yang ada justru sebaliknya, KLH bersama ESDM dan Kehutanan bertemu dengan Komisi VII DPR RI untuk membahas keluh kesah para investor terutama sektor tambang yang merasa terhambat dengan adanya UU PPLH tersebut.

“Seharusnya KLH lebih berani mempertahankan kebijakan yang mengutamakan kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat. UU PPLH telah memberikan kewenangan lebih kuat pada KLH sehingga bisa setara dengan departemen,” tegas Rhino Subagyo sebagai Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).

Menurutnya, UU yang telah disyahkan DPR sejak Oktober 2009 melalui proses yang akomodatif ini memberikan kewenangan pada KLH untuk bisa mengeluarkan ijin usaha juga setelah melalui proses Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Hal ini yang menakutkan para pemilik usaha akan dibekukan atau dibatalkan ijin usahanya. Padahal UU PPLH ini mengatur bagaimana integrasi ijin-ijin terkait lingkungan hidup, limbah, dumping dan B3) yang lebih sederhana.

Dengan demikian pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam melalui ijin-ijin tersebut tidak berdampak besar pada kerusakan lingkungan hidup dan masyarakat. Selama ini menurut Dewi Puspa Divisi Sumber Daya Alam Solidaritas Perempuan (SP), masyarakat terutama kaum perempuan dan anak yang ada di sekitar eksploitasi sumber daya alam seringkali menjadi korban. Seperti kebocoran gas PT Arum, Nanggroe Aceh Darussalam, 80% korbannya adalah perempuan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *