Ani Purwati – 02 Mar 2010
Organisasi non pemerintah (Ornop) yang tergabung dalam Solidaritas untuk Korban Pulau Gebe mengutuk keras insiden penembakan oleh aparat kepolisian terhadap warga dan mahasiswa yang menuntut hak mereka kepada PT Antam Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara yang terjadi pada 27 Februari 2010. Insiden di PT Antam Gebe itu menyebabkan beberapa orang warga dan mahasiswa menjadi korban penembakan. Demikian pernyataan Solidaritas untuk Korban Pulau Gebe dalam siaran pers di Jakarta (1/3).
Koalisi sejumlah organisasi non pemerintah (Ornop) baik pusat maupun daerah ini (seperti Walhi Nasional, Walhi Maluku Utara, Jatam, Kontras, SHI, FOSHAL, LMS, LBH Maluku Utara, Sabahat Alam dan lainnya) telah melaporkan insiden penembakan ini kepada Komnas HAM. Mereka meminta Kompas HAM agar segera turun melakukan investigasi tuntas ke lapangan. Mereka juga meminta Aparat Kepolisian Daerah dalam hal ini Kapolda serta Kapolres bertanggung jawab penuh atas insiden penembakan tersebut yang juga mencoreng citra kepolisian yang katanya pelindung rakyat.
Menurut koalisi, tuntutan masyarakat terhadap dana community development (kondev) itu merupakan kewajiban perusahaan yang harus diselesaikan dengan baik oleh perusahaan. Tambang PT Antam telah melakukan ecocide, menghancurkan wilayah pulau Gebe. Masyarakat yang sebelumnya hidup sebagai nelayan dan petani, selama tambang beroperasi terpaksa mengubah pola ekonomi, dan tergantung kepada pertambangan. Kini, setelah nikelnya dikeruk dan hutan rusak, serta perusahaan tambang berhenti, masyarakat kehilangan sumber-sumber kehidupan. Tanah dan laut sekitarnya berubah menjadi merah, dan tidak bisa ditanami untuk pertanian.
Persoalan lapangan pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan ibu dan anak menghantui masyarakat Pulau Gebe. Berangkat dari situasi itulah, masyarakat dari empat desa Pulau Gebe, yakni Kacepi, Sanafi Kacepo, Umera dan Yoi, bersama dengan mahasiswa melakukan aksi, dan konvoi serta menduduki dan bermalam di kantor PT Antam P Gebe sejak 23 Februari 2010 . Masyarakat menuntut Dana Pengembangan Masyarakat PT Antam pasca tambang. Untuk itu, masyarakat minta dipertemukan untuk berunding dengan Direktur Antam Pusat (Alwin Syah Loebis), Manajer Community Development, Kadis Pertambangan Propinsi Maluku Utara, dan Kadis Pertambangan Halmahera Tengah.
Bukannya menanggapi warga yang anak-anak dan lingkungannya memiliki masa depan suram, PT Antam mendatangkan pasukan Brimob bersama Kapolres Halmahera Tengah pada 25 Februari 2010. Sebanyak 40 aparat berseragam lengkap memakai tameng anti huru hara, membawa senjata mendatangi kantor Antam dan memaksa massa aksi keluar halaman kantor dengan menembakkan gas air mata. Warga, temasuk ibu-ibu dan anak-anak berlarian keluar meninggalkan kantor Antam.
Kejadian ini tidak menyurutkan warga yang telah berada dalam posisi sulit hidupnya paska tambang berhenti. Warga tetap melanjutkan aksi pada hari Jumat, 26 Februari 2010, hingga Sabtu, 27 Februari 2010. Insiden kekerasan pun masih terjadi hingga 27 September. Akibatnya, 8 warga dan mahasiswa STIKIP Ternate yang mendampingi warga tertembak. Seorang mahasiswa luka di kepala karena dipukul. Serta 5 warga lainnya mengalami luka ringan.
Koalisi Ornop menilai insiden ini merupakan salah satu indikasi kegagalan dan niatan buruk perusahaan pertambangan khususnya PT. Antam terhadap penanganan persolan lingkungan, sosial, dan budaya masyarakat setempat pasca tambang.
Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional mengatakan, insiden ini menunjukkan penentuan wilayah pertambangan yang dibuat pada masa Orde Baru berada pada situasi represif. Masyarakat tidak bisa mengatakan tidak. Kini, pasca tambang, PT Antam harus bertanggung jawab untuk mitigasi dan adaptasi warga secara penuh. Selain itu, pemerintah harus meninjau semua penentuan tambang masa pemerintahan Orde Baru yang dilakukan secara represif. Terlebih lagi Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara tahun 2009 yang masih tidak memuat persetujuan masyarakat tentang penetapan wilayah tambang, harus ditinjau atau dibatalkan.
Pelanggaran hak asasi manusia
Menurut Sinung dari Kontras (2/2), bila pemerintah mengabaikan hak-hak masyarakat tersebut untuk mendapatkan lingkungan hidup yang layak dan keberlangsungan kehidupan masyarakat, maka diindikasikan pelanggaran hak asasi manusia telah terjadi secara tidak langsung. Ke depan untuk melakukan advokasi perlu ada konsolidasi dengan masyarakat dan memfasilitasi keinginan masyarakat sesuai aturan yang berlaku.
Sinung menyayangkan tindakan kekerasan terhadap masyarakat yang sedang melakukan aksi menuntut hak-haknya atas perbaikan atau rehabilitasi lingkungan dan kehidupannya setelah kegiatan tambang. Bila masyarakat dihadapkan pada keadaan yang tidak menentu seperti apa yang terjadi selama ini, sebaiknya pemerintah mengambil alih dan meminta perusahaan (PT Antam) bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak masyarakat.
“Sudah berhari-hari masyarakat melakukan aksi menuntut hak-haknya tapi tetap saja tidak ada kejelasan. Kalau bisa ada yang menjembatani seperti pemerintah maka akan menjadi hal yang positif,” kata Sinung.
Selebihnya, pemerintah dapat menjadikan apa yang terjadi pada masyarakat tersebut sebagai pelajaran tentang pentingnya pemulihan atau recovery setelah tambang berlangsung. “Kalau perusahaan tambang hanya meninggalkan ya keadaan lingkungan makin parah,” lanjut Sinung.