Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Morales: Biofuel Ancam Pangan Penduduk Negara Berkembang

Ani Purwati – 29 Apr 2008

Maraknya penggunaan biofuels sebagai pengganti bahan bakar minyak (fosil) menimbulkan kekhawatiran. Perluasan tanaman pengahasil energi nabati ini dapat mengancam deforestasi, meningkatkan pemanasan global karena lepasnya karbondioksida akibat deforestasi dan terancamnya ketahanan pangan.

Evo Morales, Presiden Bolivia mengatakan pada sidang PBB bahwa produksi pangan harus diutamakan daripada biofuel. Para pemimpin Bolivia dan Peru menolak penggunaan biofuels karena mengakibatkan harga pangan terlalu mahal bagi masyarakat miskin. Menurutnya, perluasan lahan pertanian untuk tanaman biofuel menyebabkan “tremendous increase” (peningkatan luar biasa) pada harga pangan.

Sementara itu Presiden Peru, Alan Gracia seperti yang dilaporkan Reuters, menyerukan pada negara maju untuk lebih mengutamakan pengembangan pangan. Beberapa bulan terakhir harga pangan di Peru telah melebihi angka inflasi biasanya di negeri tersebut.

Penolakan pimpianan kedua negara itu bersamaan dengan laporan yang diterbitkan oleh kelompok lingkungan hidup Friends of the Earth (FoE) yang memperingatkan Uni Eropa (EU) tentang risiko pengembangan biofuel di Amerika Latin. Tahun lalu  EU menyetujui target 10 persen penggunaan biofuel untuk transportasi hingga 2020.

Laporan itu mengatakan, skema sertifikasi yang disusun beberapa negara Amerika Selatan untuk memastikan produksi gula tebu dan kacang kedelai yang berkelanjutan tidak cukup untuk mencegah kerusakan lingkungan dan lebih menunjukkan kegagalan berupa permasalahan yang paling besar karena tutupan hutan lebih kecil.

Dalam pernyataannya pada PBB, Morales mengkritik beberapa Presiden Negara di Amerika Selatan karena mendorong biofuel. Presiden Bolivia tidak menyebutkan namanya, tetapi pandangan kontras tajamnya ditujukan kepada Presiden Brazil, Luiz Inacio Lula da Silva, yang telah mengatakan negara berkembang mempunyai cukup lahan untuk memproduksi pangan dan biofuel.

Morales meminta negara maju untuk menerima bahwa permasalahan yang diciptakan biofuel pada negara berkembang merupakan tanggung jawab mereka. Dalam konferensi persnya dia juga mengatakan bahwa hal itu bukanlah masalah internal tetapi eksternal.

“Ini sangat serius,” katanya. “Seberapa penting hidup dibandingkan mobil?” Jadi saya katakana hidup adalah utama dan mobil kedua.”

Sementara itu Pemerintah Peru telah dipaksa menangani masalah pangan di ibukota negaranya karena krisis akibat meningkatnya harga pangan. Di antaranya dengan memotong tariff dan meningkatkan suku bunga untuk menahan laju inflasi yang mencapai 4% tahun lalu.

Dalam pidatonya di PBB, Morales juga menyerukan pada International Monetary Fund dan World Bank untuk melawan industri biofuel dalam rangka mencegah kelaparan dan kesengsaraan orang-orang di sekitarnya.

Kurang Kajian Keamanan

Suatu kesalahan dalam penggunaan energi hijau dapat menjadi perusak iklim dan hutan tropis.  Biofuel serupa dengan gasoline namun lebih sedikit menimbulkan kerusakan pada lingkungan karena dihasilkan dari tanaman dan sampah, dapat berperan penting dalam penanganan pemansan global. Tetapi menurut beberapa kelompok lingkungan, RSPB, WWF, Greenpeace dan Friends of the Earth, langkah pemerintah tentang biofuel adalah salah akibat kurangnya kajian keamanan dan dapat menimbulkan masalah baru.

Usulan pemerintah yang dikenal dengan Renewable Transport Fuel Obligation (RTFO), dalam pembentukannya, nampak produksi bisnis biofuel dengan merusak hutan tropis dan lahan gambut, tidak hanya mengancam habitat dan spesies tetapi juga melepaskan lebih jauh karbon ke atmosfir daripada harapan bisa menyelamatkan dengan mengganti bahan bakar fosil.

Dr Douglas Parr, Ilmuwan Greenpeace mengatakan, “ Dalam bentuknya sekarang, usulan ini seperti sangat memuaskan. Di sini nampak produksi biofuel lebih merusak iklim daripada membantu. Pemerintah harus berhati-hati dengan rencana ini atau menghindari risiko yang diberikan biofuel.”

Mark Avery, Direktur Konservasi RSPB mengatakan,” Usulan ini mempercepat perusakan beberapa habitat dunia yang termahal dan hidupan liar. Tanpa standard lingkungan, biofuel akan lebih kecl nilainya daripada jagung hijau.”

Adam Harrison, Pejabat Pangan dan Pertanian WWF mengatakan kebijakan pemerintah atas biofuel dalam bahaya, lebih merugikan daripada kebaikan. Tanpa standard minimum, kita mengambil risiko memperluas penebangan hutan dan bahkan meningkatkan emisi CO2.

Ed Matthew dari Friends of the Earth mengatakan, itu tidak mungkin bahwa pemerintah mendesain sistem untuk mengembangkan industri biofuel yang dapat bener-benar memperburuk perubahan iklim, tetapi nampaknya mereka dapat memanage semua itu. Biofuel dapat menjadi solusi dalam perubahan iklim tetapi tanpa tidakan cepat pemerintah untuk menguatkan standard, kita hanya memiliki satu sedangkan yang lain akan hilang.

Pernyataan sikap FoE

Politik sekarang dan gairah bisnis untuk energi terbarukan (biofuel) tidak dimengerti. Industri ini dapat memainkan peran penting dalam perubahan iklim. Bagaimanapun, tanpa kajian yang tepat, kebijakan pemimpin ini dapat menimbukan konsekuensi yang tidak diharapkan, dapat meningkatkan emisi karbon, memperluas deforestasi dan menimbulkan dampak negatif sosial.

Kami memperhatikan bahwa rencana pemerintah mempromosikan biofuel melalui Renewable Transport Fuel Obligation (RTFO) kurang adanya tindakan pencegahan dini.

Emisi gas rumah kaca menyimpan dari berbagai biofuel yang berbeda, bertukar secara luas dan beberapa bisa menimbulkan peningkatan emisi. RTFO dinilai gagal membedakan antara biofuel yang dapat berkontribusi pada perubahan iklim.

Sebagai tambahan, tanpa standard yang tepat, RTFO akan menarik produksi biofuel atas biaya dari hutan, lahan gambut, dan padang rumput alami di Brazil dan Indonesia. Sebagai habitat dari hidupan liar, pengrusakannya akan menambah jumlah karbondioksida pada atmosfir. Membuat biodisel dari tanaman kedelai dengan alih fungsi hutan tropis mengambil alih 200 tahun sebelum hutan dapat menetralkan karbon.

 

Perluasan tanaman tropis, seperti minyak sawit juga berkaitan dengan hilangnya hak atas tanah masyarakat adat, pelanggaran hak asasi manusia, dan pengrusakan sumber daya alam masyarakat local.

 

Maka RTFO seharusnya memastikan bahwa biofuel teraudit, diterima secara luas dan berkelanjutan serta memiliki standard keseimbangan gas rumah kaca, termasuk sedikitnya 50% mengurangi gas rumah kaca dibandingkan energi fosil, memiliki pendekatan siklus hidup yang utuh.

Perhatikan gas rumah kaca yang disebabkan perubahan fungsi lahan dan pembukaan hutan untuk mengembangkan biofuel, jadi kemana karbon alih fungsi lahan lepas, tidak ada yang menyerap. Kajian mendalam sangat penting, dengan pemanfaatan yang tepat, biofuel mungkin dapat berkontribusi mengurangi emisi dari sektor transportasi tanpa merusak lingkungan.

Sumber:

http://www.guardian.co.uk/environment/2008/apr/22/biofuel.crisis

http://www.foe.co.uk/resource/press_releases/green_fuels_could_be_bad_f_10042007.html

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *