Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Membuka Jaringan Kelola Sampah Plastik

Ani Purwati – 24 Jul 2009

Berawal dari keprihatinan yang sama akan tingginya volume sampah, beberapa anak muda bergabung dalam Komunitas Pecinta Daur Ulang Sampah yang berupaya mengatasi limbah berlimpah itu. Meski tidak melakukan pertemuan langsung secara intensif, komunitas ini bertekad mengolah sampah plastik menjadi produk siap pakai seperti aneka macam tas, topi dan sebagainya.

Komunitas yang baru terbentuk Mei 2009 lalu ini melakukan koordinasi jaringan secara online tentang apa yang ingin dilakukan. Masing-masing anggota berada di beberapa kota di Indonesia seperti Bekasi, Solo, Jakarta dan kota-kota lainnya. Akhirnya terpilihlah penanganan sampah plastik sebagai sampah anorganik yang tidak bisa terurai di dalam tanah menjadi bermacam kerajinan tangan tersebut.

“Plastik merupakan sampah yang memerlukan waktu yang sangat lama hingga lebih dari 400 tahun untuk terurai,” ungkap Destry Bellina, anggota komunitas dari Bekasi saat mengikuti kegiatan pameran “four days for earth” yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI), Jakarta, Kamis (23/7).

Untuk mengolah sampah plastik, mahasiswi tingkat akhir Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta ini, mengumpulkan sampah pembungkus bermacam produk itu dari lingkup lingkungan RW di tempatnya tinggal di Bekasi. Destry membeli sampah plastik seharga 4000 rupiah per kg yang bersih dan 3000 rupiah per kg yang masih kotor. Untuk membentuk sampah plastik menjadi produk yang bernilai tinggi, Destry juga merekrut tenaga penjahit untuk menjahit aneka sampah plastic menjadi produk siap pakai kembali. Selain itu Destry juga menjahit dengan tangan yang dilakukannya sendiri. Demikian pula yang dilakukan teman-teman Destry dalam komunitas yang sama di daerah masing-masing.

Aneka macam bentuk kerajinan unik itu kemudian dipasarkan baik melalui online maupun pameran-pameran dengan harga berkisar antara 20 ribu rupiah ke atas. Selain mendapat nilai ekonomis, Destry bersama komunitasnya berharap bisa melakukan sesuatu bagi keberlanjutan lingkungan hidup serta memperluas kepedulian dan kesadaran masyarakat akan pentingnya penanganan sampah mulai dari yang terkecil di rumah masing-masing. Di antaranya dengan pemilahan sampah antara organik dan non-organik.

Selanjutnya, Destry bersama komunitasnya ingin memperluas kegiatannya dengan mengajarkan ketrampilan pengolahan sampah plastik menjadi bermacam produk kerajinan tersebut ke sekolah-sekolah dasar. Dimana anak-anak perlu mendapat pelajaran dini terkait kepedulian lingkungan hidup dan apa yang bisa dilakukan dalam menunjukkan kepedulian itu.

Selama ini sampah menjadi masalah yang belum mendapat penanganan baik di kota-kota besar seperti Jakarta. Menurut Destry, baik masyarakat maupun instansi terkait belum menunjukkan penanganan yang signifikan.

Sebagian besar masyarakat di Jakarta masih membuang sampah di sungai-sungai. Akibatnya sampah mengendap dan menyebabkan sungai dangkal. Sampah yang tidak bisa mengendap juga ikut terbawa arus dan menutup pintu air sungai. Kondisi itulah yang memperbesar kemungkinan terjadinya banjir.

Sementara itu penanganan sampah instansi terkait yang hanya bersifat mengumpulkan dan mengangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), belum bisa menyelesaikan masalah. Pembungan sampah itu hanya memindahkan penimbunan sampah ke TPA seperti yang terjadi di TPA Bantar Gebang, Bekasi.

Menurut data terakhir yang dilansir Walhi Jakarta, hingga saat ini produksi sampah di Jakarta sebesar 6500 ton per hari. Dengan produksi sampah sebesar itu, hingga saat ini pun DKI Jakarta masih tergantung pada daerah sekitarnya (Bekasi, Bogor, Tangerang) dalam penanganan yang masih bersifat mengumpulkan dan mengangkut ke TPA saja. Suatu penanganan yang masih menimbulkan permasalahan baru di TPA, seperti timbunan sampah yang menggunung, pencemaran udara berupa bau menyengat, konflik masyarakat sekitarnya dan sebagainya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *