Hari Sutanta – 04 Sep 2007
Hingga 31 Agustus lalu, warga korban lumpur Lapindo bertahan di kantor Komnas HAM. Mereka mengadukan dan menuntut anggota komisioner Komnas HAM yang baru dapat segera menuntaskan kasus semburan lumpur Lapindo yang telah berlangsung satu tahun lebih dan belum ada penyelesaian secara tuntas. Warga juga menuntut dicabutnya Perpres 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Menurut salah satu warga korban yang ikut hadir di kantor Komnas HAM, dengan keluarnya Perpres 14/2007 ini korban diperlakukan bagai penjual tanah. Malah pembeli yang menentukan harganya. “Kami harus kesana-kemari mengurus alat bukti penjualan tanah. Sertifikat tanah yang asli harus diberikan ke Minarak, meskipun harus dibayar 20%. Jika tidak, mereka tak mau membayar,” katanya.
Selain itu, warga korban lumpur Lapindo juga mendesak anggota Komnas HAM yang baru untuk membuat kontrak politik guna menyelesaikan kasus tersebut.
Ridha Saleh, salah seorang anggota Komnas HAM yang baru mengatakan bahwa kontrak politik seperti yang dituntut warga tidak ada dalam prosedur Komnas HAM. “Bukannya kami tidak mau menandatangai kontrak politik, ini hanya berkaitan dengan prosedur. Kami tidak boleh juga memperlakukan lembaga negara ini secara sewenang-wenang. Tapi kami akan menyampaikan komitmen kami dalam bentuk surat tertulis. Isinya mirip dengan apa yang bapak-bapak tuntut dan akan kami tanda tangani hari ini juga. Namun akan kami rapatkan dulu,” kata Ridha Saleh.
Pada intinya surat pernyataan yang dikeluarkan Komnas HAM untuk kasus Lapindo setelah rapat pleno pertama Komnas HAM ini untuk menindaklanjuti pengaduan yang dilakukan oleh warga korban semburan lumpur Lapindo.
Sedangkan penanganan yang akan dilakukan oleh Komnas HAM berkaitan dengan kasus Lapindo di antaranya, pertama, Komnas HAM akan menindaklanjuti kasus luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo dengan melakukan penelaahan guna mengetahui pelanggaran HAM yang terjadi dan atau dugaan pelanggaran HAM berat.
Kedua, Komnas HAM akan segera memanggil pihak-pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran HAM sebagai hasil telaah yang dihasilkan untuk diperiksa dan dimintai keterangan dan akan merekomendasikan hasil pemeriksaan tersebut kepada instansi yang berwenang.
Ketiga, Komnas HAM akan meminta kepada Presiden RI untuk melakukan revisi Perpres 14/2007 jika ternyata kebijakan tersebut justru berpotensi menghambat penanganan kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo sehingga mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM kepada para korban.
Keempat, Komnas HAM akan segera meminta kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah Jawa Timur untuk menjamin segala kebutuhan dasar dan keselamatan para korban lumpur Lapindo yang saat ini masih berada di tempat-tempat pengungsian.
Kelima, kami akan segera membentuk tim penanganan kasus lumpur Lapindo sebagai kelanjutan dari tim yang sebelumnya telah ada dan dalam waktu empat bulan akan menyampaikan hasil kerjanya kepada masyarakat terutama masyarakat korban melalui surat dan atau disiarkan oleh media.
Lebih lanjut Ridha Saleh mengatakan bahwa kelima poin itu tidak menegasikan tuntutan-tuntutan masyarakat kepada Komnas HAM. “Yang lebih penting kami menindaklanjuti hasil investigasi Komnas HAM yang lama bahkan akan lebih memperkuat dan akan membentuk tim baru yang kerjanya selama empat bulan,” katanya.
Ketika ditanyakan bagaimana jika rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM tidak bisa ditindaklanjuti, karena selama ini rekomendasi-rekomendasi tidak pernah bisa dijalankan dan berhenti di tengah jalan. Dengan nada optimis Ridha Saleh menjawab, “Upaya politik akan kita lakukan. Wewenang kan kita manfaatkan sebaik mungkin untuk merekomendasikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.”
Menanggapi pernyatan yang dikeluarkan oleh Komnas HAM tersebut warga korban sedikit kecewa. Karena menurutnya pernyataan yang dikeluarkan tersebut hanya berupa himbauan-himbauan dan sifatnya tidak menekan.
“Pernyataan tersebut tidak menggigit dan tidak seperti yang diharapkan warga korban lumpur Lapindo. Warga korban lumpur Lapindo membutuhkan penegasan secara eksplisit sehingga menunjukkan bahwa Komnas HAM punya gigi. Kalau bahasanya seperti itu, tidak lebih dari himbauan-himbauan saja dan rencana-rencana saja yang kemudian hari diabaikan,” ujar Paring Waluyo yang mewakili para korban.