Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Kedelai Impor Transgenik vs Kedelai Lokal Organik:

Pertaruhan Kedaulatan Pangan Bangsa

Meski Indonesia sering disebut negara agraris, banyak bahan pangan yang mestinya bisa diproduksi di dalam negeri justru masih didatangkan dari negara lain. Sebut saja, beras, kedelai, gula, bahkan garam! Pada akhir Juli 2012, di beberapa daerah di Jawa sempat terjadi kelangkaan kedelai, lantaran bahan pangan ini sulit ditemukan. Kalaupun ada, harganya meroket, karena di tingkat perajin tahu & tempe harganya naik 30%, dari kisaran Rp.5.500/kg – Rp.6500/kg menjadi Rp.8.000/kg.

Kedelai yang dihasilkan petani kita belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Oleh karena itu, sebagian besar kedelai yang beredar di pasar Indonesia memang diimpor dari beberapa negara. Karena bergantung pada pasokan negara lain, tak ayal ketika cuaca panas dan kekeringan melanda Amerika Serikat, negara pengekspor kedelai terbesar ke Indonesia, produksinya menyusut lebih dari 5 juta ton, sehingga panen kedelai AS hanya 76 juta ton. Keadaan ini mempengaruhi peredaran kedelai di beberapa daerah di Indonesia, terutama di Jawa.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dalam lima bulan pertama pada 2012 Indonesia sudah mengimpor 750,1 ribu ton kedelai dengan total nilai USD 424,2 juta. Impor terbesar datang dari AS (721,1 ribu ton dengan nilai USD 401,6 juta), disusul dari Malaysia (26 ribu ton senilai USD 20,8 juta), dan Kanada (1.525 ton senilai USD 887 ribu). Ukraina juga mendatangkan kedelai (738 ton dengan nilai USD 370,1 ribu). Begitu juga China (281,8 ton senilai USD 279 ribu) (Finance.detik.com, 6/8/2012). Sementara Argentina mendatangkan 73.037 ton, Uruguay 16.825 ton, dan Brasil 13.550 ton.

Pada 2012, total kebutuhan kedelai nasional tercatat sebesar 2,2 juta ton. Jumlah tersebut untuk memasok kebutuhan pangan atau perajin tahu & tempe 83,7%; industri kecap, tauco, dan lainnya 14,7%; penyediaan benih 1,2%; dan pakan ternak 0,4%. Mengapa kebutuhan sebesar itu tidak bisa dipenuhi oleh produksi di dalam negeri?

Kebutuhan kedelai di dalam negeri setiap tahun terus bertambah bahkan pernah mencapai tiga juta ton. Sementara produksinya cenderung fluktuatif, namun selama 10 tahun terakhir tidak pernah melebihi satu juta ton. Menurut BPS, selama kurun waktu 2002 hingga 2011, produksi kedelai di dalam negeri mencapai rekor tertinggi pada 2010, yaitu sebanyak 974.512 ton (www.harianbhirawa.co.id, 6/8/2012).

Kedelai Impor, Kedelai Transgenik?

Impor kedelai terbesar Indonesia berasal dari AS, mencapai 1.847.900 ton pada 2011. Beberapa negara lain seperti Argentina, Brazil, dan lain-lain juga mengekspor kedelai ke Indonesia, sebagian besar adalah negara-negara yang mengijinkan teknologi rekayasa genetika diterapkan di pertanian. Menanggapi impor kedelai ini, Menteri Pertanian RI, Suswono, dalam sebuah wawancara di stasiun televisi membenarkan bahwa kedelai yang diimpor dari AS itu adalah kedelai transgenik (produk rekayasa genetika/PRG), dan hal ini memang diijinkan oleh Pemerintah Indonesia.

Persoalannya, bukan hanya besarnya volume impor kedelai yang harus dibeli Indonesia dengan harga yang tidak murah. Kontroversi seputar keamanan PRG tetap harus menjadi perhatian kita bersama. Awal Oktober 2012 lalu perhatian publik sempat teralihkan ke sebuah berita tentang hasil penelitian pada jagung PRG (Genetically Modified Organism/GMO). Jagung PRG produk perusahaan bioteknologi terkemuka Monsanto dengan kode NK603 itu, di pasar dunia memang diperuntukkan sebagai pakan ternak. Tanaman jagung PRG NK603 ini direkayasa untuk tahan terhadap pembasmi gulma glyphosate yang banyak digunakan oleh petani. Dari hasil penelitian Universitas Caen Perancis, jagung NK603 menimbulkan masalah kesehatan serius pada hewan percobaan yang diberi pakan jagung tersebut, seperti tumor, kerusakan organ, hingga kematian dini.

Beragam reaksi pun bermunculan dari berbagai kalangan. Para peneliti di European Food Safety Authority (EFSA) meragukan hasil penelitian Universitas Caen itu. Sementara pemerintah Rusia mengambil langkah lebih jauh. Rospotrebnadzor, Badan Perlindungan Konsumen Rusia, meminta Lembaga Penelitian Gizi untuk menyelidiki temuan terbaru di Perancis itu. Sambil menunggu hasil penyelidikan, impor dan penjualan jagung NK603 untuk sementara dihentikan. Bagaimana di Indonesia?

Regulasi Peredaran PRG Belum Memadai

Masyarakat Indonesia menanggapi PRG dengan berbagai sikap: pro, kontra, tidak peduli, atau tidak tahu harus bagaimana. Salah satu yang menjadi perdebatan hangat adalah kekhawatiran dampak negatif terhadap kesehatan, lingkungan hidup (ekosistem), dan keamanan hayati akibat pelepasan PRG, serta bagaimana cara mengetahuinya (mengujinya). Isu tersebut cukup beralasan, karena begitu suatu PRG dilepas ke alam bebas, maka perilakunya tidak dapat dikendalikan (dikontrol) sebagaimana ketika PRG tersebut berada di dalam laboratorium. Tanggungjawab pihak pengembang akan menjadi lebih besar ketika PRG berada di luar laboratorium.

Untuk mengantisipasi pengembangan produk bioteknologi, pemerintah Indonesia telah memiliki struktur organisasi dan perangkat peraturan, termasuk pedoman pelaksanaan dan pengkajian PRG. Pelepasan tanaman, ikan, hewan, dan pakan PRG tersebut diatur dalam PP No.21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. PP ini merupakan peningkatan/penyempurnaan dari peraturan sebelumnya, yaitu Keputusan Bersama Empat Menteri Tahun 1999.

Namun PP No.21 Tahun 2005 ini belum efektif melindungi masyarakat dan lingkungan. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Wahyu Yun S. (pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada) dalam sebuah diskusi yang digelar KONPHALINDO, Februari 2012. PP ini dibuat atas dasar prinsip pendekatan kehati-hatian sesuai dengan amanat Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-undang No.21 Tahun 2004. Menurut Wahyu, konsep hukum yang mengatur bioteknologi berdiri di atas tiga konsep dasar yaitu: Perlindungan Hukum, Pengaturan Hukum (Regulasi), dan Pertanggungjawaban Hukumnya.

“Namun penerapan prinsip hukum umum tidak optimal,” jelas Wahyu. Salah satu prinsip hukum umum itu adalah kehati-kehatian (precautionary principle) dengan beberapa elemen mendasar, yaitu: adanya langkah kehati-kehatian apabila menghadapi kekurangan bukti ilmiah (scientific uncertainty); adanya eksplorasi terhadap upaya alternatif yang mungkin diterapkan bila ancaman bahaya atau kerusakan (damage) muncul; pemberian beban pembuktian terbalik kepada pelaku usaha; serta perlunya proses yang demokratis dan transparan dalam penerapan prinsip ini, termasuk hak publik atas informasi.

“Prinsip kehati-hatian dapat kita terjemahkan bahwa ketika terdapat alasan ilmiah untuk membuat kita percaya bahwa suatu aktivitas, teknologi, atau suatu substansi dapat menimbulkan bahaya, maka kita perlu melakukan upaya untuk mencegah bahaya tersebut,” lanjut pakar hukum bioteknologi dari UGM itu. “Jika kita selalu menunggu adanya suatu kepastian ilmiah (scientific certainty), bisa jadi akan ada korban atau masyarakat yang keburu dirugikan atau meninggal, dan dampak kerusakan lingkungan bisa jadi semakin sulit dipulihkan. Memang, prinsip ini cukup sulit diterapkan”.

Untuk menguji keamanan PRG, ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu keamanan pangan, pakan, dan lingkungan. Untuk pengambilan keputusan tentang keamanan pangan dan/atau keamanan pakan PRG, regulasi ini melibatkan Badan POM (BPOM) dan kementerian terkait (Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan).

Untuk melihat keamanan pangan, kita harus melihat komposisi atau identitas pangan tersebut, komposisi gizi, anti gizi, toksin, dan alergennya. Sumber gennya juga perlu kita lihat, apakah dari bakteri, tanaman, hewan atau manusia. Di tingkat gen, kita harus melihat apakah gen itu bersifat toksin atau tidak, meski kemungkinan itu sangat kecil namun tetap harus diuji. Apakah DNA yang disisipkan dapat menimbulkan reaksi alergi atau tidak, juga harus diuji. Tak kalah penting dicermati adalah stabilitasnya, hasil rekayasa gen harus stabil, jika diturunkan sifatnya tidak boleh berubah.

Ketika ingin mengetahui keamanan suatu PRG, muncul konsep atau pendekatan “kesepadanan substansial”. Dalam konsep ini, PRG dan non PRG dikatakan sepadan, misalnya jika kandungan vitamin, gizi, karbohidrat, dan komponen lainnya sama/sepadan secara substansial. Artinya, jika manusia telah mengkonsumsi kedelai non PRG sejak ratusan tahun dan keadaannya aman-aman saja sampai sekarang, maka mengkonsumsi kedelai PRG saat ini pun harus diasumsikan aman. Sebaliknya, ketika pangan PRG dan non PRG tidak sepadan secara substansial, maka pangan PRG patut dipertimbangkan keamanannya untuk dikonsumsi. Konsep ini pada awalnya bukan muncul dari kalangan ilmuwan (scientific communities), tetapi merupakan usulan dari pihak industri.

Kebijakan Tidak Berpihak kepada Petani

Minimnya insentif dan sulitnya memasarkan kedelai lokal membuat daya tarik menanam kedelai di kalangan petani sangat rendah. Apalagi pemerintah lebih suka mengimpor kedelai, ketimbang memberi dukungan kepada petani kedelai lokal, sehingga keadaan ini tidak mampu mendongkrak peningkatan produksi kedelai di dalam negeri. Padahal Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai pada 1992 dengan proteksi.

Namun setelah krisis moneter menghantam Indonesia pada 1998, Dana Moneter Internasional (IMF) memerintahkan Indonesia agar tidak memberikan proteksi apapun untuk komoditas kedelai. Dibukalah keran impor kedelai, dan langsung disambut dengan berbagai fasilitas kredit ekspor untuk negara-negara produsen yang bekerja sama dengan para importir lokal. Negara-negara tersebut memberi pinjaman tanpa bunga kepada Indonesia untuk mengimpor kedelai, lalu dipasarkan di dalam negeri. Dengan konsumsi kedelai dalam negeri yang rata-rata mencapai 1,9 juta ton per tahun, hal ini akan menjadi peluang bisnis yang sangat menggiurkan.

“Menanam kedelai sebenarnya bisa menjadi menarik bagi petani,” ujar ibu Mubayyinah Jauhari, seorang petani organik di Banjarnegara, Jawa Tengah. “Ini jika pemerintah memberi jaminan harga beli kedelai dari petani secara layak”.

Menurut ibu Mubayyinah, kedelai tidak membutuhkan penanganan khusus dalam budidayanya, seperti pengairan yang istimewa, pupuk dan pestisida kimia yang intensif. Kedelai justru tidak membutuhkan lahan yang terlalu basah. Apalagi kalau lahan sudah organis, petani tidak memerlukan input banyak seperti kedelai konvensional. Petani bisa membuat sendiri semua input yang dibutuhkan.

“Hanya saja, kita perlu menanamnya secara serentak, bersama-sama, sehingga lahan kedelai dapat mencapai luasan yang cukup untuk bisa terhindar sebagai sasaran empuk serangan hama,” imbuh petani beras dan domba organik ini. “Tempe yang berbahan baku kedelai lokal rasanya lebih enak, lebih bergizi, meski harganya sedikit lebih mahal daripada tempe berbahan baku kedelai impor. Tetapi konsumen mendapatkan pangan yang lebih sehat”.

Meski diakuinya bahwa perajin tahu dan tempe di daerahnya lebih menyukai kedelai impor yang besar-besar dan berwarna putih itu, karena harganya lebih murah. Harga kedelai impor per Juli 2012, berkisar Rp 8.470 – Rp.8.600-an, sementara harga kedelai lokal mencapai Rp.9.050/kg.

Kebijakan yang tidak berpihak kepada petani kedelai lokal, diizinkannya kedelai impor PRG tanpa bea masuk yang pantas dan kini menyerbu pasar Indonesia, berbuntut pada situasi pasokan pangan yang penuh ketergantungan pada impor. Tanpa disadari, konsumen pun telah “dipaksa” mengkonsumsi pangan PRG, meski tidak mengetahui keamanannya. Sementara petani tetap tidak tertarik menanam kedelai lokal.

Sesungguhnya petani Indonesia mampu memproduksi sendiri berbagai komoditas pertanian, termasuk produk pertanian yang terlanjur diimpor. Persoalannya terletak pada kemauan para pembuat kebijakan, apakah mau bekerja sama untuk mencapai kemandirian petani sebagai anak bangsa? Harga kedelai yang sarat dengan permainan adalah salah satu bukti betapa kedaulatan pangan bangsa ini telah tersandera, betapa kita telah dibuat terus bergantung pada produk impor. Pertanian kedelai lokal organik menjadi pilihan tepat sebagai alternatif terhadap kedelai impor transgenik. Pertarungan keduanya akan menentukan kedaulatan pangan bangsa ini di masa depan (Ika N. Krishnayanti/Aliansi Petani Indonesia-API, Jakarta).

NB: artikel ini juga diupload pada http://api.or.id/kedelai-impor-transgenik-vs-kedelai-lokal-organik-pertaruhan-kedaulatan-pangan-bangsa/ dan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *