Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Kearifan Lokal Babakan Ciomas Penting Bagi Keberlanjutan Pangan

Ani Purwati – 09 Jan 2009

Bagi masyarakat di kawasan hutan, sumber daya alam adalah hal terpenting dalam pemenuhan kebutuhan pangannya. Tak heran jika mereka senantiasa menghargainya dengan ritual adat istiadat ataupun kepercayaan. Salah satunya adalah masyarakat Kampung Babakan Ciomas di Taman Nasional Gunung Halimun, Kabupaten Lebak, Banten.

Tentu saja penghargaan dan kearifan lokal masyarakat ini sangat berarti bagi keberlanjutan sumber daya alam itu sendiri. Di antaranya adalah larangan menebang hutan dan kebiasaan bertanam padi hanya setahun sekali.

Menurut Rojak Nurhawan dari Rimbawan Muda Indonesia (RMI) pada 17 Desember 2008, di kawasan taman nasional ini, masyarakat sudah mengenal beberapa model pengelolaan sumber daya hutan, seperti pembagian  pengelolaan hutan menjadi tiga, yaitu hutan (lueng) tutupan, hutan awisan, dan hutan bukaan. Hutan tutupan (lueng kolot) adalah kawasan hutan yang masih tertutup, tetapi suatu saat bisa dibuka dengan pertimbangan khusus secara adat.  Misalnya digunakan sebagai area pemukiman baru, atau dalam kondisi-kondisi darurat lainnya.

Hutan awisan (cadangan) adalah hutan yang dianggap sebagai warisan dari nenek moyang meraka dan tidak boleh diganggu keberadaanya untuk diwariskan kembali kepada anak-cucu berikutnya.  Hutan ini biasanya masih berupa hutan inti, dan memiliki nilai-nilai religius yang tinggi.  Lalu hutan bukaan yaitu kawasan hutan yang dibuka untuk pertanian ladang berpindah atau sistem-sistem kebun lainnya.  Ada beberapa sistem kebun yang dikenal oleh masyarakat di Halimun, seperti kebun talun, kebun kayu, dan  ladang/huma itu sendiri.

Kebun talun merupakan sistem kebun yang kompleks dan memiliki keanekaragaman hayati tinggi untuk kepentingan  pemenuhan pangan, obat-obatan, dan jasa lingkungan  untuk penyedia air. Hasil kebun yang serba alami di antaranya kopi, nenas, markisa, pisang, rambutan, mangga, pepaya, kelapa dan sebagainya. Mereka juga mengelola pertanian dan kolam-kolam ikan, yang disusun dan disesuaikan dengan topografi bentangan alam yang bergelombang, yaitu sistem sawah terasering.

Pertanian yang dikembangkan adalah pertanian padi dengan satu kali musim tanam dalam satu tahun. Padi yang ditanam adalah jenis lokal dengan ciri-ciri tanaman yang tinggi dan bisa berumur sampai kira-kira tujuh bulan siap dipanen. Ketika menunggu musim tanam, masyarakat memanfaatkan sawah yang berisi air untuk memelihara ikan mas. Hasilnya lumayan untuk mencukupi kebutuhan sendiri.

Seperti halnya hasil padi, ladang dan kebun yang dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Padi hasil panen disimpan di lumbung (leit) untuk mencukupi kebutuhan masing-masing keluarga dalam satu tahun dan untuk bibit musim tanam berikutnya. Kebiasaan ini membuat ketahanan pangan masyarakat, sumber hayati lokal dan kondisi alam di kawasan Kasepuhan Citorek ini menjadi terjaga. Terlebih lagi dalam bertani, masyarakat hanya menggunakan sedikit pupuk kimia buatan dan tanpa pestisida.

Beralih ke Pertanian Organik

Namun mengingat kondisi pupuk yang makin langka dan mahal serta pentingnya kualitas lahan dan hasil panen tanpa pupuk kimia buatan, masyarakat mencoba beralih ke sistem pertanian organik atau tanpa bahan-bahan kimia buatan (seperti pupuk, pestisida dan sebagainya). Dengan dampingan Rimbawan Muda Indonesia (RMI) dan Tim Gender Health Environmental Lingkage Program Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (Tim G-Help FKM UI), melalui sekolah lapang (Riung Mumpulung), masyarakat setempat belajar bertani secara organik dengan membuat kompos dan pestisida nabati sendiri.

Sejak awal 2008, menurut Rojak, masyarakat Kampung Babakan Ciomas yang berjumlah sekitar 40 KK ini, mendapat pelajaran tentang pertanian organik dari sekolah lapang hasil pendampingan dua lembaga nirlaba tersebut. Adanya pelajaran tentang pertanian organik dalam sekolah lapang tersebut memang sangat sesuai dengan kebutuhan warga kampung. Dimana jarak kampung yang jauh dari sumber pupuk kimia buatan mengakibatkan peningkatan biaya transportasi dan harga pupuk yang mahal. Padahal pupuk kimia buatan sudah sulit didapat di pasaran.

Selain itu, kesadaran warga akan pentingnya kesehatan dari zat-zat berbahaya seperti urea dan TSP pada pupuk kimia buatan, sudah mulai terbangun pula. Sehingga warga semakin bersemangat mempelajari teknik bertani organik yang meninggalkan bahan-bahan kimia itu.

Selanjutnya mereka melakukan praktik pembuatan kompos dengan MoL yang ditimbun di dalam tanah dan pestisida nabati. Bahkan sejak September 2008 lalu, Agus dan Imel istrinya sudah menanam sayur secara organik di pekarangan rumahnya.

“Kami senang mendapat pelajaran tentang pertanian organik dari RMI dan FKM UI. Untuk selanjutnya kami akan mengembangkan pertanian organik untuk padi di sawah dan sayur-sayuran di pekarangan rumah kami,” kata Imel.

Dengan membuat pupuk kompos sendiri, Agus berharap dapat lebih berhemat untuk kebutuhan pupuknya dan mendapatkan hasil panen yang lebih sehat karena tidak menggunakan bahan-bahan kimia buatan. Sedangkan sistem tanam padi yang hanya sekali dalam satu tahun dan menggunakan tenaga kerbau dalam olah tanah, dapat mempertahankan kualitas ekologi tanah. Begitu pun penggunaan sumber mata air dalam pengairan sawah mereka.

“Dengan tambahan penggunaan pupuk kompos dalam menanam padi, kami berharap tanah menjadi lebih gembur,” kata Agus yang sudah melakukan studi banding tentang pertanian padi organik di Nagrek, Jawa Barat bersama beberapa warga lainnya pertengahan Desember kemarin.

Untuk selanjutnya, pelaksanaan pertanian organik di Kampung Babakan Ciomas ini, diharapkan mampu meningkatkan kedaulatan petani atas pangan karena penggunaan jenis bibit lokal, pupuk dan pestisida alami. Selain itu, juga mampu meningkatkan kualitas dan nilai ekonomi produk organik baik sayur ataupun hasil kebun serta menjaga kualitas ekologi tanah setempat.

2 Comments

  1. Hendra Djajusman Reply

    Mbak Ani Purwati, anda masih harus sedikit belajar bahasa Sunda, jangan sampai menulis leuweung jadi lueng. Ngisin-ngisinke !

  2. Hendra Djajusman Reply

    Mbak Ani Purwati, anda masih harus sedikit (sedikit saja) belajar bahasa Sunda. Jangan sampai menulis leuweung jadi lueng. Ngisin-ngisinke !

Leave a Reply to Hendra Djajusman Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *