Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Jelantah Jangan Dibuang, Bisa Dikonversi Ke Biodisel

Oleh: Ruddy Gustave, Peneliti KONPHALINDO dan Proyek Manager Kajian Pengembangan Energi Nabati (Jelantah)

Jelantah adalah minyak goreng sisa dari hasil proses penggorengan. Sering jelantah atau minyak goreng sisa masih dipakai berulang-ulang oleh ibu rumah tangga, jika terlihat masih bersih (berwarna bening). Biasanya jelantah baru dibuang setelah terlihat kotor, berwarna kehitaman. Namun dibalik itu banyak yang belum mengetahui bahwa jelantah itu bisa didaur-ulang dan “dioplos” sebagai minyak goreng curah, dan bisa juga dikonversi ke bahan bakar biodisel.

Jelantah dari sudut pandang kimiawi tergolong limbah berbahaya dan beracun. Disebut berbahaya bagi kesehatan manusia karena mengalami proses perubahan kimiawi akibat pemanasan di atas suhu tinggi secara berulang-ulang dan mengandung senyawa karsinogenik. Karsinogenik dalam sudut pandang kesehatan dianggap pemicu kanker. Karena alasan itulah jelantah di negara-negara industri maju tidak dianjurkan untuk digunakan lagi demi alasan kesehatan.

Jelantah sayang dibuang karena masih bagus warnanya. Itulah alasan kuat mereka mendaur-ulang jelantah untuk mencari keuntungan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan aspek “keamanan pangan”. Sementara belum ada peraturan khusus mengaturnya dan jelantah bebas diperjualbelikan di kalangan masyarakat. Jelantah bisa dibeli dari restoran besar atau restoran kecil, dan hotel-hotel sebagai konsumen terbanyak. Jelantah yang dibeli lalu “dicuci bersih” dan “dioplos” atau dicampur dengan minyak goreng baru, selanjutnya dijual kembali sebagai minyak goreng curah dan harganya lebih murah dari harga minyak goreng baru.

Permasalahan di atas dibahas pada acara kelompok diskusi terfokus tentang Kajian Pengembangan Energi Nabati (Jelantah) sebagai Sumber Energi Alternatif Terbarukan: Upaya Memetakan Potensi dan Tantangan Pengelolaan Jelantah untuk Biodisel di Pulau Jawa dan Bali. Kegiatan diskusi ini diselenggarakan oleh KONPHALINDO bekerjasama dengan ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund) dan Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) pada tanggal 29 Oktober 2015, di Gedung PKK, Jakarta Selatan.

Kondisi saat ini, Indonesia adalah produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Menurut laporan yang disusun oleh Indonesia Investments menyebutkan, produksi minyak sawit pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 31,5 juta ton metrik, dan kebutuhan ekspor sebanyak 19,5 juta metrik ton (lihat http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166). Sisanya 12 juta ton metrik untuk berbagai kebutuhan dalam negeri. Paling tidak sebaran potensi jelantah diperkirakan lebih dari 50 prosen atau 6 juta ton metrik per tahun. Selanjutnya dipakai untuk apa jelantah itu belum teridentifikasi secara utuh dan lengkap. Dugaan sementara sebagian besar jelantah tersebut didaur-ulang dan ‘dioplos’ menjadi minyak goreng curah.

Kegunaan lain jelantah juga bisa diolah menjadi bahan bakar biodisel. Menurut Muhamad Suhud, konsultan kajian kebijakan energi terbaharukan menjelaskan, belum ada kajian secara khusus bagaimana kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah pengelolaan jelantah di Indonesia dan khususnya lingkup wilayah Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Jadi, usulan pengaturan kebijakan jelantah itu bertujuan mengamankan kesehatan manusia akibat mengkonsumsi jelantah, menurunkan pencemaran udara akibat pembuangan timbal dan karbon, dan memberikan manfaat keuntungan secara ekonomi kepada usaha kelompok masyarakat guna mengolah jelantah menjadi bahan bakar biodisel.

Selanjutnya, dua contoh produksi biodisel dari jelantah skala besar yaitu Kota Bogor dan Kota Denpasar. Bogor, dikelola oleh PT. Mekanika Elektrika Egra (MEE) memiliki kapasitas produksi biodisel satu ton per hari. Sumber jelantah dari warga masyarakat, sekolah, pengusaha kuliner, koperasi pasar. Pemanfaatannya sebagai bahan bakar Bus Trans Pakuan oleh PD Jasa Transportasi Kota Bogor. Di Denpasar, Bali, biodisel dikelola oleh Yayasan Lengis Hijau memiliki kapasitas produksi satu ton per hari. Sumber jelantah dari hotel dan restoran berdasarkan nota kesepahaman. Pemanfaatannya, produksi biodisel dijual kembali ke hotel dan restoran untuk bahan bakar mesin diesel dan bahan bakar mobil diesel.

Menurut Suhud, baru sekarang dibangun mode produksi biodisel berbasis masyarakat dengan skala produksi 50 liter per hari. Mode produksi biodisel skala kecil ini dibangun oleh KONPHALINDO bekerjasama dengan ICCTF dan Bappenas untuk pilot proyek di daerah RW 03 Kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Alasan itulah perlu ada pengaturan khusus mengenai jelantah supaya pemanfaatannya dialihkan untuk kebutuhan bahan bakar biodisel daripada dikonsumsi kembali oleh manusia.

Tantangan

Kehadiran produk bahan bakar nabati biodisel dari jelantah merupakan sesuatu hal yang baru di tengah masyarakat. Sudah tentu hal itu akan menimbulkan permasalahan sosial-budaya yang baru. Menurut Professor P.M. Laksono PhD., antropolog Universitas Gajah Mada melontarkan beberapa pertanyaan penting dari sudut pandang sosial-budaya yaitu, bagaimanakah cara meyakinkan kepada masyarakat luas bahwa pengolahan biodisel dari jelantah ini sangat bermanfaat dan berguna, bagaimanakah caranya mendapatkan bahan baku jelantah dari warga masyarakat, sehingga pengelolaan biodisel dari jelantah berbasis masyarakat bisa berkelanjutan produksinya dan memberikan manfaat luas kepada masyarakat dan lingkungan.

Selanjutnya, pengelolaan biodisel dari jelantah akan diserahkan pengelolaannya kepada kelompok masyarakat Rukun Warga (RW) 03 Kelurahan Jagakarsa Jakarta Selatan. Jadi, untuk mendapatkan sumber jelantah berasal dari warga masyarakat RW setempat. Menurut Widhyanto Muttaqien, fasilitator pendampingan masyarakat menjelaskan, RW 3 terdiri dari 12 RT atau 2.354 Kepala Keluarga (KK). Dari hasil penilaian cepat dan hasil uji coba pengumpulan jelantah selama satu bulan berhasil terkumpul 5 liter dari empat KK, atau 15 liter dari 20 KK. Itu artinya potensi jelantah khusus RW 3 saja rata-rata kurang lebih satu liter per KK atau sekitar 590 liter jelantah per bulan. Dengan demikian rata-rata bisa terkumpul 150 liter per minggu. Hanya saja perlu penyadaran secara berkala kepada warga masyarakat untuk mengumpulkan dan melihat bersama kegunaanya jelantah tersebut.

Menurut Hendro PH, pakar kimia dan mesin pengolahan biodisel menjelaskan, mesin pengolahan biodiesel dari jelantah memiliki kapasitas produksi kurang dari 40-50 liter per hari. Untuk memproduksi biodisel sebanyak itu maka diperlukan jelantah (yang sudah disaring bersih) paling sedikit antara 50-60 liter per hari. Jumlah jelantah diproses dengan bahan kimia (katalis) untuk menghasilkan biodisel akan mengalami penyusutan volume sekitar 10%, dan limbah dari hasil pencampuran katalis disebut gliserol. Selanjutnya, limbah gliserol ini sebetulnya masih bisa dimanfaatkan lagi sebagai pupuk tanaman dan untuk bahan dasar sabun pencuci jika “dicuci bersih” dan dicampur dengan bahan kimia soda.

Sementara perhitungan biaya operasional untuk menghasilkan biodisel sebanyak 40-50 liter, pemakaian listrik kurang lebih Rp.5.100 dan bahan kimia katalis kurang lebih Rp.15.000, atau antara Rp.4.000 hingga Rp.5.000 per liter. Harga itu belum termasuk hitungan biaya tenaga kerja dan biaya laindalam proses produksi biodisel. Jadi, jelantah sebagai limbah rumah tangga dikumpulkan dari rumah warga tanpa dipungut biaya, dan diolah kembali sebagai biodisel dapat dijual sekitar harga Rp.6.000 per liter. Hingga saat ini kelompok masyarakat RW 3 belum menetapkan harga jual dan mau dijual harga berapa dan kepada siapa nantinya, sebab belum selesai tahapan proses perhitungan dan proses pengujian Standar Nasional Indonesia (SNI).

Kelemahan bahan bakar berbasis nabati untuk biodisel tidak bisa disimpan lama, jangka waktunya kurang lebih tiga bulan setelah itu akan mengalami perubahan kimia, dan harus mengalami proses ulang dari awal lagi. Tantangan ke depan memperkuat aspek pemasaran biodisel dan strategi pengumpulan jelantah di kalangan masyarakat lebih luas. Memperkuat kegiatan pendampingan kelompok masyarakat sebab pendekatan ini adalah model baru dan bisa diterapkan di tempat lain. ###

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *