Buleleng adalah salah satu nama kabupaten di Provinsi Bali. Siapa sangka, ternyata kata Buleleng adalah nama dari tanaman pangan sorgum atau dalam bahasa latin Sorghum bicolor (L). Tanaman sorgum saat ini jarang dijumpai di ladang-ladang petani di Buleleng. Diperkirakan, saat ini hanya ditanami oleh sekelompok petani saja di desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng
Buleleng adalah nama lokal untuk Sorgum khususnya di daerah Kabupaten Buleleng. Sementara beberapa lokasi lain di pulau Bali dikenal dengan sebutan jagung sangket, jagung gimbal. Di luar Pulau Bali, Pulau Jawa dikenal dengan sebutan cantel, sedang Pulau Flores dikenal dengan sebutan watar.
Sorgum termasuk tanaman yang tahan kering dan diperkirakan banyak ditanam di masa lampau sebagai sumber pangan. Namun belum diketahui pasti kapan awalnya tanaman sorgum itu mulai dibudidayakan daerah Bali, dan menghilang kemudian tergantikan dengan tanaman lain.
Jejak tanaman sorgum tersimpan di museum Buleleng di Singaraja Kabupaten Buleleng. Dalam naskah Babad Buleleng yang disusun oleh I Dewa Putu Arka dan Banjar Liligundi, kemudian dikutip oleh berbagai media online menguraikan tentang pembangunan Puri Buleleng.
Daerah itu lebih dikenal dengan sebutan Den Bukit, artinya daerah nun di sana di balik bukit. Ki Gusti Panji Sakti adalah pendiri kerajaan Buleleng. Pada awal tahun 1660an, Ki Gusti Panji Sakti membangun sebuah puri yang dinamakan Puri Buleleng. Karena, Puri tersebut dibangun di tengah ladang/tegalan tanaman buleleng, tidak jauh dari sungai atau tukad Buleleng. Sedang puri yang yang lebih tua, terletak di desa Sangket yang dinamai puri Sukasada.
Tidak banyak informasi mengenai asal usul tanaman buleleng alias sorgum tersebut, termasuk bagaimana masyarakat memanfaatkannya di masa lampau. Dari berbagai sumber informasi menyebutkan bahwa tanaman sorgum bukanlah tanaman endemik di Nusantara tetapi berasal dari benua Afrika. Hingga sekarang belum ada yang bisa jelaskan secara pasti latar berlakang kehadiran tanaman tersebut di Bali, namun di tanaman buleleng terlanjur melekat sebagai identitas dan simbol daerah atau kerajaan. Selanjutnya, pada masa kemerdekaan nama dan simbol tanaman buleleng tetap dipertahankan sebagai identitas dan logo Kabupaten Buleleng yang dituangkan dalam Perda Kabupaten Buleleng, tanggal 25 April 1968 Nomor : 11/DPRD-GR/PER/29.
Varietas sorgum sudah jarang dijumpai di ladang petani. Karakteristik tanaman ini diakui para peneliti memiliki keunggulan tahan iklim kering, akan tetapi dari sisi pemanfaatan untuk kebutuhan pangan di kalangan masyarakat sudah hampir tergantikan kehadiran varietas tanaman jagung dan padi. Tak heran dari luas seluruh wilayah Buleleng tanaman ini hanya tumbuh terbatas di beberapa kelompok tani saja.
Seiring dengan mulai disuarakan tanaman pangan lokal dalam sepuluh tahun terakhir tanaman sorgum mulai dibudidayakan kembali di kelompok tani. Salah satu lokasi yang ditemukan membudidayakan tanaman sorgum (jagung gembal) ini adalah Kelompok Tani Ternak Kerti Winangun, Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng (lihat http://www.polengbali.com/index.php/kabar/60-petani-buleleng-budidayakan-jagung-gembal)
Selanjutnya, menurut Ketua Kelompok Tani dan Ternak Kerti Winangun, Made Suparta di media online www.polengbali.com mengatakan, tujuan utama menanam sorgum (jagung gembal) adalah untuk penggemukan sapi peliharaan kelompoknya. “Kalau daunnya untuk sapi, tapi bijinya juga kami olah menjadi tepung. Tepungnya untuk membuat aneka jajan, dari jajan bolu sampai dodol. Kemudian batangnya diolah menjadi minuman dan gula yang memiliki khasiat bagi kesehatan”.
Varietas sorgum telah terbukti mampu lolos dari seleksi alam dan bertahan hidup berabad-abad lamanya di alam, meskipun hubungan antara tanaman ini dengan sistem sosial setempat telah hilang dari ingatan, dan baru dibangun kembali pengetahuan baru tentang pengolahan sorgum. Bagaimanapun, varitetas sorgum tetap sebagai tanaman pangan alternatif bagi kelompok tani yang tak ingin bergantung sepenuhnya pada benih tanaman industri. ### Oleh Ruddy Gustave
Saya jadi ingat deretan khas tanaman cantel di sekitar simpang Kentheng, Lendah Kulon Progo, Yogya. Tahun enam puluhan kalau saya dibonceng bapak pakai motor ducati 55cc lewat tempat itu ke Wates, seringkali saya tanya pak itu tanaman apa? Cantel katanya. Orang Kulon Progo ketika itubanyak yg mengkonsumsi canthel. Sy sudah lupa rasanya. Ternyata batangnya dapat diambil gulanya? Apakah itu yg disebut melase? Apakah canthel itu sama dengan jali?
Terima kasih atas masukannya pak Laksono, informasi dasar penting sekali
untuk melihat sistem ketahanan pangan manusia dan proses perubahan tanaman
dari biodiversiti ke sistem monokultur.
Dua tahun lalu saya baru dapat coba rasa yang disebut dengan sorgum di
flores. Sementara di bali tanaman ini sudah tidak banyak artinya lagi di
mata petani dan masyarakat kekinian, sebab sudah tergantikan dengan jagung
dan padi.
Rencana dibuatkan video cerita pendek tentang sorgum ini dari susuatu yang
pernah ada kemudian hilang dan diadakan kembali. Semoga dan berharap Pak
Laksoni bersedia menjadi narasumber, saksi hidup langkanya tanaman sorgum
di tanah jawa.
Salam lestari,
Ruddy Gustave