Oleh Ani Purwati (Kontributor untuk Berita Bumi)
Saat ini telah terjadi krisis ekologis global akibat dari berlangsungnya kapitalisme global dimana menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan industri ekstraktif yang merusak alam. Berbagai keserakahan pola konsumsi manusia dan terjadinya bencana akibat perbuatan manusia. Semua menimbulkan tekanan terhadap daya dukung dan daya lenting bumi. Akibatnya ternjadinya cuaca ekstrem, bencana alam, penyusutan pohon, hutan, air, peningkatan ozon dan emisi karbon, pandemi–penyakit zoonosis hingga kerusakan habitat dan kepunahan spesies.
Selain itu di tengah masyarakat sendiri terjadi kesenjangan sosial ekonomi. Adanya fenomena ketidakadilan atau perampasan ruang hidup dan penghidupan kelompok marjinal (gender dan interseksionalitas), ancaman terhadap keragaman budaya, pengetahuan atau kearifan lokal dan hilangnya identitas pertanian.
Demikian rangkuman dari diskusi daring dalam rangka peringatan Hari Bumi Sedunia, 22 April 2021 yang diselenggarakan AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) dengan tema “Merestorasi Alam, Mempertangguh Ekosistem, Memanusiakan Manusia.”
Selanjutnya munculnya fenomena pemusnahan pengetahuan dan budaya warga untuk beradaptasi dengan alam karena hak milik negara dialihkan ke korporasi, monopoli pengetahuan oleh negara menggerus inovasi dan menghilangkan pengetahuan atau kearifan lokal (untuk menjaga keragaman hayati, cara menyikapi alam). Selain itu karena penggusuran hak milik komunal (hutan adat/hak ulayat) sebagai situs pengetahuan lokal, pembangunan berorientasi target produksi dimana manusia jadi mesin produksi, petani tidak dapat memberikan umpan balik atas proses, jadi kambing hitam jika target tak terpenuhi (tidak menjadi subjek pengetahuan) serta rekayasa teknologi kimiawi merusak alam dan diri manusia.
Dalam diskusi interaktif ini, Nur Hidayati sebagai Direktur Eksekutif Nasional WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) menyebutkan bahwa krisis ekologis global termasuk krisis iklim telah terjadi dengan melihat data IPBES (2019) yang menunjukkan satu juta spesies telah punah dalam 50 tahun terakhir akibat aktifitas manusia. 240 juta hektar hutan alam sudah hilang dalam kurun 1990-2015. Selain itu, 85 persen lahan basah telah habis, dan 100-300 juta penduduk yang mendiami wilayah pantai terancam banjir akibat hilangnya habitat pesisir.
“Menurut UNEP (organisasi PBB di bidang lingkungan) pada 2016: 60 persen penyakit menular yang ada saat ini adalah penyakit zoonosis, yang ditengarai dipicu oleh kerusakan ekologis. COVID-19 adalah salah satu jenis penyakit zoonosis. Perubahan iklim dapat mengakibatkan peningkatan penyakit zoonosis. Selain itu menurut BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), perubahan iklim juga mengakibatkan siklon tropis di Indonesia,” lanjut Nur Hidayati.
Nur Hidayati menjelaskan bahwa kebanggaan semu pertumbuhan ekonomi (dalam hal ini ditandai dengan pertumbuhan PDB/produk domestik bruto dianggap sebagai indikator kemajuan suatu negara, sehingga sering juga menjadi tujuan politik pemerintah – Presiden bangga dan dianggap berhasil jika pertumbuhan ekonomi negara tinggi.
Padahal, pertumbuhan ekonomi tidak serta merta berarti kesejahteraan dan pemerataan bagi rakyat kebanyakan. Mengutip Oxfam (2020): 1 persen orang terkaya dunia kekayaannya setara 2 kali lipat total kekayaan 6,9 milyar penduduk bumi.
Lanjutnya, data International Resource Panel/IRP (2019) menunjukkan sejak tahun 1970 hingga 2017 eksploitasi alam meningkat lebih tiga kali lipat, dan mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem dan kesehatan masyarakat. 90persen pemusnahan keanekaragaman hayati dan tekanan terhadap ketersediaan air bersih juga diakibatkan oleh ekstraksi alam serta industri pemrosesan. Aktivitas yang sama menyumbang pada sekitar 50 persen emisi GRK (gas rumah kaca) global.
“Pertumbuhan ekonomi (GDP growth) esensinya adalah likuidasi alam. Alam dilihat sebagai sumberdaya yang habis dalam sistem produksi yang linear input –output –limbah/waste. Konsekuensinya pencemaran lingkungan hidup dan pengurasan atau deplesi SDA,” jelas Nur Hidayati.
Jatna Supriatna dari AIPI dalam presentasinya menyebutkan bahwa beberapa isu lingkungan terbesar dalam dekade saat ini adalah perubahan iklim, polusi dan kontaminasi, sumber daya air, kenaikan populasi manusia, dan keanekaragaman hayati. Data BBC (2020) juga menunjukkan selama ini pohon-pohon besar menyusut karena pemanasan global, perairan menyusut, kenaikan air laut ½ cm naik per tahun, asidifikasi laut, kematian terumbu karang karena pemanasan global, sampah B3 dan plastik, pandemi (seperti Covid 19 saat ini).
Selanjutnya Dr. Ir. Medrilzam, MPE dari Kementerian PPN/Bappenas Indonesia juga mengungkapkan bahwa sebagian besar Pemerintah ingin mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Namun pendekatan pembangunan yang tidak berkelanjutan telah memberikan tekanan yang kuat pada daya dukung alam dan menciptakan eksternalitas negatif. Stok sumberdaya alam terus menurun dan kualitas lingkungan menurun secara signifikan. Daya dukung alam telah menurun secara signifikan.
Bappenas berperan dalam mengembangkan kebijakan dan inovasi dalam pembangunan lintas sektor serta berperan dalam menciptakan analisa kebijakan berdasarkan fakta untuk perencanaan pembangunan nasional. Bappenas juga berperan sebagai clearing house untuk merumuskan kebijakan nasional dan memastikan pencapaian sasaran pembangunan nasional melalui koordinasi lintas sektoral dan kelembagaan.
Berkaitan dengan perubahan iklim, Dengan berpegang pada INDC (Intended Nationally Determined Contribution), Bappenas merekomendasikan kebijakan dengan skenario net zero emission. Berdasarkan perhitungan, pada tahun 2030 Indonesia dapat menurunkan emisi GRK sebesar 29%. Hasil ini telah disampaikan dalam Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim.
Sigit Reliantoro dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyampaikan terkait sasaran strategis Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) adalah tercapainya target IKLH sebesar 68,96 di tahun 2021; 69,22 di tahun 2022; 69,48 di tahun 2023; dan 69,74 di tahun 2024. “Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) merupakan indeks kinerja pengelolaan lingkungan hidup, yang dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam mendukung proses pengambilan kebijakan berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” lanjutnya.
IKLH nasional merupakan generalisasi dari Indeks Kualitas Lingkungan Hidup seluruh provinsi di Indonesia, dimana IKLH Provinsi merupakan indeks kinerja pengelolaan lingkungan hidup terukur dari IKLH seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut. Indikator yang digunakan untuk menghitung nilai IKLH terdiri atas 3 indikator yaitu indeks kualitas air (IKA), indeks kualitas udara (IKU) dan indeks kualitas tutupan lahan (IKTL).
Perubahan Menuju Paradigma Ekologis
Di akhir acara, AIPI membuat rangkuman atas diskusi yang berlangsung:
- Dari berbagai krisis ekologis global yang terjadi, disadari pentingnya perubahan menuju paradigma ekologis. Yaitu dari ego ke eko (eco) : dari anthropocentric ke ecology-centric; dari eksploitasi alam ke pengayaan sumberdaya alam; menuju pendekatan planetary boundaries (berdasar daya dukung/lenting bumi); dari ekonomi kapitalistik ke doughnut economics (model ekonomi yang memperhitungkan elemen lain seperti pondasi sosial dan limitasi ekologi, selain pertumbuhan ekonomi itu sendiri); dari pertumbuhan ke wellbeing; dari perekonomian linear ke perekonomian sirkular; reformasi agraria, redistribusi sesuai keragaman model penghidupan warga; dari konservasi untuk konservasi ke pemanfaatan sumberdaya alam oleh komunitas; dari rekayasa teknologi kimiawi ke rekayasa ekologis yang alami dan manusiawi; dari Petani/Rakyat sebagai objek menjadi Petani/Rakyat sebagai subjek yang mengembangkan pengetahuan dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan; teologi baru yang lebih ramah lingkungan (maskulin ke feminin).
- Melalui berbagai kegiatan pemberdayaan komunitas, seperti model Program Sekolah Perternakan Rakyat: membangun perspektif ilmiah, memanfaatkan IPTEK dan dengan metode pembelajaran partisipatif, gagasan alternatif baru yang kontekstual yang akhirnya bisa menghasilkan komunitas tangguh penjaga alam.
- Selanjutnya perlunya merancang keseimbangan alam baru dengan teknologi dan pengetahuan ekologis yaitu riset bio-etnologi: right base development; Teknologi pengayaan sumberdaya alam; “Do it yourself” (ilmu warga) guna pembudidayaan sumberdaya alam; inovasi berbasis eko-sistem digital untuk pengayaan sumberdaya alam; introduksi teknologi & komponen biota; Sistem sosio-ekologi untuk meruwat dunia; Pendekatan multi-inter-trans disiplin untuk merestorasi Alam, Mempertangguh Ekosistem, Memanusiakan Manusia.(*)