Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Hanya Keinginan Politik Yang Dapat Mengakhiri Kelaparan

Makanan tidak langka, tetapi banyak orang tidak dapat mengaksesnya, demikian pendapat para pakar pangan berkelanjutan yang tergabung dalam lembaga internasional IPES – FOOD, atau International Panel Ahli Sistem Pangan Berkelanjutan, sebuah kelompok pemikir dan ahli global yang memandu tindakan untuk sistem pangan berkelanjutan di seluruh dunia. Artikel ini ditulis oleh Jennifer Clapp, Profesor dan Ketua Penelitian Kanada di bidang Ketahanan dan Keberlanjutan Pangan Global, serta Anggota Panel Ahli Internasional untuk Sistem Pangan Berkelanjutan, di Universitas Waterloo. Artikel ini dipublikasi pertama di web The Conversation dan kemudian dipublish di web IPES FOOD. Kami bermaksud mengalihbahasakan untuk  pembaca berita bumi di Nusantara supaya bisa mengikuti dan mengerti persoalan politik dan kebijakan ketahanan pangan global yang sarat dengan kepentingan industri dan pemodal.  

Sejarah telah menunjukkan kepada kita berulang kali bahwa, selama ketidaksetaraan tidak terkendali, tidak ada teknologi yang dapat memastikan bahwa masyarakat dapat makan dengan baik. 

Saat ini, dunia memproduksi lebih banyak makanan per orang daripada sebelumnya. Namun, kelaparan dan kekurangan gizi masih terjadi di setiap sudut dunia – bahkan, dan semakin meningkat, di beberapa negara terkaya sekalipun.

Pemicu utama kerawanan pangan sudah sangat dikenal: konflik, kemiskinan, ketidaksetaraan, guncangan ekonomi, dan perubahan iklim yang meningkat. Dengan kata lain, penyebab kelaparan pada dasarnya bersifat politis dan ekonomi.

Urgensi dari krisis kelaparan telah mendorong 150 pemenang Nobel dan World Food Prize untuk menyerukan inovasi teknologi dan pertanian yang “luar biasa” untuk meningkatkan produksi pangan, yang berarti upaya yang monumental dan luhur. Namun, mereka sebagian besar mengabaikan akar penyebab kelaparan – dan kebutuhan untuk menghadapi entitas yang berkuasa dan membuat pilihan politik yang berani.

Makanan salah dialokasikan

Memfokuskan diri secara eksklusif pada promosi teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan sama saja dengan mengulangi kesalahan di masa lalu. 

Revolusi Hijau pada tahun 1960an-70an membawa kemajuan yang mengesankan dalam hasil panen, meskipun dengan biaya lingkungan yang cukup besar. Revolusi ini gagal menghapuskan kelaparan, karena tidak mengatasi ketidaksetaraan. Ambil contoh Iowa, yang merupakan rumah bagi beberapa produksi makanan paling industri di planet ini. Di tengah pertanian jagung dan kedelai berteknologi tinggi, 11 persen penduduk negara bagian ini, dan satu dari enam anak-anaknya, berjuang untuk mendapatkan akses pangan.

Meskipun dunia sudah memproduksi lebih dari cukup makanan untuk memberi makan semua orang, namun sayangnya makanan tersebut tidak dialokasikan dengan baik. Menjual makanan kepada orang miskin dengan harga terjangkau tidaklah menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan makanan raksasa.

Mereka menghasilkan lebih banyak uang dengan mengekspornya untuk pakan ternak, mencampurkannya ke dalam bahan bakar nabati untuk mobil, atau mengubahnya menjadi produk industri dan makanan olahan. Lebih buruk lagi, sepertiga dari semua makanan terbuang begitu saja.

Sementara itu, seperti yang diingatkan oleh para pemenang, lebih dari 700 juta orang – sembilan persen dari populasi dunia – masih mengalami kekurangan gizi kronis. Sebanyak 2,3 miliar orang – lebih dari satu dari empat orang – tidak dapat mengakses makanan yang memadai.

Menghadapi ketidakadilan

Langkah-langkah untuk mengatasi kelaparan di dunia harus dimulai dari penyebabnya yang telah diketahui dan kebijakan yang telah terbukti. Program Tanpa Kelaparan di Brasil, misalnya, telah berhasil menurunkan angka kelaparan parah secara dramatis sebesar 85 persen hanya dalam waktu 18 bulan melalui bantuan keuangan, program makanan di sekolah, dan kebijakan upah minimum.

Para politisi kita harus menghadapi dan membalikkan ketidakadilan yang besar dalam hal kekayaan, kekuasaan, dan akses terhadap tanah. Kelaparan secara tidak proporsional mempengaruhi orang-orang yang paling miskin dan paling terpinggirkan, bukan karena makanan langka, tetapi karena orang tidak mampu membelinya atau tidak memiliki sumber daya untuk memproduksinya sendiri. Kebijakan redistribusi bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan.

Pemerintah harus menghentikan penggunaan kelaparan sebagai senjata perang. Titik-titik kelaparan terburuk adalah daerah konflik, seperti yang terlihat di Gaza dan Sudan, di mana kekerasan menyebabkan kelaparan. Terlalu banyak pemerintah yang melihat ke arah lain dalam taktik kelaparan – mempromosikan bantuan darurat untuk mengatasi masalah ini alih-alih mengambil tindakan untuk mengakhiri konflik yang menyebabkan kelaparan.

Kebijakan antimonopoli dan persaingan yang lebih kuat sangat penting untuk mengekang konsentrasi perusahaan yang ekstrem dalam rantai pangan global – mulai dari benih dan bahan kimia pertanian hingga perdagangan biji-bijian, pengemasan daging, dan ritel – yang memungkinkan perusahaan menetapkan harga dan menggunakan pengaruh politik yang sangat besar.

Jebakan ketergantungan

Pemerintah juga harus mematahkan cengkeraman aturan perdagangan yang tidak adil dan pola ekspor yang menjebak daerah-daerah termiskin dalam ketergantungan pada impor pangan, sehingga membuat mereka rentan terhadap guncangan.

Sebaliknya, mendukung pasar lokal dan teritorial sangat penting dalam membantu membangun ketahanan terhadap gangguan ekonomi dan rantai pasokan. Pasar-pasar ini menyediakan mata pencaharian dan membantu memastikan makanan yang beragam dan bergizi menjangkau mereka yang membutuhkannya.

Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim membutuhkan investasi besar-besaran dalam pendekatan transformatif yang mendorong ketahanan dan keberlanjutan sistem pangan.

Agroekologi – sistem pertanian yang menerapkan prinsip-prinsip ekologi untuk memastikan keberlanjutan dan mendorong kesetaraan sosial dalam sistem pangan – adalah solusi utama, terbukti menyerap karbon, membangun ketahanan terhadap guncangan iklim, dan mengurangi ketergantungan pada pupuk dan pestisida sintetis yang mahal dan merusak lingkungan.

Lebih banyak penelitian harus dilakukan untuk mengeksplorasi potensi agroekologi secara penuh. Dan kita harus mengadopsi pola makan yang kaya akan tanaman, makanan lokal dan musiman, meningkatkan langkah-langkah untuk mengatasi limbah makanan dan mempertimbangkan kembali penggunaan tanaman pangan untuk bahan bakar nabati.

Hal ini berarti menolak lobi-lobi Big Meat dan biofuel, sembari berinvestasi pada sistem pangan yang tahan iklim.

Diperlukan tindakan politik yang berani

Ini bukan berarti bahwa teknologi tidak memiliki peran – semua pihak harus terlibat. Namun, inovasi yang paling layak dikejar adalah inovasi yang benar-benar mendukung sistem pangan yang lebih adil dan berkelanjutan, dan bukannya keuntungan perusahaan. Kecuali jika upaya ilmiah diimbangi dengan kebijakan yang melawan kekuasaan dan memprioritaskan kesetaraan daripada keuntungan, maka kelaparan akan terus berlanjut.

Solusi untuk mengatasi kelaparan bukanlah hal yang baru dan tidak sulit. Yang kurang adalah keinginan politik (political will) untuk mengatasi akar penyebabnya.

Pesan ini disampaikan oleh rekan-rekan saya di International Panel of Experts on Sustainable Food Systems, IPES-Food, yang pekerjaannya mencakup berbagai keahlian dan pengalaman. Kelaparan terus terjadi karena kita membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Jika kita serius ingin mengakhirinya, kita membutuhkan tindakan politik yang berani, bukan hanya terobosan ilmiah. (BB)

Sumber: https://ipes-food.org/only-politics-can-end-world-hunger/

https://theconversation.com/only-political-will-can-end-world-hunger-food-isnt-scarce-but-many-people-cant-access-it-248736 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *