Pemenuhan tiga hak dasar masyarakat terkait informasi, partisipasi dan keadilan dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia belum terwujud. Temuan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menunjukkan bahwa lima provinsi di Indonesia secara normatif jaminan hak sudah ada tapi pelaksanaannya belum menunjukkan keberpihakannya terhadap lingkungan dan masyarakat korban.
Demikian disampaikan Rino Subagyo sebagai Direktur Eksekutif ICEL saat diskusi dengan wartawan di kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), Jakarta (3/4).
“Karena semua masih bersifat umum, belum detail dan belum ada pengaturannya,” jelas Rino.
Catatan awal 2008, ICEL melihat ada 3 faktor yang turut mewarnai kemerosotan jaminan hukum terhadap lingkungan dan masyarakat selama tahun 2007, yaitu: pertama, faktor kebijakan. Sejumlah kebijakan yang lahir selama tahun 2007 seperti Undang-undang (UU) Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No.26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, UU No.30 tahun 2007 tentang Energi, UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, ternyata tidak memiliki kemampuan untuk didayagunakan sebagai instrumen dalam melakukan pencegahan, perlindungan daya dukung lingkungan dan sumber daya alam bahkan berkecenderungan lebih memfasilitasi proses ekploitasi sumber daya alam.
Fakta bencana lingkungan yang terjadi selama kurun waktu 2006-2007 yang mencapai lebih dari 37 bencana lingkungan, semakin menunjukkan bahwa produk hukum yang ada belum bisa mengakomodir persoalan tersebut.
Kedua peran peradilan. Putusan peradilan yang membebaskan pelaku kerusakan lingkungan menunjukkan bahwa pengadilan sebagai ujung tombak penegakan hukum, ternyata tidak sensitif terhadap krisis lingkungan dan rasa keadilan masyarakat dan masih terlalu mengedepankan kebenaran formal dan prosedural dibandingkan dengan penggalian keadilan substansial.
Ketiga perjanjian Internasional dalam rangka perlindungan lingkungan maupun perdagangan dimana Indonesia terlibat belum dioptimalkan untuk menyelamatkan kondisi lingkungan serta menjamin agar masyarakat tidak dirugikan.
Menurutnya dalam konteks Indonesia, mewujudkan tata kelola yang baik secara konsisten memerlukan perombakan serta pembenahan tatanan sosial, politik dan hukum. Pembenahan yang harus dilakukan antara lain pengadaan jaminan hukum dan pengaktualisasian akses informasi, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan serta akses terhadap keadilan untuk mewujudkan perimbangan kekuatan antara elemen negara (state), sektor swasta (private sector) dan masyarakat madani (civil society).
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menghendaki adanya pengelolaan sumberdaya yang berkeadilan, baik secara ekonomi, sosial maupun lingkungan bagi generasi saat ini maupun generasi yang akan datang. Untuk mewujudkan keadilan intra dan inter generasi ini, pembangunan berkelanjutan berbasiskan tata kelola lingkungan yang baik (Good Sustainable Development Governance) menjadi sangat mutlak.
Prinsip ke-10 Rio Declaration 1992 yang ditandatangani 178 pemerintah termasuk Indonesia, memandatkan negara untuk memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, berpartisipasi dan mendapatkan keadilan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Hak atas akses informasi pada intinya setiap orang berhak memperoleh informasi yang utuh, akurat dan mutakhir untuk berbagai tujuan. Akses terhadap informasi dibagi dua tipe yaitu hak masyarakat mendapatkan informasi dan pejabat publik berkewajiban menyediakan informasi tanpa harus didahului adanya permintaan dari masyarakat (akses informasi secara pasti), hak masyarakat untuk menerima informasi dan pejabat publik berkewajiban menyediakan dan memberikan informasi apabila ada permintaan dari masyarakat (akses informasi secara aktif).
Hak akses keadilan merupakan akses untuk memperkuat hak akses informasi maupun hak akses partisipasi. Keadilan adalah hak masyarakat untuk meminta ganti rugi atau biaya pemulihan apabila hak mereka untuk mendapatkan informasi, untuk berpartisipasi dan untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehata dilanggar.
Akses partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan pilar demokrasi yang menekankan pada jaminan hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi dalam pengambilan keputusan ini dibagi dalam tiga bagian, yaitu berpartisipasi dalam penetapan kebijakan, rencana dan program pembangunan, berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pada suatu kegiatan tertentu sesuai kepentingannya.
Jaminan Hukum
Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat sesungguhnya telah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 H. Sedangkan hak atas informasi dan mengeluarkan pendapat sebagai bentuk berpartisipasi secara tegas diatur dalam pasal 28F dan 28C ayat (3). Hak atas keadilan juga telah dijamin dalam pasal 28C ayat (2).
UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, berpartisipasi dan mendapatkan keadilan. UU ini mengaitkan hak atas informasi dalam pasal 5 ayat (2) dengan hak setiap orang atas lingkungan yang baik dan sehat dalam pasal 5 ayat (1) dan hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam pasal 6 ayat (1).
Akses masyarakat dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan yaitu pertama di luar pengadilan meliputi sukarela, non pidana, tidak terbatas pada ganti kerugian, jasa pihak ketiga dan lembaga penyedia, kedua di dalam pengadilan meliputi class action, legal standing NGO, gugatan perdata biasa, strict liability dan hak gugat instansi pemerintah.
Dalam penegakan hukum lingkungan yang efektif tersebut menurut Rino memiliki kendala seperti perbedaan persepsi dan rendahnya koordinasi di antara aparat penegak hukum terkait, lemahnya pengetahuan teknis dan integritas aparat penegak hukum (judicial corruption), keterbatasan kapasitas budget dan ketiadaan akses informasi dan partisipasi yang menyebabkan kontrol eksternal menjadi tidak efektif.
Stagnasi
Bambang Prabowo sebagai ahli hukum Universitas Indonesia juga menyatakan bahwa penegakan hukum lingkungan saat ini berada pada posisi stagnasi yang berkelamaan, buruknya implementasi dari aturan yang diterbitkan, serta hanya sekedar mengutamakan instrument command and control.
Penegakan hukum lingkungan hanya sebagai tools yang bertujuan akhir sebuah compliance. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada hanya kaya akan jumlah namun miskin dengan penataan.
Lebih lanjut menurut Prabowo, dalam penegakan hukum lingkungan perlu adanya rekonstruksi kembali terhadap perumusan regulasi yang applicable, perlu adanya kesinambungan antara upaya preventif, pre emptive dan represif. Juga perlu adanya pemahaman scientific evidence oleh aparat penegak hukum.
Sementara itu Ilyas Assaad, Deputi Penegakan Hukum Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) menyatakan bahwa dalam penegakan hukum lingkungan hidup, KNLH mengarah pada pro investasi, yaitu tidak akan membiarkan pelaku-pelaku pencemar dan perusak lingkungan hidup sehingga akan menghambat investasi selanjutnya. Namun dia mengakui bahwa seharusnya lebih banyak kasus yang bisa diselesaikan. Selama 2008 ada 68 kasus yang ditangani dengan putusan 4 kasus.
Menurutnya, rencana nyata dalam penyelesaian masalah pelanggaran hukum lingkungan selanjutnya meliputi membangun sistem penataan, mengangkat kasus-kasus tertentu di tingkat KNLH sementara kasus yang lain di daerah serta peningkatan kapasitas dari aparat penegak hukum terkait.
Oleh: Ani Purwati