Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Ekonomi Rendah Karbon Dapat Stabilisasi Emisi Gas Rumah Kaca

Ani Purwati – 13 Apr 2010

Ekonomi rendah karbon dapat membantu menstabilisasi emisi gas rumah kaca pada 450 ppm CO2e dengan suhu kurang dari 2o Celcius. Untuk mencapainya, Pemerintah Indonesia menyediakan pendanaan dalam upaya mewujudkan teknologi produksi dan gaya hidup masyarakat untuk mengurangi emisi.

“Pemerintah mendorong investor melakukan eksplorasi dan pengembangan teknologi ramah lingkungan. Di antaranya dalam menghasilkan energi terbarukan,” kata Singgih Riphat, Staf Kebijakan Fiskal dari Kementerian Keuangan di sela-sela Konferensi umat Muslim untuk Perubahan Iklim di Bogor (10/4).

Untuk meningkatkan pengembangan teknologi ramah lingkungan, Pemerintah bersedia menanggung risiko eksplorasi. Dimana risiko ini yang membuat investor mengurungkan niatnya mengembangkan teknologi ramah lingkungan yang mahal ini. Sementara itu keberhasilan pengembangannya kecil.

“Pemerintah ingin menunjang proyek ini. Saat ini sedang menganalisa apa yang bisa dibantu dalam pengembangan teknologi ramah lingkungan ini,” jelas Riphat.

Proyek ini tergantung dari permintaan investor dan masyarakat. Misalnya proyek panas bumi atau geothermal, Pemerintah sudah menyiapkan Permen Keuangan. Pemerintah membebaskan peralatan proyek geothermal yang masuk ke Indonesia dengan menanggung PPNnya.

Pemerintah menyediakan dana guna menanggung pajak terkait program yang menghasilkan teknologi untuk mencegah perubahan iklim. Seperti PPH panas bumi sebesar 624 milyar, PPH bahan nabati 100 milyar, dan PPN adaptasi dan mitigasi 500 milyar.

Menurut Pemerintah, di Indonesia mempunyai cadangan panas bumi yang besar di dunia. Yaitu mencapai sekitar 29,7 Gwatt. Riphat mengatakan, bila ini dimanfaatkan maka tidak ada wilayah yang gelap lagi dan emisi dari pemanfaatan energi bisa berkurang.

Menurut Amanda Katili, Koordinator Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), dalam menangani perubahan iklim, diperlukan pendekatan holistik, kerjasama berbagai pihak seperti pemerintah, lembaga dan individu. Untuk menurunkan konsentrasi karbon yang tinggi juga memerlukan penanganan dalam pertumbuhan ekonomi dan mitigasi CO2.

Emisi Indonesia diperkirakan meningkat dari 1.72 menjadi 2.95 GtCO2e pada 2000 hingga 2020. Dengan perkiraan karbondioksida dari penggunaan energi meningkat lebih tinggi hampir 1 Gt CO2e pada 2020 dari sekitar 0.3 GtCO2e pada 2005. Sementara yang berasal dari hutan, lahan, sampah, pertanian dan energi hampir sama tingkatnya hingga 2020.

Untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca 26 persen, Pemerintah telah menyusun RAN-GRK dan RAD-GRK. Sebagai negara dengan tutupan hutan mencapai 70 persen kawasan hutan dimana 37 persennya mengalami penurunan dengan berbagai tingkatan, bahkan pada 2000-2005 hutan hilang sekitar 1 juta hektar per tahun, Indonesia mempunyai peran besar dalam mencegah perubahan iklim. Dengan menjaga hutannya dari kerusakan, Indonesia akan mampu mengurangi dan menyerap gas rumah kaca. Saat ini aktifitas pengurangan emisi dari kerusakan dan penurunan hutan (REDD) secara sukarela telah berlangsung di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya.

Selain dengan menjaga hutan dari kerusakan, Indonesia juga mengambil langkah pengurangan emisi gas rumah kaca dengan pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy) dengan target mencapai 17 persen. Terdiri dari biofuels 5 persen, geothermal 5 persen, biomassa, nuklear, air, surya, angin 5 persen, dan lainnya 2 persen.

Upaya penurangan karbondioksida yang sedang berlangsung saat ini dan berpotensi tercapai pada 2015 di antaranya bangunan dan perlengkapan efisiensi energi elektrik (8 Mt), small hydro (6 Mt), pengelolaan nutrisi tanaman (3 Mt), pengelolaan tanaman padi dari banjir (20 Mt), pengelolaan tanaman padi dari nutrisi (4 Mt), penanaman hutan kembali (99 Mt).

 

Berita Terkait: http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0263&ikey=1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *