Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Diversivikasi Pangan, Penuhi Gizi yang Seimbang

Ani Purwati – 17 Nov 2008

Permintaan pangan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat dan perubahan selera konsumsi. Berbagai masalah seperti bencana alam, perubahan cuaca akibat perubahan iklim, berkurangnya luas lahan pertanian, peningkatan harga produksi, akan semakin menekan ketahanan pangan.

Sementara itu ketergantungan pada salah satu produk pangan seperti beras dan gandum yang tinggi di Indonesia juga dapat mengancam ketahanan pangan. Padahal begitu banyak produk pangan yang berfungsi sama seperti singkong, sagu, jagung, talas, sukun, ganyong, dan umbian-umbian. Untuk itu perlu adanya diversifikasi konsumsi pangan pada produk yang bernilai gizi sama namun belum termanfaatkan secara optimal.

Menurut Made Astawan dan Endang Prangdimurti dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dalam salah satu konferensi nasional di Jakarta (13-14 November lalu), diversivikasi pangan juga penting untuk memenuhi gizi secara lengkap atau saling melengkapi gizi, karena tidak ada satu pun bahan pangan tunggal yang mengandung semua unsur gizi secara lengkap dan memadai, kecuali ASI (hingga bayi 6 bln).

Beberapa unsur gizi yang diperlukan tubuh manusia adalah karbohidrat yang dapat diperoleh dari beras, jagung, umbi-umbian, gula; protein yang diperoleh dari kacang-kacangan, tahu tempe, ikan, daging, unggas, susu, telur; lemak yang diperoleh dari minyak, lemak, santan, krim; vitamin yang diperoleh dari sayur dan buah; mineral dari sayur dan buah; lalu yang diperlukan tubuh adalah air.

Untuk mencapai status gizi yang baik, konsumsi pangan harus beragam, bergizi seimbang dan aman. Bergizi seimbang akan tergantung pada kebutuhan tubuh dan dalam jumlah yang cukup (tidak kurang dan tidak berlebih). Karena asupan gizi yang kurang ataupun berlebih akan menyebabkan penyakit (gizi kurang dan gizi lebih).

Masalah kurang gizi di Indonesia adalah kekurangan energi dan protein (KEP), kekurangan vitamin A (KVA), anemia zat gizi besi (AGB), dan gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). Sedangkan gizi lebih adalah obesitas, hipertensi, dislipidemia, dan diabetes mellitus.

Tidak Perlu Mahal

Untuk mendapat makanan yang bergizi, menurut Tuti Soenardi sebagai ahli gizi kuliner di saat yang sama, tidak harus membayar dengan mahal, makanan yang murah pun bisa disusun untuk mencapai gizi yang seimbang, namun perlu pemikiran praktis untuk memenuhinya dan faktor ekonomi tetap berpengaruh.

Dia mencontohkan, jika ada sedikit pekarangan sebaiknya ditanami sayuran yang bermanfaat, untuk sumber protein pilihlah yang murah seperti kacang-kacangan dan hasilnya juga dari hewani yang murah seperti ikan, telur dan sebagainya tergantung pada upaya cerdiknya pelaku makanan dalam rumah tangga.

Sebaiknya juga mengkonsumsi makanan tradisional yang lebih sehat daripada makanan modern, karena kandungan lemak yang rendah dibanding dengan makanan modern dan tidak mengandung food additive.

“Namun kita memang tidak bisa membendung makanan global yang beredar sekarang, hanya perlu berhati-hati dalam memilih dan tidak menjadikannya sebagai pola kebiasaan makan,” kata Tuti Soenardi.

Dengan membanjirnya makanan global ini, Tuti berharap adanya peningkatan pasar pangan tradisional sehingga banyak pilihan makanan tradisional dalam menganekaragamkan menu lokal. Sebaiknya aneka masakan dari berbagai daerah harus hadir di berbagai daerah sehingga dapat ditemui di setiap daerah. Dengan demikian bahan bakunya akan diproduksi dari berbagai daerah pula.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *