Oleh: Ruddy Gustave, Peneliti KONPHALINDO
Pangan adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, setiap suku di wilayah Nusantara memiliki dan menyimpan beragam pengalaman panjang mengenai tata kelola pangannya. Kenyataannya semakin sulit kita bisa menjumpai suku-suku dan kelompok masyarakat yang masih mempraktekkan secara utuh tata kelola pangannya. Alasannya, mereka telah kehilangan sebagian pengetahuannya tentang sumber daya benih, dan rata-rata benih pangan yang ada ditangan mereka adalah produk industri.
Jagung misalnya, pengalaman sejumlah petani menjelaskan, mereka sering mendapat tawaran benih jagung hibrida beserta cerita keunggulannya. Bahkan tawaran benih gratis untuk ditanam. Tapi sekelompok petani di kabupaten Adonara Barat punya pandangan berbeda. Dalam diskusi tentang Melacak Benih Jagung Transgenik yang diadakan di Desa Panjinian, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), para petani tersebut lebih menyukai jenis lokal.
Dalam diskusi yang diadakan pada tanggal 4 Oktober 2014, para petani menyebutkan beberapa alasan. Biji jagung hibrida kurang bagus untuk diolah menjadi panganan “jagung titi” yaitu pangan lokal, semacam emping jagung, dimana biji jagung dipipihkan sampai tipis. Biji jagung hibrida itu mudah hancur saat dipipihkan, berbeda dengan jagung lokal bijinya lebih keras sehingga waktu ditumbuk hasilnya masih berbentuk pipih, demikian penjelasan Imelda Jawaliwun, ketua Kelompok Petani Perempuan “Tonu Wujo” – Tanjung Bunga, Flores Timur.
Maria Loretha, Kordinator Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) Aliansi Petani Indonesia (API) menambahkan, benih jagung hibrida dibagikan secara cuma-cuma oleh pemerintah kepada para petani setempat. Tetapi hanya satu musim saja mereka tanam jagung hibrida tersebut, tahun berikutnya mereka sudah tinggalkan benih jagung hibrida dan kembali ke benih jagung lokal.
Benih jagung lokal ditangan para petani sekarang itu mungkin juga bukan benih jagung asli daerah setempat, namun karena ketiadaan informasi mengenai asal-usulnya maka dianggap sebagai benih jagung lokal sesuai dengan perkembangan sosial-budayanya.
Jagung lokal di daerah ini ada dua jenis yaitu, jagung puluk (warna putih) dan jagung kretek (warna kuning). Dan, setelah dicocokan secara singkat ternyata jagung kretek memiliki kesamaan bentuk dan nama dengan jagung kretek yang ada di tangan kelompok tani di daerah Sampang, Pulau Madura.
Donatus Lamablawa, mantan Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengakui bahwa jagung “kretek” tersebut pertama kali diperkenalkan kepada para petani Flores sekitar tahun 1976. Jagung Kretek tersebut berasal dari Jawa Timur. Sementara benih sorgum itu masuk ke wilayah ini tahun 1973 dibawa dari daerah Trenggalek, Provinsi Jawa Timur. Selanjutnya dijelaskan Donatus, benih jagung hibrid itu masuk ke daerah sini pada era Bimas (Bimbingan Masyarakat). Pengalamannya pada waktu itu jagung hibrid ini hanya bertahan satu tahun dan musim tanam tahun berikutnya gagal.
Menurut Donatus masyarakat atau suku Lamaholot yang mendiami daerah Tanjung Bunga – Larantuka (Flores Timur), Pulau Adonara, Pulau Solor dan Pulau Lembata mempunyai pola makan yang sulit tergantikan yaitu jagung titi, jadi teknologi benih apa pun yang diperkenalkan kepada mereka tetap akan kembali ke pola makanan jagung titi tersebut.
Peran Utama Perempuan
Beragam benih pangan yang dimiliki orang Lamaholot belum seluruhnya berhasil terdata dengan baik namun keberadaannya sudah mulai dirasakan sulit ditemukan di ladang, karena tergantikan benih unggul hasil pabrikan. Dan, persoalan keberadaan benih pangan lokal ini menggugah beberapa tokoh Lamaholot berbicara tentang nasib benih pangan dan budaya taninya.
Menurut Donatus, benih pangan di sini tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan kaum perempuan. Donaatus mencontohkan orang Lamaholot yang mendiami Tanjung Bunga atau daerah Flores Timur. Menurut cerita lokal, orang Lamaholot meninggikan status perempuan karena kehidupan itu bersumber pada perempuan, perempuan memberikan kesuburan dan memberikan kehidupan.
Legenda Lamaholot meyakini bahwa sumber benih pangan kelompok mereka berasal dari tubuh perempuan. Sampai sekarang mereka pun meyakni bahwa sumber pangan berawal dari kisah satu keluarga. Legenda dari Lamaholot berkisah pada suatu masa terjadi kelaparan hebat. Pada saat itu makanan utamanya adalah umbi-umbian, biji-bijian dari tanaman legum. Kemudian, ada satu keluarga yang terdiri dari tujuh laki-laki dan satu perempuan. Mereka meyakini, harus ada yang dikorbankan. Kemudian, sang perempuan mengiklhaskan dirinya untuk dikorbankan dan bagian tubuhnya menjadi tanaman yang dimakan sampai hari ini.
Menurut Donatus, ini adalah cerita masa lampau orang Lamaholot yang sampai hari ini tetap diyakini bahwa segala macam benih yang dibicarakan hari ini berasal dari bagian tubuhnya “tonu wujo” atau “logohulu umahini”. Ketika tubuhnya dia dipotong, dipenggal oleh saudara laki yang paling bungsu, Kasarua. Lalu hatinya ini tumbuh menjadi padi, perutnya ini tumbuh menjadi labu, giginya tumbuh menjadi jagung, dan seluruh anggota tubuhnya itu dicincang disebar lalu tumbuhlah begitu banyak tanaman. Usus halusnya menjadi jewawut dan sebagiannya menjadi sorgum. Jadi inilah bagian dari tubuh “tonu wujo” atau “logohulu umahini” yang masih sampai hari ini diyakini oleh masyarakat tani Lamaholot. Karena itulah, mulai dari musim pembukaan ladang sampai kegiatan panen membutuhkan proses waktu yang panjang, keterlibatan warga satu kampung dan khususnya perempuan dalam melaksanakan ritual-ritual menghasilkan budaya tani setempat.
Pergeseran
Budaya tani pada masa lampau tentu tidak lagi sama persis dengan yang dipraktekkan saat ini, dari aspek kepercayaan dan keyakinan sudah mengalami pergeseran. Yang masih tersimpan hanya cerita mitos serta kumpulan material di alam. Pergeseran peran perempuan dalam pengelolaan benih pangan dan tanaman secara langsung (struktural) dan tidak langsung, telah tergeser, seiring dengan diperkenalkan “pertanian ilmiah”.
Bagaimanapun, masih terbatas kajian-kajian mengenai proses perubahan sosial-budaya tani khususnya peran perempuan dan benih pangan setempat. Padahal banyak rahasia dan pengetahuan yang tersimpan dalam praktek budaya tani tersebut yang belum terungkap dan dijelaskan dengan baik tapi sudah terlanjur pupus dari pengetahuan tani setempat. Tergantikan dengan model pertanian baru yang tidak lebih baik, bahkan lebih merusak, mengabaikan peran perempuan dan budaya lokal.
Suka atau tidak suka ketika berbicara pada tataran pemikiran maka secara jujur harus mengatakan kita tidak memiliki landasan pemikiran mengenai ekologis setempat, sehingga kita harus meminjam pemikiran para ilmuwan ‘luar’ guna membantu menjelaskan masalah keberlanjutan dan sumber daya alam setempat. Misalnya, ilmuwan ahli fisika dan biokimia bernama Vandana Shiva, dia menulis Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India yang telah dipublikasi pada tahun 1988.
Seakan ada kesamaan namun kenyataannya berbeda suku dan terpisah oleh waktu serta jarak, bahwa alam dan perempuan sebagai penghasil kehidupan. Namun dalam pertanian modern yang sarat dengan pendekatan ilmiah, menurut Vandana Shiva pertanian ilmiah itu dapat dilihat secara politik dan ekonomi bahwa setiap proyek yang telah menghancurkan alam dan menggusur kaum perempuan dari pekerjaan yang produktif disahkan sebagai ‘ilmiah’ dengan mengoperasikan konsep-konsep reduksionis guna mewujudkan keseragaman, sentralisasi dan pengendalian.
Masalah Teknik Penyimpanan
Menurut Donatos, di masa lalu semua orang menyimpan benih, kalau dia tidak simpan benih, namanya bukan petani. Namun, biasanya benih pangan yang tersimpan adalah benih yang sering digunakan setiap musim tanam saja. Sedang benih pangan yang sudah jarang ditanam lagi tidak tersimpan dengan baik. Alasannya, keterbatasan teknik penyimpanan benih pangan supaya tidak rusak meski disimpan dalam jangka waktu yang lama.
Dalam diskusi, terungkap masalah teknik penyimpangan benih pangan setempat masih menggunakan cara sederhana dan relatif belum menemukan teknik penyimpangan benih yang bisa bertahan sampai berpuluh tahun lamanya. Beberapa teknik penyimpangan benih yang berhasil diidentifikasi selama kegiatan diskusi antara lain ada yang menyimpan benih pangan dalam karung. Ada juga yang menyimpan dalam daru (bambu) kemudian ditutup rapat.
Cara simpan yang paling bagus untuk benih jagung dan kacang-kacangan, kulit jagung dibakar kemudian diambil abunya dan dicampur dengan benih jagung lalu disimpan dalam soka (kantong yang dianyam dari bambu biasa dipakai simpan garam). Menurut Donatus itu sangat aman dan tidak akan kena hama yang membuatnya menjadi bubuk.
Kemudian, ada yang mencoba menyimpan benih pangan itu menggunakan daun pohon nimba. Daun pohon nimba ini pahit rasanya, dikenal sebagai bio-pestisida atau pestisida alami, kemudian dibentang pada bagian bawah kemudian disusun benih jagung dan diatasnya diberi daun nimba lagi, dilapis pada bagian tengah dan daun nimba diatasnya lagi.
Kelemahan dari benih jagung, menurut Donatus, kalau kadar gulanya tinggi apalagi jagung-jagung jenis hibrida disimpan secara terbuka gampang sekali diserang hama bubuk. “Kalau yang terkena bubuk itu sudah masuk terus bawa masuk ke lumbung akhirnya bisa rusak satu lumbung itu,” Kata Donatus.
Dengan demikian salah satu tantangan dalam upaya selamatkan benih pangan lokal itu harus membangun teknik penyimpanan benih yang bisa bertahan lama dari ancaman serangga dan iklim. Bagaimanapun suatu waktu nanti benih pangan yang terbuang itu mungkin memiliki arti penting dikemudian hari karena memiliki sifat tertentu yang belum diketahui.