Ani Purwati – 22 Apr 2010
Ratusan massa melakukan unjuk rasa menuntut pembatalan UU No. 4 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) saat memperingati Hari Bumi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta (22/4). Massa yang terdiri dari berbagai kalangan masyarakat, petani, nelayan dan korban seputar operasi tambang mengkhawatirkan berlakunya UU Minerba ini semakin mengkriminalisasikan masyarakat rentan dan aktivis pembela hak-hak masyarakat dan lingkungan hidup.
“Sebelum UU Minerba ini berlaku, hak-hak masyarakat dan aktivis telah terancam. Lingkungan hidup juga mengalami kerusakan yang sangat massive,” kata Berry Nahdian Furqan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di sela aksi.
Sehingga menurutnya, UU Minerba ini akan semakin memperbesar eksploitasi sumber daya alam dan penghancuran bumi beserta isinya. Namun bila ada perbaikan dari kebijakan pemerintah seperti UU Minerba ini maka kerusakan ala mini akan berkurang.
Untuk memperbaiki UU Minerba khususnya pasal 6 dan 162 yang ditengarai semakin mengancam hak-hak masyarakat dan aktivis, Walhi bersama organisasi non pemerintah lain (Jatam, Kiara, KPA dan lain-lain) mengajukan uji materi UU No. 4 2009 tentang Minerba pada Mahkamah Konstitusi (MK) bersamaan dengan aksi memperingati Hari Bumi.
Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 4 2009 tentang Minerba menggantikan UU Pokok Pertambangan No. 11 1967 pada awal 2009. Berdasarkan UU baru tersebut, kewenangan pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain yang menetepakan Wilayah Pertambangan dilakukan berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (pasal 6 ayat 1 huruf e).
Menurut Jumi Rahayu, Manager Advokasi Hukum dan Kebijakan Walhi, pasal ini mengakibatkan masyarakat tidak bisa berperan dalam menentukan bisa tidaknya suatu usaha eksploitasi pertambangan berlangsung. Penetapan wilayah pertambangan bersifat dari atas.
Sementara itu suara rakyat yang mempertahankan ruang hidup untuk tetap lestari kerap berbeda dengan pendapat pemerintah daerah maupun wakil rakyat yang telah mereka pilih. Upaya rakyat yang mempertahankan pendapat dan hak-haknya seringkali mendapat perlakuan kriminalisasi dari aparat. Seperti yang terjadi di Kulon Progo-Yogyakarta, Teluk Rinondoran-Sulawesi Utara, Sukolilo-Jawa Tengah.
Darurat Ekologi
Krisis multidimensi yang terus berkembang di negara ini, semakin memperlihatkan secara telanjang posisi politik, ekonomi, sosial budaya bangsa yang mendorong terjadinya situasi darurat ekologi berkepanjangan. Setiap minggunya muncul 10 bencana ekologi seperti banjir, kekeringan dan longsor yang telah berlangsung dalam kurun waktu 13 tahun terakhir dan diprediksikan akan terus berlanjut. Pendapatan nelayan menurun drastis, yang sebelumnya pendapatan mereka mencapai RP 300.000,- per setiap kali melaut, sementara hari ini hanya sekitar Rp 150.000 per setiap kali melaut dan perempuan nelayan juga harus menambah jam kerjanya hingga 17 jam per hari (KIARA, 2010).
Disisi lain rakyat terus dibebani dengan penambahan beban utang luar negeri sebesar Rp 1,1 triliun mengatasnamakan program penyelamatan iklim dan US 80 juta mengatasnamakan penyelamatan hutan. Sementara pembayaran cicilan pokok dan bunga utang telah mencapai Rp 702 triliun (2004-2009) yang berimplikasi kepada pengurangan alokasi belanja publik seperti pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, subsidi dan lain-lain. Sehingga tidak mengherankan jika penduduk negeri ini hidup dengan bencana dalam kondisi miskin, kurang pendidikan dan busung lapar.
Situasi darurat tersebut tidak direspon dan tidak diselesaikan dengan baik karena politik luar negeri yang bebas aktif justru diterjemahkan dengan kebijakan membebaslan produk luar negeri masuk tanpa pajak ke dalam negeri. Perdagangan bebas ini telah mengancam kehidupan dan sendi penghidupan rakyat Indonesia tidak hanya di kota tapi juga di pelosok-pelosok desa.