Ani Purwati – 19 Oct 2010
Setahun pemerintahan SBY-Boediono hanya menggelembungkan harapan kosong. Janji-janji selama kampanye dan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2009-2014 tidak ada realisasi dalam pelaksanaannya. Hak-hak rakyat terus dikubur dalam-dalam. Eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada meningkatnya kerusakan lingkungan hidup berdampak pada kian cepatnya bencana ekologis terjadi, seperti banjir bandang di Wasior, Papua Barat; lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur; longsor di Morowali, Sulawesi Tengah; dan banjir rob yang melanda hampir seluruh kawasan pesisir Nusantara.
“Sebaliknya panggung pencitraan terus ditingkatkan dalam pelbagai program yang tak sejalan dengan kebutuhan mendasar kebanyakan rakyat,” ungkap Chalid Muhammad sebagai Ketua Institute Hijau Indonesia (IHI) saat siaran pers tentang “Evaluasi Kinerja Kabinet SBY-Boediono dalam Pengelolaan Aset Alam, Lingkungan Hidup, dan Penanggulangan Bencana Ekologis” di Jakarta (18/10).
Dalam pemberitaan, keberhasilan yang sering diperdengarkan adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi makro. Persoalannya, hal ini tak menyuguhkan solusi substansial atas beban kehidupan bersama yang diemban penduduk negeri kepulauan ini.
Wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut Indonesia mengandung potensi pembangunan berupa sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang beragam dan melimpah. Namun menurut Riza Damanik, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya pesisir dan laut mengalami tekanan dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Sumber daya yang paling terdegradasi adalah terumbu karang dan hutan mangrove, baik di wilayah timur (Biak, Buton, Pangkep, Raja Ampat, Selayar, Sika, dan Wakatobi) maupun barat (Batam, Bintan, Lingga, Mentawai, Natuna, Nias, dan Tapanuli Tengah). Mangrove di pelbagai pulau mengalami penurunan, di antaranya Jawa dan Bali sebesar 69%. Peningkatan banjir rob hingga 4-5 kali dalam setahun.
“Hal ini sangat mengancam keselamatan dan pangan masyarakat. Terlebih lagi praktik pencemaran laut seperti Laut Timor tidak berhasil meminta ganti rugi dari pihak pencemar,” terang Damanik.
Menurut Andrie S. Wijaya sebagai Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), selama periode 2004-2009, kondisi lingkungan hidup sudah terpuruk. Dalam setahun ini, SBY melanjutkan pola pengrusakan lingkungan hidup, lebih pro industri yang rakus lahan, air, buruh murah dan anti demokrasi.
“Kasus lumpur Lapindo Brantas tidak jelas penyelesaiannya. Masih banyak keluarga yang tinggal di daerah rawan karena sewaktu-waktu bisa mengeluarkan gas beracun,” kata Wijaya.
Pemerintah juga tidak menyelesaikan banjir dan longsor yang terus terjadi, tapi justru meningkatkan pembukaan dan eksploitasi di hutan lindung dan taman nasional. Ironisnya bukti-bukti kongkret dan tak-terbantahkan justru tidak menjadi bahan evaluasi baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah dalam perumusan kebijakan dan pola pembangunan saat ini. Di tingkat daerah otonomi dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk obral perijinan pertambangan.
Daya rusak tambang yang nyata-nyata mengancam perubahan dan perombakan secara permanen bentang sosial dan bentang alam wilayah justru menjadi pilihan ketimbang menjamin keberlanjutan keselamatan warga, daya-pulih produktifitas serta fungsi-fungsi alam untuk generasi masa depan. Tak heran bila potret kemiskinan, populasi balita kurang gizi dan angka putus sekolah yang tinggi justru di wilayah-wilayah yang berlimpah kekayaan alam tak terbarukan, seperti batubara, bijih besi, minyak dan gas, serta mineral lainnya.
Minimnya Kesejahteraan
Tampaknya semangat menyejahterakan rakyat dan melestarikan hutan juga masih sulit teralisasi jika melihat fakta-fakta berikut: Hak akses dan mengelola hutan yang diberikan kepada masyarakat melalui program HTR, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Adat dan Hutan Desa, hanya mencakup luas 500.000 ha. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan Ijin Penebangan Hutan (IUPHHK) yang diberikan kepada perusahaan besar yang mencakup luas hutan seluas 29 juta ha, Ijin Hutan Tanaman (HTI) seluas 7 juta Ha, pengelolaan hutan yang diberikan kepada BUMN Perhutani seluas 2,4 juta ha.
“Minimnya kesejahteraan masyarakat dikuatkan dengan data dimana ada 5,5 juta jiwa keluarga miskin yang hidup di dalam dan sekitar hutan,” kata Asep Yunan Firdaus, Koordinator Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma).
Negara membatasi hak masyarakat dalam mengakses hutan, karena Negara mengklaim sebagai penguasa tunggal kawasan hutan yang jumlahnya seluas 133,57 Juta ha, meskipun sampai dengan saat ini baru sekitar 10% nya saja yang telah diukur dan dikukuhkan sebagai kawasan hutan. Padahal di dalam kawasan hutan tersebut ada belasan ribu desa, dimana 9.754 desa (di 17 provinsi) di antaranya telah teridentifikasi.
Masyarakat desa yang memaksa masuk dan menggarap tanah di dalam kawasan hutan terancam pidana perjara maksimal 10 tahun dan denda 5 milyar rupiah. Jika masyarakat ingin mendapatkan ijin pengelolaan (misalnya HTR-Hutan Tanaman Rakyat) maka 19 unit kerja kehutanan menghadang dan 54 tahapan perizinan harus dipenuni mulai dari daerah sampai ke pusat.
Sementara itu dalam tiga tahun terakhir, sektor perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit mengalami percepatan pertumbuhan yang begitu cepat dan mengkonversi kawasan hutan. Menurut Jefri Saragih, Ketua Departemen Kampanye Sawit Watch, setiap tahun luas kebun sawit rata-rata meningkat seluas 352,595 ha. Secara keseluruhan luasan kebun sawit tahun 2010 adalah 7,824,623 ha, sementara rencana expansi secara nasional tercatat kurang lebih 24.407.200 ha.
Perluasan lahan kebun sawit ini diiringi meningkatnya jumlah konflik dengan masyarakat. Tercatat 663 konflik antara masyarakat versus perkebunan sawit skala besar dan masyarkat yang mengalami kekerasan yang dilakukanoleh aparat keamanan berjumlah yang kekerasan 106 orang pada tahun 2010.
Lingkungan Hidup Indonesia terancam kolaps. Alam tidak lagi bisa berfungsi menyediakan jasa pelayanannya, krisis menjadi makanan sehari-hari yang harus ditanggung oleh rakyat kebanyakan, bencana terjadidimana-mana. Menurut data Walhi, pada tahun 2009, sebanyak 1.713 total bencana telah terjadi di Indonesia. Di antara aset yang hilang, yakni korban meninggal kurang lebih 1.940 orang, kerusakan rumah sekitar 10.576.
Penegakan Hukum Sulit
Secara umum kinerja pemerintahan SBY periode kedua dalam bidang penegakan hukum lingkungan masih dapat dikatakan belum memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari fakta sejauh mana upaya penegakan hukum lingkungan dilakukan sekaligus seberapa besar berkontribusi dalam perbaikan kualitas lingkungan. Banyak kasus-kasus besar tidak dapat diselesaikan secara optimal, sebagai contoh penyelesaian kasus lumpur Lapindo yang hingga saat ini masih berlangsung. Contoh lain adalah pada penanganan kasus illegal logging. Laporan MA RI 2009 menunjukan bahwa vonis perkara illegal logging dari tahun 2007-2009 masih minim.
Perkara illegal logging pada kurun waktu tersebut sebesar 47% divonis 1-2 tahun, 23% bebas, 21% divonis kurang dari 1 tahun, 6% divonis 3-5 tahun, dan 3% divonis 6-10 tahun. Pada sektor perkebunan kelapa sawit, di Kalimantan saja terdapat 535 ijin dengan luas 3,306, 851 ha yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berada di kawasan hutan non-konversi (hutan lindung, hutan produksi dan taman nasional).
Salah satu akar persoalan lingkungan hidup yang belum bisa ditangani oleh pemerintahan SBY-Boediono adalah praktik korupsi di sektor pengelolaan sumber daya alam yang belum juga serius ditangani oleh aparat penegak hukum, meskipun berbagai desakan terus digulirkan. Pada tahun 2010 saja, Walhi telah melaporkan sejumlah dugaan korupsi pada sektor sumber daya alam kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain kasus korupsi di Nunukan yang dilaporkan pada tanggal 8 April 2010; kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur; kasus dugaan korupsi PTPN VII di Sumatera Selatan; kasus alih
fungsi secara ilegal untuk pertambangan di Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Penegakan hukum juga menjadi impian yang sulit bisa diwujudkan, meskipun UU Pelindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32/2009 telah disahkan. Namun pelaku kejahatan lingkungan belum juga ada yang bisa diseret ke meja hijau.
Pada pemerintahan SBY periode sebelumnya, telah berhasil mengesahkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang pada pokoknya mengatur bahwa perlindungan lingkungan hidup menjadi prasyarat bagi berbagai aktifitas pembangunan mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, hingga penegakan hukum. Namun menurut Rino Subagyo Direktur Eksekutif Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), UU PPLH yang telah banyak mengalami “ perubahan radikal “ dalam paradigm kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ini akan menjadi tidak efektif dan tidak membawa perubahan secara komprehensif apabila tidak diimplementasikan secara cepat dan tepat.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH memandatkan kepada pemerintah untuk menyusun setidaknya 20 Peraturan Pemerintah dan 8 (delapan) Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana UU dalam waktu satu tahun sejak UU disahkan dan diberlakukan (3 Oktober 2010). Namun faktanya adalah hingga berakhirnya tenggat waktu tersebut, hingga saat ini belum ada satupun Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan oleh Pemerintahan SBY-Boediono. Padahal peraturan pelaksana tersebut sangat penting sebagai instrumen hukum untuk memperkuat posisi kelembagaan Kementerian Lingkungan dalam pengelolaan lingkungan.
Resuffle Kabinet
Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan memperbaiki pengelolaan sumber daya alam untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya, gabungan organisasi non pemerintah (Ornop) ini mendesak adanya penggantian menteri atau reshuffle kabinet. Di antaranya menteri Lingkungan Hidup, Energi dan Sumber Daya Mineral, Kelautan dan Perikanan, Kehutanan dan Pertanian.
Selain itu gabungan Ornop ini juga mendesak di antaranya reorientasi kebijakan pertambangan agar lebih mengedepankan keselamatan dan produktivitas rakyat serta perlindungan lingkungan hidup; memperkuat kepemimpinan (leadership) di dalam institusi lingkungan hidup (Kementerian Lingkungan Hidup) sehingga memiliki prioritas kerja tepat, strategis dan terukur dalam pengarusutamaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; segera melakukan legal audit dan legal compliance terhadap perkebunan, perikanan, dan pertambakan skala besar di Indonesia, seperti industri tambak udang eks Dipasena di Propinsi Lampung, dengan melibatkan peran serta masyarakat lokal dan organisasi masyarakat sipil lainnya.