Ani Purwati – 14 Dec 2009
Sejumlah aktivis bersama berbagai elemen masyarakat mengadakan aksi global untuk perubahan iklim di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) pada Sabtu (12/12). Masyarakat sipil global juga melakukan aksi ini di Kedutaan Amerika Serikat di negara masing-masing di seluruh dunia.
Menurut Berry Nahdian Furqan sebagai Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), aksi ini bertujuan untuk mendesak Amerika Serikat menurunkan emisinya 25-40% dari emisi global tanpa offset. Selama ini Amerika Serikat tidak mempunyai komitmen nyata dan tidak meratifikasi Protokol Kyoto. Sebaliknya saat ini berusaha mengalihkan tanggung jawab pada Indonesia dan negara berkembang lainnya. Dengan cara konversi emisi melalui pembayaran pada negara berkembang untuk mereduksi emisi.
“Ini semua adalah solusi palsu dari Amerika Serikat sebagai simbol pemanasan global. Sudah sewajarnya kita mengutuk mereka yang tidak mempunyai komitmen dan ketegasan untuk menurunkan emisinya sesuai rekomendasi IPCC,” tegas Berry.
Tanpa komitmen Amerika Serikat dan negara maju lainnya untuk menurunkan emisinya secara signifikan seperti rekomendasi IPCC, dampak perubahan iklim akan semakin parah. Seperti akan terjadi pengungsian besar-besaran karena wilayahnya tidak layak huni, ribuan pulau akan tenggelam, gagal panen, nelayan tidak bisa melaut, penyakit merajalela dan sebagainya.
Elhisa Kartini dari Serikat Petani Indonesia (SPI) juga menyatakan bahwa dampak perubahan iklim telah dialami petani. Dengan adanya perubahan iklim dan cuaca, petani yang bertani tergantung pada iklim menjadi kesulitan dalam menentukan masa tanam karena iklim tidak menentu dan sulit diprediksi lagi. Untuk itu SPI juga mendesak Amerika Serikat dan negara maju lainnya agar menurunkan emisinya dan bertanggung jawab dalam mengatasi perubahan iklim.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Bersama pemerintah Indonesia, kebijakan yang bekerjasama dengan negara maju justru merugikan petani seperti REDD.
“Kebijakan ini telah mengancam petani kehilangan lahan pertaniannya,” kata Kartini.
Seperti di Jambi, lahan petani hilang sekitar 101 ribu hektar lahan petani untuk persiapan dari proyek Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Menurut Kartini, proyek REDD bukan solusi pemecahan perubahan iklim. Tidak memberikan keuntungan. Hanya berorientasi pasar sebelum perundingan perubahan iklim usai.
Padahal menurutnya, pemerintah dapat mengembangkan kebijakan yang mendukung upaya masyarakat sipil dalam mengatasi perubahan iklim seperti dengan mengembangkan pertanian berkelanjutan (organik). Pertanian tanpa asupan bahan-bahan kimia buatan ini mampu menurunkan emisi 44-57% emisi saat ini.
“Kami sudah menyampaikan melalui perwakilan internasional tentang pentingnya pertanian berkelanjutan. Namun saat ini adaptasi hanya masuk sebagai upaya adaptasi, padahal bisa lebih dari itu yaitu untuk mitigasi,” jelas Kartini.
Selain pertanian, sektor yang sangat rentan degan terjadinya perubahan iklim adalah laut dan perikanan. Seperti pengasaman air laut yang hingga saat ini kenaikannya sudah pada tingkat signifikan sejak revolusi industri, yaitu 30% dan mengancam kepunahan spesies biota laut, di antaranya terumbu karang yang berguna sebagai tempat pemijahan dan bertelurnya ikan-ikan dan juga ruang hidup bagi nelayan tradisional Indonesia.
Untuk itu Mida Novawanty Saragih dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menuntut Amerika Serikat dan negara maju lainnya untuk menghentikan pendanaan proyek-proyek hutang sektor kelautan perikanan yang merusak sumber daya laut dan memperparah perubahan iklim. Telah terbukti proyek ekspansi aquakultur dan konservasi kawasan laut telah meminggirkan nelayan dan komunitas pesisir.
Amerika Serikat dan negara maju lain yang tergabung dalam Annex I juga harus melaksanakan pengurangan emisi secara mandatoris di bawah Konvensi Perubahan Iklim (UNFCC).
Selain itu Indonesia sebagai pemilik garis pantai terpanjang di dunia juga harus berani memperjuangkan politik lingkungan hidup dengan menuntut komitmen Annex I dalam BAP yaitu penurunan emisi 25-40% pada 2020.
Aksi global untuk perubahan iklim berlangsung secara serentak di seluruh dunia di depan Kedubes Amerika Serikat di negara masing-masing. Di Indonesia aksi diikuti oleh ratusan masyarakat sipil terdiri dari aktivis berbagai organisasi non pemerintah (Ornop), petani, nelayan, buruh, dan mahasiswa. Selain diisi orasi dan musik, aksi juga dimeriahkan kehadiran grup band Padi yang menyanyikan tiga lagu hitnya. Dalam pernyataannya Fadli, vokalis Padi ingin dunia menjadi begitu indah seperti judul lagunya, bebas dari kerusakan lingkungan hidup dan dampak perubahan iklim.
Aksi juga disertai pendirian tenda-tenda kecil yang menandakan adanya pengungsian masyarakat akibat perubahan iklim yang telah menenggelamkan wilayah hidup mereka sehingga tidak layak huni lagi. Pada pukul sekitar 13.30 aksi ditutup dengan orasi dan yel-yel yang menghujat dan menuntut Amerika Serikat untuk mengambil komitmen dalam aksi penanganan perubahan iklim.