Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Tidak Jadi Prioritas Penerima Bantuan Perubahan Iklim, Indonesia Bisa Tingkatkan Hutang

Ani Purwati – 29 Dec 2009

Indonesia tidak menjadi prioritas sebagai penerima dana penanganan perubahan iklim yang dijanjikan negara-negara maju atau Annex I dari Konvensi Perubahan Iklim. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya hutang luar negeri Indonesia. Demikian kata M. Teguh Surya, Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) saat konferensi pers Forum Masyarakat Sipil (Civil Sociaty Forum – CSF) di Jakarta (28/12).

Seperti yang disebutkan dalam Copenhagen Accord bahwa negara maju harus menyediakan dana bagi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bagi negara berkembang yang rentan khususnya untuk negara miskin, pulau-pulau kecil dan Afrika. Namun menurut Teguh, tidak ada kesepakatan di COP yang memaksa Annex I untuk memberikan dana atau uang. Dana yang ada senilai 30 milyar dolar Amerika Serikat hanya janji negara maju tersebut kepada negara miskin di seluruh dunia. Sementara itu Indonesia masuk dalam kategori negara ekonomi maju.

“Sehingga jelas bahwa skema dana yang dijanjikan negara maju dari Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) bukan untuk Indonesia,” jelas Teguh.

Namun menurutnya, Indonesia pasti menurunkan emisinya sebagai konsekuensi upaya sukarela, sehingga dipastikan Indonesia melakukan hubungan kerja bilateral dan menambah hutang luar negeri untuk menjawab itu dan melakukan upaya mitigasi dan adaptasi. Yang memperkuat indikasi tersebut adalah genjarnya Indonesia mendapatkan dana dari kerjasama bilateral dan hutang luar negeri. Saat ini kemungkinan hutang berasal dari Jepang dan Perancis.

Dana penanganan perubahan iklim lainnya adalah berasal dari sistem proyek yang saling menguntungkan. Yaitu Indonesia mendapat dana (uang), sementara pemberi dana mendapatkan sertifikat karbon. Walaupun saat ini perjanjian bilateral itu masih dalam tahap proyek persiapan selama 3-4 tahun, tapi Indonesia berharap sudah mendapatkan dana. Setelah tahap persiapan seperti inventarisasi karbon dan lahan, maka tahap yang berikutnya adalah sistem perdagangan karbon.

Misalnya menurut Teguh, di Kalimantan dan Sumatera telah ada proyek perdagangan karbon ini dengan Australia senilai 30 juta dolar selama 4 tahun. Proyek semacam ini bukanlah termasuk upaya sukarela Indonesia dalam menurunkan emisi tapi proyek penurunan emisi negara pemberi dana (dalam hal ini Australia) yang akan mendapatkan sertifikat karbon sebagai klaim penurunan emisinya.

Sehingga menurut kajian CSF seperti yang disampaikan Giorgio Budi Indarto sebagai Koordinator CSF, Indonesia hanya akan menjadi tempat “cuci dosa” negara-negara industri sebagai negara pencemar dengan ongkos sangat murah melalui rejim perjanjian bilateral – bukan skema pertanggungjawaban negara industri dibawah UNFCCC, yang belakangan mendominasi pendanaan. Tercatat, di sektor kehutanan telah ditandatangani 9 bilateral agreement.

Praktik perdagangan karbon juga memperkuat bahwa Pemerintah akan terus menganut Bisnis As Usual yang akan mendorong meningkatnya emisi karbon dari degradasi lahan dan kerusakan hutan. Sejak 1970an, hutan hanya dipandang sebagai hamparan komoditas dagang, mulai dari “hutan kayu, hutan tambang, hutan sawit dan kini hutan karbon”.

Sementara di sektor kelautan perikanan dan pesisir, Indonesia getol mempromosikan 89,15 persen perairannya untuk dikonservasi oleh para pebisnis lewat CTI Bussiness Summit di Manila, Filipina, 18-21 Januari 2010 mendatang.

Kondisi ini menunjukkan berlanjutnya tata kelola pemerintah yang buruk (bad governance) dimana faktanya banyak ketidaksiapan dari sisi tata kelola mengurus proyek bilateral iklim, yang berisiko buruk, bila belajar dari berbagai program kehutanan sebelumnya. Akhirnya kemungkinan akan terjadi peningkatan masyarakat kampung dan perkotaan yang makin sengsara karena dampak gagalnya model pembangunan global yang terus diadopsi, dan rentan menjadi korban dampak perubahan iklim.

Dampak Kegagalan

Menurut CSF, ini semua merupakan dampak dari kegagalan Pemerintah Indonesia dalam mengarusutamakan perubahan iklim sebagai krisis nasional – lebih sebagai ajang penggalangan dana-dana proyek jangka pendek. Pemerintah Indonesia juga dinilai gagal memposisikan diri secara pantas, yang mengedepankan tanggung jawab investasi global negara-negara pengemisi besar atas terjadinya krisis-krisis domestik, dan beraliansi secara strategik dengan negara-negara miskin yang sudah tampil di depan (Tuvalu, Bolivia, Venezuela, Mexico, kelompok Afrika, dsb).

Kegagalan Pemerintah Indonesia ini semakin jelas setelah gagalnya COP 15 mencapai suatu target yang pasti untuk pengurangan emisi, yang berpeluang kenaikan temperatur akan sangat besar. CSF menilai kegagalan COP 15 juga nampak dari Pemerintah Denmark sebagai tuan rumah yang tidak memberikan suatu forum PBB yang demokratis dan egaliter. Dominasi negara industri sangat kental. Selain itu pengurangan emisi negara industri tidak ada target, namun negara berkembang malah memberikan target, yang berarti pula ada pengalihan tanggung jawab.

Berita Terkait:

http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0223&ikey=1

http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0222&ikey=1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *