Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Tidak Ingin Gagal, Indonesia Siapkan Hasil Minimum Kopenhagen

Ani Purwati – 19 Nov 2009

Meski perundingan tentang perubahan iklim terkesan berlarut-larut tanpa kesepakatan, para pihak tidak ingin Kophenhagen gagal. Setidaknya bisa menghasilkan hasil minimum yang bisa menjadi jalan tengah seperti diusulkan Indonesia sebelum kesepakatan mengikat. Demikian menurut Tri Tharyat sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia untuk Perundingan Perubahan Iklim saat diskusi yang diselenggarakan Forum Masyarakat Sipil di Jakarta, Rabu (18/10).

Hasil minimum yang disiapkan untuk mengantisipasi tidak tercapainya kesepakatan perundingan iklim di Kopenhagen ini merupakan satu keputusan prinsip umum disebut Umbrella Agreement sebagai kesepakatan Konferensi Perubahan Iklim (COP 15) di Kopenhagen.  Isinya adalah adanya tujuan global, batas waktu yang jelas pada Juni 2010, amandemen Protokol Kyoto selesai pada Juni 2010 dengan target angka pengurangan emisi.

Dengan memiliki Bali Action Plan, Indonesia mempunyai peran penting di Kopenhagen. Posisi Indonesia sama dengan saat perundingan di Bangkok. Perundingan iklim di Kopenhagen harus menghasilkan kelanjutan Protokol Kyoto, meski negara maju berupaya membunuh Protokol Kyoto dan mengusulkan penggantinya.

“Indonesia tidak mundur dari posisi semula. Bersama Kelompok G77, Indonesia tetap mengiginkan Protokol Kyoto dilanjutkan. Kopenhagen harus berlanjut tanpa ada deadlock,” jelas Tri Tharyat sebagai anggota dari Dewan Nasional Perubahan Iklim ini.

Untuk mencapainya, selain meyiapkan hasil minimum perundingan, Indonesia juga telah mengeluarkan pernyataan kesediaan target pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 26%.

Meski tidak wajib berkomitmen dengan target pengurangan emisi, Indonesia menjadi negara pertama yang menyampaikan pernyataan itu dan mendapat sambutan positif dari para pihak. Salah satunya Amerika Serikat yang menyatakan kesediaan membantu Indonesia dan negara berkembang lain untuk mencapai target pengurangan emisi sukarelanya.

Menurut Tharyat, dengan peryataan penurunan emisi secara sukarela itu, Indonesia berusaha dapat mencairkan ketegangan antara negara berkembang dan negara maju terutama dalam pencapaian target pengurangan emisi. Diharapkan pernyataan Indonesia itu bisa mempengaruhi negara maju agar dapat berkomitmen target pengurangan emisi. Target pengurangan emisi negara maju yang diharapkan Indonesia adalah 50% pada 2050 atau suhu 20 C pada 2050.

Selama ini Amerika Serikat sebagai negara penghasil emisi tertinggi tidak bersedia berkomitmen dengan target penurunan emisi sebagaimana isi dari Protokol Kyoto yang akan berakhir pada 2012 dan periode berikutnya. Negara maju lainnya yang telah berkomitmen dengan Protokol Kyoto periode pertama juga belum menentukan target pengurangan emisi yang akan menjadi isi Protokol Kyoto periode berikutnya setelah 2012. Alasannya, karena China dan India yang dinilai sebagai negara berkembang penghasil emisi yang tinggi saat ini, tidak bersedia menurunkan emisinya.

Hendro Sangkoyo sebagai pengamat politik lingkungan global mengatakan bahwa alotnya perundingan iklim selama ini, berawal dari pernyataan para ahli Panel Inter Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang tidak menyebutkan secara jelas kaitan perubahan iklim dengan fenomena di berbagai sektor yang terjadi. Semuanya masih secara umum. Padahal perluasan industri dan ekonomi juga merupakan penyebab perubahan iklim bukan hanya kerusakan hutan.

Menurutnya, angka-angka emisi dari beberapa sektor hanya untuk menunda proses tercapainya kesepakatan perundingan.

Target 26% Dipertanyakan

Sementara itu pernyataan pengurangan emisi Indonesia hingga 26% pada 2020 masih dipertanyakan. Bagaimana kesepakatan antar sektor di Indonesia sendiri. Bagaimana pula kerjasama Indonesia dengan negara kecil rentan lainnya di sekitarnya. Semuanya belum menjadi fondasi yang kokoh.

“Kita belum mempunyai pemahaman untuk pengurusan aset publik. Bagaimana peta konsumsi dan produksi energi. Namun langsung melompat ke pendanaan,” kata Sangkoyo.

Dalam penanganan kerusakan hutan, tidak hanya memerlukan mekanisme pendanaan, tapi juga diperlukan perombakan kerangka kebijakan social dan ekologis. Sebagai delegasi warga Indonesia yang berperan dalam aksi domestik, Delegasi Republik Indonesia untuk perubahan iklim harus memiliki mekanisme terbuka dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), DNPI dan menteri terkait.

Perundingan bisa menjadi tindakan nyata pencegahan perubahan iklim, salah satunya harus menunjukkan aliran dana ke pulau rentan. Perundingan tidak memiliki gaung kalau tidak ada mata rantai terbuka antara masyarakat rentan dengan para delegasi.

Menurut Tori Koeswardoyo dari Yayasan Pikul, Indonesia sulit mencapai target pengurangan emisi 26% pada 2020. Salah satu penyebabnya adalah indeks korupsi Indonesia yang paling tinggi dan sektor yang diandalkan menurunkan emisi adalah kehutanan yang paling bermasalah dengan korupsi itu.

Demikian pula perluasan perkebunan sawit sebagai penghasil emisi yang telah terjadi selama ini tidak mungkin secara serta merta dapat berperan menurunkan emisi. Selain itu, kebijakan penggunaan batubara dalam suplai pembangkit energi listrik oleh pemerintah, sangat sulit untuk membantu menurunkan emisi di Indonesia.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *