Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Pertanian Kunci Pembangunan Berkelanjutan

Lutfiyah Hanim – 08 May 2009

Pertemuan Komisi untuk Pembangunan Berkelanjutan PBB (Commission on Sustainable Development-CSD) sesi ke-17 yang diadakan di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, diharapkan dapat menghasilkan aksi nyata mengatasi krisis dengan menjadikan pertanian sebagai kunci pembangunan berkelanjutan. Pertemuan CSD 17 ini menjadi sangat penting karena diadakan di tengah situasi dunia yang menghadapi berbagai macam krisis, seperti pangan, keuangan, perubahan iklim dan energi.

Elenita Dano dan Juan Hoffmaister, sebagai rekanan (associate) Third World Network dalam artikelnya untuk Third World Resurgence Edisi Maret 2009 menyatakan itu ketika menyoroti teks perundingan dalam pertemuan PBB Komisi untuk Pembangunan Berkelanjutan yang berlangsung sejak 4 Mei hingga 15 Mei tersebut.

Dikatakannya, Ketua CSD 17, Menteri Pertanian, Alam dan Kualitas Pangan Belanda, Gerda Verburg, telah datang dengan ‘teks perundingan’ pada akhir pertemuan persiapan atau  Intersessional Preparatory Meeting (IPM) yang menjadi dasar perundingan dalam pemilihan kebijakan CSD 17. Dokumen tersebut telah berupaya untuk mengkonsolidasikan pandangan-pandangan, posisi dan rekomendasi dari delegasi pemerintah dan major group (yaitu pemuda dan anak-anak, petani, perempuan, masyarakat adat, organisasi non pemerintah, kelompok ilmuwan, otoritas lokal dan bisnis dan industri) yang mengikuti proses CSD

Dalam teks perundingan secara jelas mengakui bahwa pertanian diletakkan pada pusat pembangunan berkelanjutan. Namun, Dano dan Hoffmaister menyayangkan digunakannya pendekatan teknologi sebagai solusi dalam mengatasi tantangan dalam isu-isu saat ini. Dan teks awal gagal menangkap integrasi dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan dari pembangunan berkelanjutan. Karena teks itu melihat pertanian berkelanjutan dalam cakupan sempit sebagai solusi teknologi daripada sebagai pendekatan yang mendasari perubahan peradigma.

Teks perundingan yang disiapkan oleh Ketua CSD 17, sama sekali tidak mencantumkan laporan dan rekomendasi dari IAASTD (International Assessment of Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development), bahkan tidak dalam paragraf pembukaan dimana pertemuan internasional lainnya menyebutkannya.

Laporan IAASTD

IAASTD merupakan laporan komprehensif yang disusun oleh lebih dari 400 ilmuwan dari seluruh dunia. Di antara pesan laporan tersebut adalah jika dunia memang ingin lebih baik menyediakan pangan untuk masyarakat miskin dan mengatasi kelaparan karena peningkatan populasi dan perubahan iklim, sambil mengatasi masalah lingkungan dan mencegah masalah sosial, maka perlu adanya  perubahan radikal, lebih dari ‘bussiness as usual’.

Laporan IAASTD menyerukan perlunya dorongan yang lebih besar untuk melindungi sumber daya alam dan praktik agro ekologi, juga upaya untuk membuka jalan pengetahuan tradisional yang dilakukan oleh komunitas lokal dan petani.  Dalam hal ini, pertanian berkelanjutan berdasarkan atas keanekaragaman hayati, termasuk agro ekologi dan pertanian organik, yang menguntungkan petani miskin dan perlu dukungan dengan kebijakan dan kerangka regulasi yang tepat.

Laporan itu telah melibatkan 64 negara, yang berkumpul dalam pertemuan paripurna antar pemerintah di Johannesburg Afrika Selatan, 9-12 April 2008. Dengan dukungan dari lembaga-lembaga internasional FAO, GEF, UNDP, UNEP, UNESCO, Bank Dunia dan WHO. (Baca: Atasi Kelaparan Dengan Perubahan Radikal Kebijakan Pertanian Dunia http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0055&ikey=1).

Sehingga menurut Dano dan Hoffmaister, rasional bila CSD 17 membawa temuan-temuan dan rekomendasi dari IAASTD dalam penyusunan hasil akhir.

Dalam artikel itu, kedua penulis juga berpendapat bahwa draf teks yang disusun tidak memberikan penegasan hak untuk pangan seperti yang melekat pada Deklarasi Universal atas Hak Asazi Manusia. Dimana hak tersebut menjadi hak mendasar yang memungkinkan orang untuk berpartisipasi dalam membentuk pembangunan berkelanjutan. Karena itu sangat penting untuk mempromosikan pendekatan hak termasuk hak untuk pangan, hak masyarakat dan negara untuk menentukan kebijakan yang berkaitan dengan ketahanan pangan, kualitas lingkungan, dan penghidupan, penerapan kebijakan reformasi agraria dan tanah dalam kerangka hak asazi.

Hal lain yang menjadi perhatian dua penulis ini adalah berkaitan dengan bahan bakar nabati (BBN). Teks ini menurut Dano dan Hoffmaister tidak cukup menggambarkan dampak negatif dari pengembangan BBN dalam suplai dan harga pangan. Walaupun beberapa delegasi telah menyerukan lebih kuat perlunya keberlanjutan BBN, namun perlu kehati-hatian terhadap potensi buruk dari BBN yang disebut sebagai generasi kedua dan ketiga dalam hal ketahanan pangan serta kaitannya dengan lingkungan dan tanah.

Kedua penulis cukup terkejut, bahwa tidak ada satu pun delegasi dalam pertemuan IPM Februari lalu yang mengangkat isu mengenai akuisisi tanah atas nama investasi pertanian di negara-negara berkembang. Terutama oleh investor dari negara-negara kaya minyak.

Apalagi setelah terjadi krisis energi dan pangan yang membuat harga pangan meningkat tajam dan ketersediannya di pasar menurun. Menurut Dano dan Hoffmaister, investasi tersebut lebih ditujukan untuk memastikan ketersediaan pangan dan energi di negara investor melalui produksi di luar negeri. Karena itu CSD 17 harus mempertimbangkan perkembangan ini dan mengadopsi pilihan kebijakan untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul seperti hak ketahanan pangan dan distribusi sumber daya. Ini karena, hak atas pangan dan hak atas tanah merupakan hal yang terkait satu sama lain.

Dano dan Hoffmaister juga menyoroti beberapa isu lain seperti keterbatasan draf teks perundingan dalam menangani perubahan iklim di sektor pertanian dan pembangunan pedesaan, ketimpangan dalam isu perdagangan internasional, produk rekayasa genetik, investasi dan pembiayaan di sektor pertanian dan isu-isu pertanian di Afrika.

Kedua penulis juga mengingatkan bahwa kegagalan CSD 15 yang membahas energi, perubahan iklim, pembangunan industri dan polusi udara di tahun 2007, membuat harapan akan keberhasilan CSD 17 meningkat. Dimana kesuksesannya tergantung dari kapasitas CSD untuk menghasilkan aksi nyata dalam membuat isu pembangunan berkelanjutan menjadi nyata dalam mengatasi isu-isu pertanian, tanah, pembangunan pedesaan, kekeringan, penggurunan dan Afrika. Menurutnya, CSD perlu meningkatkan perannya dalam memberikan rekomendasi kritis untuk menguatkan upaya global meraih pembangunan berkelanjutan.

Pertemuan CSD 17 membahas klaster tematik mengenai pertanian, degradasi tanah, pembangunan pedesaan, kekeringan, penggurunan dan Afrika. Direncanakan, Menteri Pertanian Indonesia akan hadir dalam pertemuan tingkat tinggi (high level segment) yang akan dimulai tanggal 13 Mei mendatang.

Informasi Terkait: Pertemuan Komisi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan Dimulai (http://www.beritabumi.or.id/?g=liatinfo&infoID=ID0025&ikey=3)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *