Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Kronologis Gugatan Undang Undang Pangan di Mahkamah Konstitusi

Dua belas organisasi masyarakat sipil, dan Serikat Petani menguji kembali Undang Undang No. 18/2012 tentang Pangan ke Mahkamah Konstitusi. Para Pemohon terdiri dari, Indonesian Human Rights Commitee For Social Justice (IHCS); Aliansi Petani Indonesia (API); Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); Perserikatan Solidaritas Perempuan (SP), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP); Perkumpulan Sawit Watch; dan Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD); Indonesia for Global Justice (IGJ); Wahana Lingkungan Hidup (WALHI); Koalisi Rakyat Untuk Perikanan (Kiara); dan Bina Desa.

Para pemohon didampingi pengacara yang mengatas namakanTim Advokasi Hak Atas Pangan.

Pasal 3 UU No.18 Tahun 2012 berbunyi, “Penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan”. Pemohon berpendapat bahwa Pasal 3 sepanjang frasa“kebutuhan dasar manusia”bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena tidak memberikan definisi yang jelas tentang kebutuhan dasar manusia tersebut sehingga menyulitkan pemenuhan hak atas pangan dan berimbas pada tidak jelasnya tanggung-gugat Negara dalam memenuhi kewajibannya terhadap hak atas pangan warga Negara.

Berikutnya adalah Pasal 36 ayat (3) berbunyi,“kecukupan produksi pangan pokok dalam negeri dan cadangan pangan pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan”. Para Pemohon menilai Pasal 36 ayat (3) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak secara tegas menyebutkan siapa yang berwenang dan bertanggungjawab untuk menentukan kecukupan produksi pangan pokok dalam negeri sehingga mengakibatkan tidak adanya jaminan dan perlindungan serta tidak adanya kepastian hukum.

Pemohon juga berpandangan bahwa Pasal 53 dan Pasal 133 UU Pangan pada sepanjang frasa “pelaku usaha pangan” bertentangan dengan UUD 1945. Terutama melanggar Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena luasnya definisi pelaku usaha pangan sangat berpotensi dapat mengkriminalisasi pelaku usaha kecil dan perseorangan.

Pasal 133 mengenai larangan usaha pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalamPasal 53 dengan maksud memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga pangan pokok menjadi mahal atau melambung tinggi, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak seratus miliar rupiah.

Selanjutnya, Pemohon berpendapat Pasal 69 huruf C UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dianggap bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 karena berpotensi melanggar hak hidup sejahtera dan lingkungan hidup yang baik serta sehat, tidak menjamin terjadinya keamanan pangan Karena teknologi rekayasa genetic belum bias dikontrol oleh Pemerintah dan dianggap tidak aman. Sedangkan Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2) tentang Pangan sepanjang frasa “yang belum mendapatkan persetujuan keamanan pangan sebelum diedarkan” bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 karena jika masih dicantumkan akan menjadi peluang praktek rekayasa genetik yang berpotensi melanggar hak hidup sejahtera dan lingkungan hidup yang baik serta sehat, dan juga tidak menjamin terjadinya keamanan pangan.

Tim Advokasi Hak Atas Pangan terdiri dari: Ridwan Darmawan, Arif Suherman, Anton Febrianto, Dhona El Furqon, Priadi, Rachmi Hertanti, Achmad Marthin Adiwinata dan lain-lain. Sidang pertama dilakukan pada 3 Desember 2013 lalu, diikuti oleh sidang berikutnya pada 16 Desember 2013, 21 Januari 2014, 5 Februari 2014, 25 Februari dan 11 Maret 2014.

Dalam persidangan 3 Desember 2013, Pemohon menyampaikan pandangan dan alasan gugatan; kemudian dilanjutkan dengan sidang perbaikan gugatan pada 16 Desember 2013. Lalu pemerintah menyampaikan pandangannya mengenai UU Pangan No. 18 Tahun  2012 pada sidang berikutnya yakni 21 Januari 2014.

Pada persidangan 5 Februari 2014, para Pemohon mengajukan dua orang ahli yaitu Khudori dan Lutfiyah Hanim. Khudori banyak menyoroti mengenai kelembagaan, dan kritiknya pada UU Pangan, sedangkan Lutfiyah Hanim mengingatkan pengalaman kegagalan kapas transgenik di Sulawesi Selatan, dan berbagai pengalaman negara lain tentang resiko keamanan hayati produk rekayasa genetika.

Pada persidangan berikutnya, pada 25 Februari 2014, Pemohon menyampaikan presentasi dari saksi yaitu Jito, petani dari Indramayu; dan Ai Nurhidayat Pangandaran Jawa Barat. Pemohon juga mengajukan ahli, Profesor Dwi Andreas Santosa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Arimbi Heroeputri, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Selanjutnya dalam siding terakhir, Pemohon mengajukan saksi petani dari Indramayu, yaitu Joharipin. Dan presentasi dari tiga ahli, yaitu Henry Simarmata, Hira Jhamtani, dan Fadlil Kirom.

Pihak pemerintah mengajukan saksi petani dari Sulawesi Selatan, yaitu Mohamad Arsyad dan saksi ahli, Bahagiwati Amir Husin dan Muhammad Herman, pada persidangan 25 Februari 2014.

Para pihak, telah diminta menyampaikan kesimpulan atas perkara Nomor: 98/PUU-XI/2013 mengenai Pengujian UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan terhadap UUD 1945, pada 18 Maret 2014. Sampai tulisan ini diterbitkan, keputusan mengenai perkara ini belum diputuskan.

(Disarikan oleh Tim Redaksi BB, April, 2014)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *