Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Keuangan dan transfer teknologi kunci kesepakatan baru

Majorie Williams – 21 May 2013

Jenewa, 6 Mei  – Baru-baru ini para pihak mengadakan perundingan iklim di Bonn, Jerman, di bawah Kelompok Kerja Ad Hoc tentang Platform Durban (Ad Hoc Working Group on the Durban Platform – ADP) memberikan pandangan mereka tentang bagaimana mengatasi masalah ‘sarana pelaksanaan’ di perjanjian baru yang akan disimpulkan pada tahun 2015 di bawah UNFCCC.

Negara berkembang menekankan perlunya negara maju untuk melaksanakan komitmennya berdasarkan Konvensi dalam menyediakan keuangan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. Mereka mengatakan bahwa memiliki pengaturan kelembagaan saja tidak cukup, tetapi komitmen harus dipenuhi dan ditingkatkan dalam kesepakatan baru yang akan disimpulkan pada tahun 2015 dan mulai berlaku pada tahun 2020. Banyak negara berkembang juga menyerukan target pembiayaan jelas di luar 2020 dan roadmap yang jelas untuk menyediakan sumber daya keuangan. Mereka ingin masalah hambatan untuk transfer teknologi ditangani, termasuk hak kekayaan intelektual. Mereka juga menyerukan untuk pengukuran, pelaporan dan verifikasi sarana implementasi untuk memastikan pengiriman.

Beberapa negara maju termasuk Australia, Swiss dan Norwegia juga ingin semua negara dengan kemampuannya agar berkontribusi pada pembiayaan iklim dan Saudi Arabia yang menentang ini melihatnya sebagai upaya mengabaikan prinsip dan ketentuan Konvensi.

Pandangan ini diungkapkan selama diskusi meja bundar di bawah workstream 1 dari ADP yang diadakan pada tanggal 1 Mei 2013. Diskusi ini dipimpin oleh Jayant Mauskar (India) yang mengatakan sesi ini dikhususkan untuk ‘sarana pelaksanaan’ yang terdiri dari keuangan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas dan ingin Para Pihak untuk fokus pada apa yang dibutuhkan dalam perjanjian 2015.

Filipina mengatakan bahwa Para Pihak bisa membuat struktur untuk menangani sarana pelaksanaannya, namun jika tidak ada dukungan keuangan dan lainnya ke negara-negara berkembang, ketentuan Konvensi akan menjadi sia-sia. Menekankan kerentanan negara terhadap dampak perubahan iklim, Filipina mengatakan dampak ekonomi dari perubahan iklim yang cukup besar dan mereka mengatur kembali program pembangunan. Filipina menegaskan bahwa intinya adalah apakah komitmen oleh negara-negara maju untuk menyediakan sarana implementasi untuk adaptasi dan mitigasi terpenuhi. Filipina memperingatkan bahwa jika hal ini tidak terpenuhi, “gerbang iklim Doha” (mengacu pada keputusan yang dicapai pada COP 18 di Doha tahun lalu) akan menjadi “perginya iklim.”

Iran mengatakan bahwa sarana pelaksanaan, termasuk sumber daya keuangan yang memadai, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi bagi negara-negara berkembang tetap penting untuk pelaksanaan Konvensi. Dikatakannya bahwa hambatan utama untuk perubahan iklim di negara berkembang adalah transfer teknologi dan keuangan yang tidak memadai. Iran mencatat bahwa kesenjangan transfer teknologi dan pendanaan hanya dapat diatasi dengan penerapan Pasal 4.7. Dikatakannya bahwa Platform Durban bukanlah proses untuk negosiasi ulang prinsip-prinsip Konvensi. Iran mengatakan bahwa kerja menuju perjanjian masa depan harus mencakup pengembangan UNFCCC termasuk adaptasi, mitigasi, sumber daya keuangan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas.

Republik Korea mengatakan bahwa mitigasi oleh negara maju saja tidak cukup untuk mencapai tujuan di bawah 2o C, sangat penting untuk mendorong semua pihak terlibat dalam upaya mitigasi. Oleh karena itu, sarana pelaksanaan sangat penting untuk meningkatkan upaya negara-negara berkembang serta untuk adaptasi. Republik Korea menyerukan langkah-langkah konkret untuk menyediakan sarana pelaksanaan. Sebagai tuan rumah dari Green Climate Fund (GCF), Republik Korea mengatakan GCF harus mengambil peran utama dalam mobilisasi dan distribusi pendanaan iklim.

Swaziland berbicara untuk African Group mengatakan bahwa dari lokakarya tentang jalur pembangunan rendah emisi (tanggal 30 April), pesan yang luar biasa adalah bahwa negara-negara berkembang menempatkan kebijakan dan strategi untuk inisiatif rendah emisi. Namun, hambatan utama tetap pada sarana implementasi dalam hal keuangan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. Swaziland mencatat bahwa sarana pendukung untuk adaptasi belum diperlakukan sebagai kewajiban Konvensi. Tidak ada dana dari Program Aksi Adaptasi Nasional (National Adaptation Programmes of  Action – NAPA). Swaziland meminta jalur dalam memberikan janji US 100 miliar per tahun pada 2020. Swaziland juga menekankan pentingnya transparansi dan pengiriman keuangan sebagai kunci untuk membangun kepercayaan.

China mempertanyakan penggunaan istilah ‘sarana pelaksanaan’ dan ingin istilah penuh akan tercermin sebagai ‘keuangan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. China mencatat bahwa ada beberapa arti untuk kata ‘sarana’ dan mengatakan bahwa ‘MO’ dalam ‘MOI’ dalam bahasa Kanton berarti ‘tidak’. Durban Platform adalah tentang meningkatkan pelaksanaan Konvensi bagi yang memiliki komitmen yang jelas untuk negara-negara maju.

Pada masalah transparansi, China mencatat bahwa ini umumnya terkait dengan mitigasi tetapi tidak hanya masalah mitigasi, tetapi juga tentang dukungan keuangan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. Pada isu substantif unsur-unsur untuk perjanjian tahun 2015, China mengatakan bahwa titik awal adalah komitmen untuk sumber daya, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas keuangan yang sangat penting bagi negara-negara berkembang untuk mitigasi dan adaptasi. China mencatat bahwa masalah ini dimasukkan dalam proses Rencana Aksi Bali namun belum terselesaikan. Dikatakannya bahwa belum ada banyak kemajuan pada pekerjaan dalam proses Bali dan perlu melanjutkan pekerjaan pada jangka waktu pra 2020. China juga menyatakan bahwa pengaturan kelembagaan dapat dibangun tetapi harus ada gambaran yang sangat jelas tentang jumlah uang yang akan mendukung tindakan negara-negara berkembang pada periode pasca 2020 yang harus lebih dari 100 miliar per tahun. Pada transfer teknologi, China mengatakan ada kebutuhan untuk sepenuhnya mengoperasionalkan Mekanisme teknologi dan isu inti HKI belum ditangani. Pada peningkatan kapasitas, China mengatakan ada kebutuhan untuk ketentuan ini dalam perjanjian 2020.

Bangladesh mengatakan adaptasi adalah kunci untuk mengatasi perubahan iklim di negara berkembang dan bahwa dalam periode pasca 2020, ingin melihat masalah adaptasi juga dipaerhatikan karena pentingnya. Dikatakannya Para Pihak belum membawa isu-isu adaptasi dalam tahap implementasi. Pelaksanaan adaptasi harus dimulai dengan NAPA dan kemudian dengan Rencana Adaptasi Nasional (National Adaptation Plans – NAP). Bangladesh menekankan pentingnya kerugian, kerusakan dan kebutuhan untuk melihat mekanisme internasional untuk disepakati di Warsawa. Pada sarana pelaksanaan, Bangladesh mengatakan ada kebutuhan untuk komitmen yang jelas pada keuangan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. Banglades juga mengatakan bahwa pada akhirnya perlu meningkatkan tindakan dan komitmen yang jelas dalamjangka pendek dan jangka panjang.

Nauru berbicara atas nama AOSIS mengatakan bahwa pada sarana pelaksanaan, kontinuitas dan perluasan ketentuan sangat penting untuk mendukung peningkatan mitigasi dan tindakan adaptasi di negara berkembang. Dikatakannya bahwa perjanjian ini harus memuat ketentuan-ketentuan yang kuat pada keuangan, teknologi dan peningkatan kapasitas. Nauru lebih lanjut mengatakan bahwa banyak negara berkembang yang menerapkan kebijakan perubahan iklim (seperti tindakan mitigasi nasional yang tepat, NAPA dan NAP) yang membutuhkan kepastian pendanaan. Dikatakannya bahwa anggota-anggotanya memiliki rencana aksi iklim nasional dan mengharapkan dukungan untuk mencocokkan ambisi mereka. Sarana implementasi, Nauru mengatakan, tidak abstrak tetapi harus berkembang dalam konteks kebutuhan, maka ada kebutuhan untuk melakukan kajian berkala sarana pelaksanaan. Sarana pelaksanaan untuk negara-negara yang rentan, terutama pembiayaan bagi adaptasi harus berbasis sumber hibah.

Uni Eropa menginginkan perjanjian komprehensif yang kuat untuk membantu mengatasi perubahan iklim dan untuk memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan. Perjanjian itu harus transformatif dalam rangka untuk mengubah pembangunan dan mengubah investasi. Tidak mencari lembaga baru tapi bagi yang sudah ada untuk bekerja. Dikatakannya GCF perlu memiliki rencana bisnis yang bekerja sehingga dapat bergerak maju secara signifikan. Bagaimana keuangan digerakkan melampaui 2020 butuh untuk menjadi dinamis, fleksibel, katalitik, adil dan efektif serta menghormati kedaulatan nasional. Uni Eropa mendukung upaya banding antara negara-negara terkait dengan dukungan. Pada transparansi di bidang keuangan, Uni Eropa mengatakan bahwa transparansi dukungan yang dibutuhkan untuk keuangan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas.

Selandia Baru mengatakan bahwa mekanisme pasar adalah alat penting untuk membantu negara-negara untuk mengatasi perubahan iklim, mereka efektif dan memfasilitasi transfer teknologi dan saluran aliran keuangan publik dan swasta. Selandia Baru ingin mekanisme pasar menjadi bagian dari pos 2020 dunia dan menyerukan sebuah pasar karbon global.

Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa perjanjian 2015 harus memiliki tiga unsur: (i) mengakui bahwa keuangan publik akan menjadi penting khususnya untuk adaptasi dan mitigasi, terutama untuk LDCs, (ii) pembiayaan sektor swasta untuk negara-negara berpenghasilan menengah dan tinggi, (iii) negara berkembang harus memberlakukan kebijakan dan reformasi regulasi untuk menarik dukungan. AS setuju bahwa lembaga harus diperkuat dan mekanisme, termasuk dukungan MRV, harus ditinjau untuk melihat apakah mandat tersampaikan.

Norwegia mengatakan bahwa GCF harus dibuat operasional sesegera mungkin. Dikatakannya bahwa sarana pelaksanaan harus mendukung sumber daya dan keuangan untuk mitigasi harus berdasarkan hasil dan pendanaan adaptasi harus untuk pihak termiskin dan paling rentan. Norwegia ingin semua negara ekonomi utama dan menengah untuk menanggung bagian mereka dari kontribusi. Juga ingin fokus yang jelas pada mekanisme berbasis pasar dalam pengaturan post 2015.

Indonesia mengatakan bahwa perlu mengevaluasi apa yang telah dicapai sejauh ini dalam hal keuangan, teknologi dan peningkatankapasitas. Lembaga-lembaga yang ada harus lebih efektif.

(Diterjemahkan dengan bebas dari sumber: http://twnside.org.sg/title2/climate/news/Bonn10/TWN_update5.pdf)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *