Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Investor Lapar Tanah di Afrika

Lutfiyah Hanim – 08 Aug 2011

Pada tahun 2009, 60 juta hektar lahan di Afrika atau hampir seluas negara Perancis dibeli atau sewa beli (lease) oleh perusahaan-perusahaan dana investasi. Demikian laporan Oakland Institute di Amerika Serikat. Ini peningkatan yang luar biasa, karena ekspansi tahunan pada tahun 2008, seluas 4 juta hektar.

Kondisi ini sangat mengakhawatirkan. Pengambil alihan lahan atau sistem sewa beli akan berdampak buruk pada ketahanan pangan masyarakat lokal, penggusuran petani-petani kecil, konflik, dampak lingkungan dan krisis air.

Laporan Oakland Institute mencatat berbagai perusahaan investasi dari berbagai dunia berlomba mendapatkan lahan di Benua Afrika. Terbanyak adalah kelompok dari negara-negara kaya seperti Eropa dan Amerika Serikat, baik itu investor individu maupun perusahaan, seperti JP Morgans, dan Goldman Sachs, Emergent Asset Management, bahkan universitas seperti Harvard, Spelman dan Venderbilt di AS.

Sebagaimana perusahaan investasi, para investor tersebut juga berharap tingkat pengembalian yang tinggi. Apalagi tingkat bunga di Amerika Serikat saat ini cukup rendah sekitar 1 persen, sehingga para pemilik modal dan perusahaan investasi membenamkan uang di banyak tempat, termasuk membeli atau sewa beli (lease) di negara-negara Afrika.

Para peneliti di Oakland Institute percaya, bahwa banyak investor yang menjadi klien, misalnya perusahaan Emergent Asset telah menginvestasikan uang senilai 500 juta dolar di beberapa tanah yang paling subur di Afrika, dengan harapan tingkat pengembalian sebesar 25 persen.

Dalam wawancara, yang dikutip dari harian The Guardian di Inggris, Emergent mengatakan bahwa kesepakatan itu dilakukan secara bertanggung jawab. “Ya, dana-dana endowment milik universitas dan dana-dana pension adalah investor jangka panjang,” demikian salah seorang juru bicara menjawab. “Kami melakukannya di Afrika, membuat bisnis dan memperkerjakan orang-orang. Jumlahnya sangat besar. Kami melakukannya dengan cara bertanggung jawab. Ini bukan pengambilan tanah (landgrabbing). Kami ingin membuat tanah menjadi lebih bernilai, membuat sesuatu menjadi berdampak besar dan skala ekonomi menjadi lebih produktif.”

Tapi, Oakland Institute dalam informasinya menyebutkan bahwa klaim-klaim tersebut terlalu berlebihan. Banyak petani kecil yang terpaksa harus keluar dari tanahnya dan petani lokal yang menjadi penanam bunga potong dan tanaman untuk bahan bakar untuk komoditas ekspor. Di Mali, separuh dari investor, menanam tanaman untuk bahan bakar seperti tebu dan jatropha. Di Mozambique, sebagian besar investor adalah perusahaan kayu dan penanam tanaman untuk bahan bakar. Dalam periode 2007 – 2009, hanya 32 ribu hektar dari 433 ribu hektar yang ditanami tanaman pangan.

Investor juga hanya tertarik dengan lahan yang subur, lahan kritis tidak diminati. Sebagian besar kesepakatan melibatkan lahan-lahan yang subur, dan berada di dekat sumber air, yang berpotensi menjadi sumber irigasi, dekat dengan insfrastruktur seperti jalan dan jalur kereta. Sehingga kesepakatan ini tidak hanya mengenai tanah tapi juga berpotensi untuk mengontrol sumber daya air dan sungai. Tiga sungai besar Afrika, Sungai Nil, Zambesi dan Niger juga dialirkan pada lahan-lahan proyek perusahaan investasi tersebut.

Apakah investasi dari perusahaan-perusahaan tersebut menyerap tenaga kerja lokal?  Temuan Oakland Institute di beberapa negara, menyebutkan klaim tersebut berlebihan dan belum terlaksana.

Tomoyo Group misalnya, telah menyewa 100 ribu hektar lahan di perbatasan Barat Malibya Ethiopia dimana ada sekitar 100 ribu sampai 200 ribu jiwa. Perusahaan pernah mengatakan akan memperkerjakan 100 orang di tanah yang disewanya. Namun sampai sekarang belum jelas pelaksanaannya.

Perusahaan lain, Addax Bioenergy dari Swiss yang beroperasi di Sierra Leone mempekerjakan sekitar 200 orang sebagai pekerja informal dari 13 ribu penduduk di 32 desa yang terkena dampak dari proyeknya. Ini membuat sebagian besar petani tanpa lahan, dan pekerjaan. Perusahaan juga menjanjikan pembangunan berbagai fasilitas seperti, sekolah, fasilitas kesehatan, dan sumur, tetapi juga belum terlaksana.

Di Tanzania, sebuah nota kesepahaman antara AgriSol Energy dengan pemerintah lokal untuk membuat proyek bersama ditandatangani. Dua daerah yang akan menjadi lokasi proyek merupakan wilayah pemukiman untuk pengungsi yang berasal Burundi dan telah bermukim di sana sejak 1972. Proyek itu akan dimulai jika para penghuni yang telah memanfaatkan lahan selama 40 tahun itu pindah. Tahun 2009, Amnesty International melaporkan terjadinya berbagai tindak pengusiran paksa untuk mengosongkan kamp pengungsian tersebut oleh pemerintah lokal.

“Kami melihat kasus-kasus dimana spekulan mengambil alih lahan pertanian sementara petani dilihat sebagai penghuni liar yang dipindahkan tanpa kompensasi, agar menciptakan ruang untuk komoditas ekspor seperti bunga potong dan agrofuel,” demikian tulis Oakland Institute dalam websitenya. “Ini akan menciptakan ketidakamanan dalam sistem pangan global yang dapat menciptakan ancaman lebih besar dari terorisme. Lebih dari satu milyar orang kelaparan. Dan sebagian besar penduduk masih tergantung dengan pertanian kecil untuk penghidupan mereka, lalu spekulan mengambil alih dengan janji kemajuan yang tidak kunjung datang.”

Apakah ini berarti anti investasi di bidang pertanian? Tentu penting bagi negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar, petani dan pekerja di sektor pertanian untuk memfokuskan pada pembangunan pertanian dan kehidupan petani. Namun, seperti laporan Olivier de Schutter (pelapor khusus PBB/perserikatan bangsa-bangsa untuk hak atas pangan), yang mengatakan… ”isunya bukanlah hanya menambah jumlah anggaran di sektor pertanian, tetapi lebih pada memilih dari berbagai model yang berbeda di pertanian yang mungkin akan mendatangkan berbagai manfaat berbeda bagi komunitas yang berbeda.”

 

Seperti yang dilakukan oleh para petani sepanjang sungai Niger dekat Timbuktu (Afrika), telah mengusahakan sistem pertanian dengan metode SRI (system of rice intensification). Panen mereka rata-rata 9 ton per hektar, jumlah yang dua kali lipat lebih besar dari yang menggunakan irigasi tertata di daerah tersebut. Dengan luasan sebesar 35 hektar, yang dikelola oleh 100 petani, mereka bisa mendapatkan penghasilan 1879 dolar AS, lebih dari dua kali lipat pendapatan tahunan rata-rata, sebesar 676 dolar AS.

Oakland Institute pun berandai-andai, jika 10 ribu hektar lahan ditanami dengan model SRI, maka akan ada 285.715 orang petani akan diuntungkan dari metode ini, penghasilan meningkat, dan produksi pangan juga demikian.

Pengalaman ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah dan pemda di Indonesia, karena tidak hanya di Afrika, para investor yang lapar tanah juga mengincar lahan-lahan di pulau luar Jawa yang masih luas. Modusnya serupa, tawaran investasi, untuk produk komoditas ekspor. Jadi hati-hatilah… kisah yang sama bukan tak mungkin akan terjadi di negara dengan 17 ribu pulau ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *