Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Hari Pangan Sedunia: Tim Advokasi Masyarakat Ajukan Judicial Review UU No. 18 /2009

Ani Purwati – 16 Oct 2009

Tim Advokasi Masyarakat untuk Keadilan Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia mengajukan judicial review terhadap UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada taggal 16 Oktober. Dalam konferensi pers di Galeri Publik, Jakarta Pusat, Kamis (15/10), mereka menyampaikan bahwa UU yang disyahkan Presiden pada 4 Juni 2009 ini mengandung pasal-pasal yang kontradiktif. Di antaranya pasal 44, 59 dan 68 dari 50 pasal yang dinilai kontradiktif ini.

Pasal 59 menyebutkan bahwa “Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan.”

Pasal ini mengindikasikan adanya upaya pemerintah untuk meningkatkan impor daging dari berbagai negara dengan tidak membedakan lagi apakah negara tersebut telah bebas dari penyakit berbahaya atau belum.

Tim menyebutkan, minat yang besar pemerintah untuk melakukan impor daging sapi murah dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) terbaca dengan jelas. Dalam tempo yang cepat setelah pemerintah mengesahkan UU ini, Departemen Pertanian mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 3026/kpts/PD 620/8/2009 tentang Persetujuan Pemasukan Daging Tanpa Tulang (debond meat) dari Negara Brasil ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebelumnya Departemen Pertanian mengeluarkan Permentan No. 20 Tahun 2009 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging&/Jeroan dari Luar Negeri yang ditandatangani 8 April 2009. Timmenilai, UU No. 18 Tahun 2009 jika diamati hanya copy paste dari Permentan tersebut.

Untuk mendapatkan daging murah tersebut, pemerintah berencana melakukan impor daging sapi dari Brasil yang merupakan negara eksportir dan pemilik populasi ternak sapi potong terbesar di dunia namun belum terbebaskan dari penyakit mulut dan kuku (PMK) yang merupakan jenis penyakit dalam daftar A nomor urutan pertama dari seluruh jenis penyakit hewan ternak. Status Brasil mengacu pada rekomendasi Badan Kesehatan Hewan Dunia atau Office International des Epizooties (OIE) yang merupakan organisasi kesehatan dunia yang paling berkompeten saat ini. Hal inilah yang menyebabkan daging sapi asal Brasil ditolak oleh berbagai negara di dunia.

“Dengan pengesahan undang-undang ini, Deptan tidak melakukan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) untuk melindungi masyarakat,” ungkap Indah Suksmaningsih, Direktur Eksekutif Institute Global Justice (IGJ).

Pemerintah tidak lagi menerapkan kebijakan maximum security dalam melakukan impor daging ternak dengan perubahan ketentuan country menjadi zona. Akibatnya negara bisa melakukan impor daging sapi dari zona negara yang dinyatakan bebas PMK meski dalam negara yang belum bebas PMK. Hal ini menurut Suksmaningsih akan berdampak pada risiko penyebaran penyakit PMK di dunia.

Indonesia pernah mengalami kerugian ekonomi sangat besar di masa silam sebagai akibat serangan penyakit PMK dan untuk mengatasinya membutuhkan waktu hingga 100 tahun untuk bebas dari penyakit ini. Ketika PMK melanda Inggris pada 2001, juga telah mengakibatkan negara ini mengalami kerugian sekitar 70 miliar poundsterling.

Kedaulatan Pangan Terancam

Adanya impor daging ternak juga akan mengancam akses pasar dalam negeri. Peternak dan pedagang ritel tradisional akan mengalami kesulitan dalam persaingan produk impor dengan harga yang lebih murah itu. “Hal ini akan berimbas pada terhambatnya kemampuan swasembada produksi ternak yang dapat mengancam kedaulatan pangan,” jelas Dr. Drh. H. Sofyan Sudardjat D., MS. sebagai Dirjen Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian Periode 1998-2004.

Seharusnya pemerintah meningkatkan produkstivitas peternak di dalam negeri. Menurut Kepala Badan Karantina Pertanian Periode 2001-2003 ini, saat dia masih menjabat sebagai dirjen, dengan kemampuan peternak yang ada, Indonesia mengalami kecukupan daging ontrain dengan produksi sendiri. Yaitu bisa melakukan ekspor atau impor 10-20 % sesuai kebutuhan yang ada. Namun saat ini lebih dari 40 persen hanya impor daging tanpa bisa melakukan ekspor.

Serikat Petani Indonesia (SPI) melihat aspek perlindungan petani tidak nampak dari pemerintah. Sejak 2007 pemerintah tidak melakukan janji-janji untuk memberi kesempatan pada petani seperti reforma agraria. Justru semangat pemerintah hanya impor daripada memberdayakan petani dan peternak. Semua semangat pemerintah lebih mengarah pada proses liberalisasi, tidak ada yang melakukan perlindungan petani dalam negeri. “Pasar dibuka bebas dan petani dengan lahan dan modal kecil dipersilahkan bersaing bebas,” kata Agus Rully dari SPI.

Menurut Zainal Takim dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), petani sudah kehilangan 6 juta hektar lahan pertanian miliknya karena telah dikuasai perkebunan besar dan sebagainya. Pemerintah justru tidak sensitif dengan kondisi petani ini. Pasal 59 ayat 2 semakin mempersulit pengawasan peredaran daging impor, dalam jangka panjang peternak dapat kehilangan modal produksi berkelanjutan. Hal ini seperti mekanisme penghancuran peternak Indonesia.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *