Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Dahuri: Jadikan Krisis Pangan Untuk Galang Kesadaran Berhenti Impor

Setyo Rahardjo – 19 May 2008

Krisis pangan global saat ini harus menjadi momentum untuk menggalang kesadaran nasional dan menggelorakan semangat seluruh anak bangsa untuk berhenti mengimpor, dan mulai sekarang memproduksi semua bahan pangan dan komoditas sumber daya hayati lainnya yang bisa dibudidayakan di bumi nusantara ini.

Demikian disampaikan oleh Guru Bear IPB, Ketua Komite Pengembangan Eonomi Maritim-Kadin, dan juga Ketua Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI), Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, MS, ketika memberi kontribusi pemikiran yang ia tulis dari Rutan Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, untuk disampaikan pada acara Seminar Kebangsaan dalam rangka Peringatan Seabad Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan oleh Dewan Harian Nasional Angkatan ’45 dan Komunitas Keluarga Besar Angkatan ’66, di Hotel Grand Melia, Jakarta pada Kamis (15/5).

Menurutnya, studi yang dilakukan badan pangan dunia (FAO) pada 1997 menyebutkan bahwa sebuah negara dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak akan maju dan makmur, jika pemenuhan kebutuhan pangannya bergantung pada negara lain.

Saat ini berbagai negara pengekspor utama bahan pangan sudah mulai membatasi bahkan menyetop ekspor demi mengamankan ketahanan nasionalnya masing-masing. Ini harus menjadi cambuk bagi kita untuk membangun kedaulatan pangan nasional. “Artinya, kita harus memenuhi kebutuhan seluruh bahan pangan dari hasil produksi sendiri, kecuali untuk bahan pangan yang memang belum bisa dibudidayakan di tanah air, seperti gandum”, tegasnya.

Rokhmin juga menyoroti masalah alih fungsi lahan. Menurutnya, guna menjamin kelestarian produksi, kita harus belajar dengan Jepang yang secara konsisiten melarang alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan industri, pemukiman, dan prasarana pembangunan lainnya. Kini, laju konversi lahan pertanian di Indonesia mencapai lebih dari 120.000 ha pertahun.

”Selain itu, tata ruang wilayah nasional yang kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor-sektor ekonomi SDA harus segera disusun dan diimplementasikan. Pencemaran lingkungan oleh industri, pertambangan, rumah tangga, dan kegiatan pembangunan lainnya harus dikendalikan,” ujar Rokhmin.

Di samping itu, untuk mencapai ketahanan pangan, kita harus segera mengembangkan diversifikasi pangan. Apalagi sejak 1987 ketergantungan kita pada beras dan terigu sudah keterlaluan, mencapai 62% total asupan harian. Padahal yang baik dari segi gizi, jumlah maksimum bahan pangan dari serealia adalah 50%. Bangsa Indonesia merupakan konsumen beras tertinggi di dunia yakni 139 kg/kapita/tahun. Angka ini jauh melampaui Jepang (60 kg), Malaysia (80 kg), Thailand (90 kg), dan rata-rata dunia (60 kg).

”Tingginya konsumen beras mengakibatkan 31 juta ton beras yang kita hasilkan setiap tahun tidak mencukupi kebutuhan nasional. Oleh karena itu mulai sekarang kita harus secara serius dan kontinu mengurangi konsumsi beras sampai tingkat ideal yakni 87 kg beras per kapita. Secara simultan kita harus lakukan diversifikasi pangan non-beras seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu, kentang, ganyong, garut, dan jagung,” lanjutnya.

Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia dengan kekayaan alam melimpah dan lahan pertanian yang cukup luas, seharusnya Indonesia tidak perlu kena imbas dari krisis pangan dunia saat ini.

“Namun karena kita sejak awal tahun 1990-an selalu menomor-duakan pembangunan pertanian, malah kini kita menjadi salah satu bangsa pengimpor terbesar produk-produk pertanian termasuk beras, terigu, kedelai, jagung, dan lain-lain,” ujarnya.

Krisis yang terjadi di Indonesia juga dipengaruhi krisis pangan global. Lonjakan harga komoditas pangan dunia secara fenomenal, 100 – 200 persen dibanding tahun lalu, bukan hanya mengakibatkan kelaparan dan kekurangan gizi bagi ratusan penduduk miskin dunia, tetapi juga telah menyulut kerusuhan sosial di sejumlah negara, seperti Haiti, Nigeria, Kamerun, Mesir, Madagaskar, Banglades, dan Pilipina. Bahkan Bank Dunia (2008) memprediksi bahwa tingginya harga bahan pangan bakal berlangsung lama, dan baru menurun pada tahun 2015.

Setidaknya ada empat faktor utama yang ditengarai menjadi biang keladi dari krisis pangan global, yakni (1) stok pangan dunia cenderung menurun sejak dekade terakhir, sementara kebutuhannya terus membumbung seiring dengan pertambahan penduduk. (2) perubahan iklim global yang menjungkir-balikkan target produksi pangan. (3) penggunaan bahan pangan secara masih, dan (4) ulah para spekulan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *