Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Bakteri Kompos Hasilkan Etanol: Perlu Pembuktian Lebih Lanjut Kelayakan Ekonomis

Ani Purwati – 26 Sep 2008

Beberapa waktu lalu peneliti dari Inggris menemukan bakteri yang diisolasi dari kompos dan dapat menghasilkan etanol. Dwi Andreas Santosa sebagai peneliti Mikrobiologi dari Institut Pertanian Bogor membenarkan hal tersebut. Namun karena ini relatif masih baru, maka perlu pembuktian lebih lanjut apakah secara ekonomis layak atau tidak dibanding teknologi yang lazim untuk menghasilkan etanol (dengan bahan dasar pati).

”Sama saja cerita tentang energi hidrogen dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk memproduksinya pada akhir tahun 90an, ternyata tidak lagi terdengar ceritanya, karena memang masih sangat mahal,” kata Santosa mengingatkan dalam emailnya pada beritabumi.or.id (25/9).

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Center for Biodiversity and biotechnology (ICBB) tersebut, sebenarnya bakteri aslinya tidak mampu mengubah serat (selulosa) langsung menjadi etanol. Bakteri tersebut secara alamiah mengubah selulosa dan senyawa karbon rantai panjang lainnya menjadi asam laktat. Kemudian peneliti menggunakan teknik rekayasa genetik sehingga bakteri tersebut akhirnya mampu menghasilkan etanol.

”Mengenai keamanan, saya kira tidak masalah, karena diproduksi dalam bioreaktor dan bakteri tidak dilepaskan ke lingkungan,” katanya.

Selama bioreaktor tidak bocor, tidak akan ada pengaruhnya terhadap manusia atau lingkungan. Keamanan (safety) juga terkait dengan gen yang disisipkan. Gen tersebut (sintesis etanol) sudah umum di alam sehingga kemungkinan kecil sekali menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Gen tersebut juga tidak dikenal bisa menyebabkan alergi atau toksisitas.

Potensi di Indonesia

Untuk penerapannya di Indonesia, Santosa berpendapat tidak masalah sama sekali karena diproduksi dalam closed system, jadi tidak ada pengaruh geografi. Masalahnya hanya apakah perusahaan yang bersangkutan bisa memberi lisensi untuk produksi etanol dengan menggunakan bakteri tersebut di Indonesia.

”Kita sebenarnya memiliki potensi untuk megembangkan hal-hal semacam itu, karena keanekaragaman mikroba yang jauh lebih tinggi dibanding di Inggris sana, itupun kalau memang bakteri tersebut diisolasi dari sana, bukan diambil dari wilayah tropis,” kata Santosa.

Untuk mendapatkan alternatif produksi biofuel yang lebih efisien dan semoga lebih ramah lingkungan, karena apapun di masa depan biofuel akan memainkan peran penting untuk penyediaan energi, saat ini pihaknya sedang meneliti dan mengembangkan ganggang mikro untuk biofuel. Kelihatannya peneltian tersebut berhasil mendapatkan strain-strain yang potensial. Beberapa waktu lalu, pihaknya menemukan strain yang produksi minyaknya sekitar 57%.

Ganggang mikro bila dalam kondisi berkecukupan makanan (tergantung jenisnya) akan menyimpan cadangan makanan. Cadangan makanan yang manjadi sasaran penelitiannya adalah pati, sukrosa atau lipid. Lipid bisa diubah langsung menjadi biodiesel melalui esterifikasi, sedangkan pati atau sukrosa difermentasi menjadi etanol.

Pihaknya telah menemukan beberapa galur yang sangat potensial untuk tujuan tersebut yang diisolasi dari Indonesia. Galur yang tertinggi menghasilkan lipid hingga 57% dari bobot keringnya.

”Saat ini target kami untuk mengembangkan metode perbanyakan sehingga mampu menghasilkan biomasa 50 gram/m2/hari. Bila itu tercapai dan ganggang yang bersangkutan menghasilkan lipid 25% saja, maka akan setara dengan 30 kali produktivitas kelapa sawit,” jelasnya.

”Semoga saja target tersebut dapat teraih dalam jangka dekat ini,” lanjutnya.

Mengapa ganggang potensinya sedemikian tinggi? Karena ganggang bersel satu sehingga pertumbuhan jauh lebih cepat dibanding tanaman dan lebih efisien dalam mengkonversi energi matahari menjadi energi tersimpan dalam bentuk kimia.

Berita Terkait: Bakteri Kompos Hasilkan 10% Energi Transportasi di Inggris

http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0100&ikey=1

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *