Ani Purwati – 31 Mar 2008
Banyak pihak telah menyadari akan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Sebagai bagian dari proses alam, pemanasan global dan perubahan iklim tidak dapat dihindari. Namun bukan berarti tidak bisa dicegah. Untuk mencegahnya berbagai langkah nyata harus dilakukan. Tidak hanya menanam seribu pohon dan sebagainya, tetapi yang terpenting adalah merubah perilaku manusia (masyarakat) dalam memenuhi kebutuhan hidup termasuk mengurangi pemakaian energi.
Masyarakat harus mulai menghemat energi terutama energi fosil yang tidak terbarukan. Selain karena cadangannya telah menipis, penggunaan energi ini juga menghasilkan gas rumah kaca (CO2) yang besar sebagai penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.
Hasil dari langkah nyata menghemat energi ini dapat terbukti. Menurut perhitungan Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim, kegiatan hening (Nyepi) oleh masyarakat lokal Bali setiap tahun telah menurunkan sekitar 20 ribu ton CO2. Bagaimana bila masyarakat dunia melakukan langkah ini juga? Tentu CO2 yang diturunkan akan lebih besar.
Untuk mendorong masyarakat dunia melakukan langkah nyata sebagaimana masyarakat Bali dalam perannya mencegah pemanasan global dan perubahan iklim melalui hening atau Nyepi (tanpa penggunaan energi), Kolaborasi Bali mencanangkan World Silent Day setiap 21 Maret. Pelaksanaannya dengan mematikan listrik selama empat jam.
Rangkaian Hari Air
Menurut Agung Wardana sebagai Direktur Wahana lingkungan Hidup (WALHI Bali), World Silent Day (WSD) setiap 21 Maret menjadi rangkaian dengan Hari Air Sedunia setiap 22 Maret.
“WSD kita ibaratkan sebagai hari jeda (kosong atau reflektif bagi umat manusia), dan keesokan harinya kita simbolkan menjadi hari kehidupan yang membutuhkan air sebagai pembasuhnya (pensucian),” jelas Wardana dalam emailnya (31/3) kepada beritabumi.or.id.
“Jika kita analogikan, setelah kita tidur dan mengistirahatkan tubuh semalaman (WSD), maka ketika kita bangun di pagi hari hal yang pertama kita cari adalah air, baik untuk minum ataupun membasuh muka,” lanjutnya.
Hal ini akan lebih menyadarkan betapa pentingnya air bagi kehidupan. Menurut Wardana, saat ini air belum dipandang sebagai sumber energi yang potensial dan tidak pernah terpikirkan memiliki banyak jasa yang bisa diberikan. “Sehingga sudah sepatutnya kita respek dan menjaga ketersediaannya,” ungkapnya.
Sementara itu sumber daya air saat ini mengalami penurunan baik dari segi kuantitas dan kualitasnya. Adanya perubahan pandangan bahwa air dianggap sebagai komuditas menyebabkan sumber mata air dikapling-kapling oleh perusahaan swasta yang kemudian berujung pada konflik perebutan sumber daya air.
Luaskan Kampanye
Selanjutnya untuk mensukseskan pelaksanaan WSD, kolaborasi telah membentuk Tim Kampanye dan menyusun perencanaan kampanye WSD jangka panjang. “Yang jelas di tahun-tahun berikutnya, kami akan memperbaiki kelemahan-kelemahan dan meluaskan jangkuan kampanye serta meningkatkan kualitas WSD-nya sendiri,” tegasnya.
Sebagai langkah awal (21 Mater lalu), diakuinya WSD telah berjalan cukup sukses akibat dukungan dari kawan-kawan jaringan dan media. Namun begitu, memang masih banyak hal yang sedang dievaluasi bersama di Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim.
Menurutnya kelemahan pelaksanaan WSD kemarin seperti kurang luasnya kampanye, sehingga banyak masyarakat yang belum tahu adanya WSD ini. Hal ini terjadi selain akibat minimnya sumber daya karena selama ini hanya bermodal semangat yang kolaboratif, juga lemahnya dukungan dari pemerintah.
Agenda Lain
Selain pelaksanaan WSD, Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim di masing-masing organisasi (WALHI Bali, Yayasan WISNU, PPLH Bali dan BOA) maupun secara bersama-sama dalam kolaborasi memiliki berbagai macam agenda satu sama lain yang terkait dengan air dan pemanasan global.
Misalkan Yayasan WISNU masih aktif dalam membangun mikrohidro bersama komunitasnya, PPLH mendidik anak-anak SD untuk membudayakan hemat air, BOA masih bersama petani organiknya melakukan pengelolaan air untuk irigasi, dan WALHI Bali sendiri aktif melakukan advokasi-advokasi kebijakan untuk mendorong isu perubahan iklim masuk ke dalam agenda pembangunan Bali.
“Kami bergerak di berbagai lini dengan tujuan yang sama, kolaboratif dan memiliki cita-cita yang sama. Karena itulah kami tetap berjalan dan saling mendukung satu sama lain,” tegas Wardana.
Informasi Terkait: http://www.worldsilentday.org/