S.T. Jahrin – 11 Jun 2008
Indonesia kaya akan budaya kearifan terhadap lingkungan hidup. Namun sayangnya, kearifan lokal (local wisdom) yang ada dalam masyarakat Indonesia tersebut terancam tereliminasi. Demikian ungkap Rahmat Witoelar, Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia, di Jakarta, Jum’at (06/06).
Menurutnya, norma dan etika terhadap lingkungan hidup yang diwariskan dari nenek moyang itu terancam oleh gaya hidup materalis-hedonis yang konsumtif dan mengejar kesenangan semata.
”Fenomena ini sangat terlihat di perkotaan, dengan adanya para profesional yang berorientasi bisnis dan kurang peduli lingkungan. Pada jaman tanpa batas ini, kebudayaan asing akan semakin gencar memporak-porandakan budaya lokal Indonesia,” kata Witoelar saat menjadi pembicara diskusi di area Pekan Lingkungan Hidup di Jakarta Convention Center.
Pada dasarnya, budaya asli Indonesia terbukti memiliki falsafah yang pro lingkungan hidup, seperti di Jawa terkenal dengan falsafah Hamemayu Hayunig Bawana, Tri Hita Karana di Bali dan Alam Terkembang Jadi Guru di Tanah Minang. Kemudian ada juga berbagai kearifan tradisi, seperti Sasi di Maluku, Awig-Awig di Nusa Tenggara, Bersih Desa di Jawa, Nyabuk Gunung di Sunda yang menambah kekayaan budaya Indonesia yang pro lingkungan hidup.
Sebenarnya dalam komunitas perkotaan yang modern pun kini tumbuh berbagai kearifan lingkungan, seperti halnya pengelolaan sampah di Banjar Sari Jakarta, Sukunan Yogyakarta, Karah Surabaya, Kassi-Kassi Makasar, dan lain-lain.
Agama-agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia, mulai dari Islam, Hindu, Kristen, Budha dan Konghuchu, juga terbukti mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa menjaga dan memelihara alam sekitarnya. Bahkan menurutnya, sekarang ini beberapa organisasi keagamaan di Indonesia telah membentuk institusi yang bergerak dalam pengelolaan lingkungan hidup.
”Semua kearifan lingkungan yang dimiliki tersebut, apabila kita rajut dan berdayakan akan sangat bermakna dalam upaya penyelamatan bumi,” ujarnya.
Sebagai kekuatan sosial, kearifan lingkungan tersebut akan menjadi kebutuhan utama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Namun dalam penyelenggaraannya perlu ditunjang oleh kearifan-kearifan institusi dan konstitusi yang membumi dan selaras dengan sosial budaya masyarakat.
Namun menurutnya, institusi yang dibentuk seyogyanya dapat mewakili idealisme dan praktik kearifan di masyarakat. Konstitusi yang dibentuk pun hendaknya dapat mengakomodir falsafah, norma dan etika yang berlaku di masyarakat.
Kebijakan Lingkungan Hidup
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Di sisi lain, para pakar lingkungan menegaskan bahwa perubahan iklim global yang melanda bumi kita, juga disebabkan oleh ulah tangan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa manusia telah mengambil peran sentral dalam keberlanjutan lingkungan hidup di bumi.
Oleh karenan itu, menurut Witoelar, dalam ranah kebijakan, Kementerian Lingkungan Hidup terus berupaya menyelenggarakan program-program sebagai instrumen kebijakan yang bertujuan mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan, memperbaiki lingkungan yang sudah tercemar atau rusak, sekaligus merubah perilaku masyarakat untuk peduli lingkungan hidup.
Beberapa program tersebut, di antaranya Adipura, Proper, menuju Indonesia Hijau, Penegakan Hukum, dan lain sebagainya.
Dalam rangka mensinergikan kebudayaan dan lingkungan hidup, perlu kiranya diselenggarakan program yang bertujuan membangun budaya lingkungan dengan pendekatan agama, adat istiadat, maupun kearifan-kearifan yang ada di masyarakat. Usaha ini diyakininya dapat merubah perilaku, seperti cara berpikir, bertindak masyarakat untuk pro lingkungan hidup.
Sementara menurut Sri Sultan Hamengkubuwono X yang juga menjadi pembicara pada acara tersebut mengatakan, alam harus dipandang sebagai subyek yang berdampingan dengan manusia sebagai subyek lainnya. ”Alam adalah tetangga kita, perilaku yang tidak bijak kepada tetangga, akhirnya akan berdampak balik dan merugikan diri kita sendiri juga,” kata Sri Sultan.