Isu Bumi
  • image01
  • image02
  • image03

Witoelar: Indonesia Dorong Kesepakatan Iklim Global di Cancun

Ani Purwati – 18 Nov 2010

Dalam perundingan iklim (COP 16) di Cancun, Meksiko yang akan berlangsung pada 29 November hingga 10 Desember 2010, Indonesia akan memperkokoh Bali Road Map, hasil keputusan perundingan iklim (COP 13) di Bali pada 2007 agar bisa menjadi keputusan dunia. Perundingan-perundingan yang telah berlangsung setelah di Bali merupakan penjabaran dan pelaksanaan Bali Road Map. Demikian menurut Rachmat Witoelar, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim Indonesia (DNPI) saat diskusi yang diselenggarakan Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta (16/11).

“Yang terpenting di sini Indonesia bisa memberi kontribusi terhadap penanganan perubahan iklim untuk menyelamatkan bumi dan mendapatkan manfaat bagi kepentingan bangsa ini,” kata Witoelar.

Indonesia mengharapkan perundingan iklim di Cancun menghasilkan pengurangan emisi yang tajam dari negara maju, mekanisme dan bentuk penaatan (compliance) serta pelaporan pencapaian komitmen negara maju, aksi negara berkembang yang bersifat sukarela beserta pelaporan, dalam REDD plus dapat disepakati modalitas untuk semua fase serta kesepakatan terbentuknya pendanaan baru.

Witoelar berharap semua usaha Indonesia bersama para pihak lain bisa berhasil dalam perundingan iklim ke depan. Kesepakatan global yang gagal di Copenhagen harus diusahakan berhasil di Cancun.

Posisi Indonesia dalam setiap perundingan iklim, menurut mantan Menteri Lingkungan Hidup ini seringkali menjadi pertimbangan forum sejak perundingan iklim di Bali (COP 13) pada 2007 karena menghasilkan Bali Road Map.

“Indonesia akan mendesak agar kesepakatan tercapai dengan adanya pembicaraan komprehensif antara negara maju dan berkembang yang terus bertentangan,” ungkap Witoelar.

Negara maju harus bisa mencapai pengurangan emisi secara tajam dan negara berkembang bisa menurunkan secara sukarela. Namun dalam perundingan perdebatan ini terus berlangsung. Kepentingan politik yang mewarnai perundingan iklim ini semakin mempersulit tercapainya kesepakatan.

Agar tetap menghasilkan keputusan yang signifikan, perundingan harus mengindahkan pendapat yang lain sehingga harus reasional. Hasil jalan tengah seperti saat di Bali merupakan salah satu pilihan terakhir.

Tantangan di Cancun

Liana Bratasida, Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan Global, Kementerian Lingkungan Hidup memperkirakan tantangan yang muncul saat perundingan iklim di Cancun seperti masuknya perundingan informal ke dalam perundingan formal, perdebatan panjang di Cancun dengan belum jelasnya draf teks mana yang akan digunakan, apakah hasil perundingan iklim di Tianjin, China atau menggunakan dokumen hasil perundingan di Copenhagen.

Di Cancun nanti diharapkan menghasilkan seperangkat dokumen dasar yang menjadi kerangka untuk membuat kesepakatan hukum (legal agreement) dan status.

Sementara  saat perundingan iklim di Tianjin Oktober lalu, menurut Bratasida mengalami kemunduran karena Bolivia ingin membahas masalah dasar dari REDD kembali seperti terkait dengan definisi masyarakat adat dan lain-lain. “Idenya agar dana REDD tidak hanya untuk negara berhutan saja, melainkan juga untuk negara lain yang berkepentingan,” jelas Bratasida.

Perundingan iklim di Cancun nanti juga harus memperhatikan hasil dari Convention on Biodiversity (CBD) di Nagoya, Jepang Oktober lalu. Sehingga menghasilkan langkah-langkah yang sinergi antara hasil CBD dengan keputusan Konferensi Perubahan Iklim (UNFCCC).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR berharap bahwa perundingan iklim (COP 16) di Cancun bisa menjadi momentum untuk membangun kepercayaan negara maju dan berkembang dalam perundingan multirateral perubahan iklim di bawah UNFCCC serta menjadi pijakan tercapainya kesepakatan yang ambisius, adil dan mengikat pada COP 17 di Afrika Selatan dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan iklim.

Berbagai kajian ilmiah menunjukkan bahwa kenaikan suhu permukaan bumi sebesar 2 derajat Celcius akan memiliki konsekuensi besar terhadap keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan umat manusia. Selama dua abad lebih, rata-rata permukaan suhu bumi telah naik hingga 1 derajat Celcius, sehingga apabila tidak ada tindakan drastis dilakukan, sebelum pertengahan abad ini akan mencapai kenaikan suhu sebesar 2 derajat Celsius.

Berita Terkait: http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0345&ikey=1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *