Ani Purwati – 16 Feb 2009
Banyak pihak menilai bahwa UU No. 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) hanya melemahkan peran petani dalam mengelola sumber daya genetik. UU PVT tidak membahas hak-hak petani. Hanya menyebut varietas lokal dan hak pemulia varietas tanaman. Dalam UU ini, kaitan petani hanya dengan varietas tanaman.
Demikian ungkap Nugroho Wienarto sebagai Direktur Field Indonesia dalam diaolg publik petani tentang Perlindungan Varietas Tanaman yang diselenggarakan Aliansi Petani Indonesia (API), Third World Network (TWN) dan UNDP di Griya Alam Ciganjur, Jakarta (11/2).
Bahkan menurutnya, untuk menindaklanjuti UU No. 4 2004 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Sumberdaya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian hanya ada peraturan tingkat menteri yang juga tidak menyebut hak-hak petani. Untuk melaksanakan UU No. 4 2004, seharusnya ada peraturan perundang-undangan berikutnya yang mengikat Bangsa Indonesia. Sehingga secara operasioanl belum ada pelaksanaan hak-hak petani di Indonesia.
Padahal di dalam perjanjian internasional itu telah mencantumkan hak petani seperti dalam pengawasan varietas lokal yang diserahkan pada petani. Perjanjian internasional itu juga menyebutkan peran petani sebagai penjaga keanekaragaman hayati. Perjanjian itu juga mengakui hak petani atas benih untuk menyimpan, menukar, memperbanyak, menjual varietas dari hasil tanamnya. Selain itu petani juga dilibatkan dalam mengambil keputusan dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan genetik secara adil.
“Lalu bagaimana mewujudkan hak petani? Ya petani harus berjuang,” kata Nugroho.
Misalnya di lahan, petani mau membeli atau mengembangkan benih sendiri. Mau mandiri atau bergantung pada perusahaan benih. Kemudian petani juga harus bergerak di semua lini dengan tindakan yang nyata baik di tingkat nasional atau internasional.
Menurutnya, pengalaman petani Indramayu bisa menjadi contoh. Bagaimana mereka berhasil melakukan persilangan meski melalui tahapan yang panjang. Yang mudah, petani dapat mencoba melakukan konservasi benih lokal, menyeleksi benih yang bagus dan sesuai manfaatnya, sehingga terlatih kemampuannya untuk menyeleksi benih.
“Dengan mengelola dan memanfaatkan benih sendiri, petani dapat menghemat pengeluaran dan tidak bergantung pada pihak luar,” jelas Nugroho.
Bahkan menurutnya, kalau banyak petani bisa mengembangkan benih sendiri, petani bersama organisasinya bisa mengajukan judicial review pada Mahkamah Konstitusi, bahwa UU PVT melanggar UUD 1945 dan hak petani.
“Kalau hanya petani Indramayu saja ya tidak bisa. Akan masih bisa dilemahkan perusahaan-perusahaan benih,” lanjutnya.
Hak Petani Secara Menyeluruh Tidak Ada
Sementara itu Hira Jhamtani sebagai peneliti lingkungan hidup dan sosial ekonomi masyarakat dari Third World Network (TWN) mengatakan, UU PVT tidak mengakomodir prinsip tukar-menukar benih yang merupakan roh dari kebersamaan dan hak petani.
Bahkan secara umum, dia tidak menemukan pengertian hak petani secara menyeluruh selain atas benih. Menurut adat, hak petani harus sebendel yaitu sekelompok hak yang dimiliki petani, untuk menjamin ia bisa bekerja dengan aman, berkelanjutan dan mendapatkan imbalan seimbang, serta hidup layak.
”Beberapa hak petani yang harus terdaftar di antaranya hak atas tanah, air, benih, harga yang layak, keadilan iklim, dan lain-lain yang perlu dirumuskan bersama petani pula,” kata Jhamtani.
Resolusi FAO No. 5/1989 jo. No. 3/1991 tentang Sumberdaya Genetik Tanaman menyebutkan bahwa hak petani adalah hak-hak yang timbul dari kontribusi petani pada masa lalu, kini dan masa depan dalam melestarikan, meningkatkan, dan menyediakan sumber hayati tanaman, khususnya di pusat-pusat asal keanekaragaman (sumber daya hayati).
Namun sayang menurutnya, UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (SBT) justru mengandung dualisme pengertian. Pasal satu menegasikan pasal lain. Seperti pasal 11 menyebutkan bahwa setiap orang atau badan hukum dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul. Menurut pasal ini, berarti petani juga berhak melakukan pemuliaan.
Pasal 6 ayat (1) juga menyebutkan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya.
Namun di pasal yang sama di ayat (3) menyebutkan bahwa apabila kebebasan memilih tidak dapat terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh jaminan penghasilan tertentu.
Ketentuan UU SBT itu mengandung dualisme pengertian, ada pasal yang menegasikan pasal lain, seperti ada paksaan untuk menanam.
Peraturan perundang-undangan tersebut juga tidak menjamin hak petani untuk menyimpan dan mengembangkan benih. Hanya berkembang untuk kepentingan dagang, tanpa keikutsertaan petani. Seringkali kesepakatan-kesepakatan di bidang pertanian hanya dilakukan melalui perundingan-perundingan bilateral yang sulit terpantau petani.
Mengatasi hal itu menurut Jhamtani, perlu adanya perumusan prinsip-prinsip peraturan sesuai keinginan petani lalu diumumkan ke Pemerintah Daerah dan dilaksanakan.
”Kita perlu memahami UU pertanian dengan bantuan ahli hukum yang baik, belajar pasal per pasal, dan bagaimana menggunaka peluang hukum,” katanya.
Selain itu perlu melakukan gerakan membuat benih dan saprotan sendiri, mengembangkan gotong royong dan lumbung benih di tiap desa, belajar dari teknlogi dulu dan baru tetapi bukan rekayasa genetik dan merusak. Lalu organisasi petani harus kompak, kuat dan mandiri.